Monday, April 30, 2018

“AKU TAK TAHU, INI RAHMAT ATAU MUSIBAH. AKU HANYA BERPRASANGKA BAIK KEPADA ALLAH.” KISAH BERPRASANGKA BAIK




Dimasa “Abbasiyah akhir, negeri-negeri Muslim tersekat oleh berbagai kesultanan yang berkuasa sendiri-sendiri. Yang duduk bertahta di Baghdad dan mereka sebut “Amirul Mukminin” memang masih ada. Tetapi dia tak lebih dari pemuda manja yang diperlakukan bagai boneka oleh para sultan yang berebut pengaruh.

Kisah ini adalah sebuah sejarah kecil pada era itu, seperti istilah wartawan tiga zaman, Rosihan Anwar. Ini kisah seorang ayah dan anak. Sang ayah bekas budak. Selama menjadi budak, libur Jumat sebagaimana ditetapkan kesultanan dimanfaatkannya untuk habis-habisan bekerja. Dengan dirham demi dirham yang terkumpul, satu hari dia minta izin untuk menebus dirinya pada sang majikan.
“Tuan,” ujarnya, “Apakah dengan membayar harga senilai dengan berapa engkau membeliku dulu, aku akan bebas?”
“Hm.. Ya. Bisa.”
“Baik, ini dia,” katanya sambil meletakkan bungkusan uang  itu di hadapan tuannya. “Allah ‘Azza wa jalla telah membeliku dari Anda, lalu Dia membebaskanku. Alhamdulillah.”
“Maka engkau bebas karena Allah,” ujar sang tuan takjub. Dia bangkit dari duduknya dan memeluk sang budak. Dia hanya mengambil separuh harga yang tadi disebutkan. Separuh lagi diserahkannya kembali. “Gunakankan ini,” katanya berpesan, “Untuk memulai kehidupan barumu sebagai orang yang merdeka. Aku berbahagia menjadi sebagian Tangan Allah yang membebaskanmu!”
Penuh syukur dan haru, tapi juga disergap khawatir, dia pamit. “Aku tidak tahu wahai Tuanku yang baik,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca, “Apakah kebebasan ini rahmat ataukah musibah. aku hanya berbaik sangka kepada Allah.”
  Tahun demi tahun berlalu. Dia telah menikah. Tetapi sang istri meninggal dunia ketika menyelesaikan tugasnya, menyempurnakan susuan sang putra hingga usia dua tahun. Maka dibesarkan putra semata wayangnya  itu dengan penuh kasih sayang. Dididiknya anak lelaki itu untuk memahami agama dan menjalankan sunnah Nabi, juga untuk bersikap kesatria dan berjiwa merdeka.
“Anakku,” katanya disuatu pagi, “Ayahmu  ini dulu seorang budak. Ayahmu ini separuh manusia di mata agama dan sesama. Tapi selalu kujaga kehormatan dan kesucianku, maka Allah memuliakanku dengan membebaskanku. Dan jadilah kita orang merdeka. Maka Nak, orang bebas yang paling merdeka adalah dia yang memilih caranya untuk mati dan menghadap Ilahi!”
“Ketahuilah,” lanjutnya,’’Seorang yang syahid di jalan Allah itu hakikatnya tak pernah mati. Saat terbunuh, dia akan disambut oleh tujuh puluh bidadari. Ruhnya menanti kiamat dengan terbang ke sana-kemari dalam tubuh burung hitau di taman surga, dan dizinkan bagianya memberi syaf’at  bagi keluarganya. Mari  kita rebut kehormatan itu, Nak, dengan berjihad lalu syahid di jalanNya!’’
Sang anak mengangguk-angguk.
Sang ayah mengeluarkan sebuah kantung berpelisir emas. Dinar-dinar di dalamnya  bergemerincing. “Mari mempersiapkan diri”, bisiknya. ‘’Mari kita beli yang terbagus dengan  harta ini untuk dipersembahkan  dalam jihad  dijalanNya. Mari kita belanjakan uang ini untuk mengantar  kita pada kesyahidan dengan sebaik-baik tunggangan. ‘’
Siangnya, mereka pulang dari pasar dengan menuntun seekor kuda perang berwarna hitam. Kuda itu gagah. Surainya mengakar menjumbai. Tampangnya mengagumkan. Matanya berkilat. Giginya rapi dan tajam. Kakinya kekar dan kukuh. Ringkiknya pasti membuat kuda musuh bergidik.
Semua tetangga datang untuk mengaguminya. Mereka menyentuhnya, megelus, surainya. “Kuda yang hebat!” kata mereka. “Kami belum pernah melihat kuda seindah ini. Luar biasa! Mantap sekali! Berapa yang kalian habiskan untuk membeli kuda ini?”
Anak beranak itu tersenyum simpul. Yah, itu simpanan yang dikumpulkan seumur hidup.
Para tetangga ternganga mendengar jumlahnya.”Wah”, seru mereka, “Kalian masih waras atau sudah gila? Uang sebanyak itu dihabiskan membeli kuda? Padahal rumah kalian reyot nyaris roboh. Untuk makan besok pun belum tentu ada!” Kekaguman di awal tadi berubah menjadi cemooh. “Tolol!” kata salah satu. “Tak tahu diri!” ujar yang lain. “Pandir!”
“Kami tidak tahu, ini rahmat atau musibah. Tapi kami berprasangka baik kepada Allah,” ujar mereka.
Para tetangga pulang. Ayah dan anak itu pun merawat kudanya dangan penuh cinta. Makanan si kuda dijamin kelengkapannya; rumput segar, jerami kering, biji-bijian, dedak, air segar, kandang bahkan ditambah madu. Si kuda dilatih keras, tapi tak dibiarkan lelah tanpa mendapat hadiah. Kini mereka tak hanya berdua, melainkan bertiga. Bersama-sama menanti panggilan Allah ke medan jihad untuk menjemput takdir terindah.
Sepekan berlalu. Di sebuah pagi buta ketika si ayah melongok ke kandang, dia tak melihat apapun. Kosong. Palang pintunya patah. Beberapa jeruji kayu terkoyok remuk.
Kuda itu hilang!
Berduyung-duyung para tetangga datang untuk mengucapkan bela sungkawa. Mereka bersimpati pada cita tinggi kepada kedua anak ayah itu. Tapi mereka juga menganggap keduanya kelewatan. “Ah, sayang sekali!” kata mereka. “Padahal itu kuda terindah yang pernah kami lihat. Kalian memang tidak beruntung. Kuda itu hanya hadir sejenak untuk memuaskan ambisi kalian, lalu Allah membebaskannya dan mengandaskan cita-cita kalian!”
Sang ayah tersenyum sambil mengelus kepada anaknya. “Kami tidak tahu,” ucap serempak keduanya, “Ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Mereka pasrah. Mereka mencoba menghitung-hitung uang dan mengira-ngira, kapan bias membeli kudah lagi. “Nak,” sang ayah menatap mata putranya, “Dengan atau tanpa kuda, jika panggilan Allah dating, kita harus menyambutnya.” Si anak mengangguk mantap. Mereka kembali bekerja tekun seakan tak terjadi apapun.
Tiga hari kemudian, saat shubuh menjelang, kandang kuda mereka gaduh dan riuh. Suara ringkikan bershut-sahutan. Terkejut dan jaga, ayah dan anak itu berlari ke kandang sambil membenahi pakaiannya. Di kandang itu mereka temukan kuda hitam yang gagah bersurai indah. Tak salah lagi, itu kuda mereka yang pergi tanpa pamit tiga hari lalu!
Tapi kuda itu tak sendiri. Ada belasan kuda lain bersamanya. Kuda-kuda liar! Itu pasti kawan-kawannya. Mereka dating dari stepa luas untuk bergabung di kandang si hitam. Mungkinkah kuda punya akal jernih? Mungkinkah si hitam yang merasa mendapatkan layanan terbaik di kandang seorang bekas budak mengajak kawan-kawannya bergabung? Atau tahukah mereka bahwa mendatangi kandang itu berarti bersiap bertaruh nyawa untuk kemuliaan agama Allah, kelak jika panggilanNya berkumandang? Atau memang itu yang mereka inginkan?
“Bertasbih kepada Allah, segala yang di langi dan di bumi. Dan Allah Maha Pengmpun lagi Maha Bijaksana” (Q.s. Ash Shaff[61]: 1).
Ketika hari terang, para tetangga dating dengan takjub. “Luar bias!” kata mereka. “Kuda itu pergi memanggil kawan-kawannya dan kini kembali membawa mereka menggabungkan diri!” Mereka semua mengucapkan selamat pada pemiliknya.
“Wah, kalian sekarang kaya raya! Kalian orang terkaya dikampung ini!” Tapi si pemilik kembali hanya tersenyum. “Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepad Allah.”
Hari berikutnya dengan bahagia, sang putra mencoba menaiki salah seekor kuda itu. Sukacita dia memacunya ke segala penjuru. Satu saat, kuda liar itu terkejut ketika berpapasan dengan seekor lembu yang lepas dari kandang persimpangan. Dia meronta keras, dan sang penunggang terbabting. Kakinya patah. Dia menangis kesakitan.
Para tetangga dating menjenguk. Mereka menatap anak itu dengan pandanga penuh iba. “Kami turut prihatin,” kata mereka. “ternyata kuda itu tidak membawa berkah.mereka dating membawa musibah. Alangkah lebih beruntung yang tak memiliki kuda, namun anaknya sehat sentausa!”
Tuan rumah tersenyum lagi. “Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka bai kepada Allah.”
Hari berikutnya, hulubalang raja berkeliling negeri. Dia mengumumkan pengerahan pasukan untuk menghadapi tentara musuh yang telah menyerang perbatasan. Semua pemuda yang sehat jasmani dan rohani wajib  bergabung untuk mempertahankan negeri. Sayang, perang ini sulit dikatakan sebagai jihad di jalan Allah karena musuh yang hendak dihadapi adalah sesame muslim. Mereka hanya berbeda kesultanan.
“Nak,” bisik sang ayah ke telinga sang putra yang terbaring  tak berdaya, “Semoga Allah menjaga kita dari menumpahkan darah sesame muslim. Allah Maha Tahu, kita ingin berjihad di jalanNya. Kita sama sekali tak hendak beradu senjata dengan orang-orang muslim. Semoga Allah membebaskan diri kita dari beban itu!” Mereka berpelukan.
Petugas pendaftaran mendatangi setiap rumah dan membawa para pemuda yang memenuhi syarat. Saat memasuki rumah ayah dan anak pemilik kuda, mereka mendapati putranya terbaring di tempat tidur dengan kaki terbebat, disangga kayu dan dibalut kain.
“Ada apa dengannya?”
“Tuan prajurit,” kata sng ayah, “Anak saya ini begitu ingi membela negeri dan dia telah berlati untuk itu. Tetapi kemarin dia jatuh dari kuda ketika hendak menjinakkan kuda liar kami. Kakinya patah.”
“Ah, saying sekali!” kata sang hulubalang. “Padahal kulihat dia begitu gagah. Dia pasti akan menjadi seorang  prajurit tangguh. Tapi baiklah. Dia tidak memenuhi syarat. Maafkan aku, aku tak bias mengikutsertakannya!”
Dan hari itu, tetangga yang ditinggal pergi putra-putranya menjadi prajurit  mendatangi si pemilik kuda. “Ah, nasib!” kata mereka. “Kami kehilangan anak lelaki kami, tumpuan harapan keluarga. Kami melepas mereka tanpa tahu apakah mereka akan kembali atau tidak. Sementara putramu tetap bisa di rumah karena patah kakinya. Kalian begitu beruntung! Allah menyayangi klian!
Tuan rumah ikut bersedih melihat mendung diwajah-wajah itu. Kali ini bapak dan anak itu tak tersenyum. Tapi ucapan mereka kembali menggema, “Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Sebulan kemudian, kota itu dipenuhi ratapan para ibu dan tangisan para istri. Sementara para lelaki hanya termangu dan tergugu. Kabarnya tak jelas. Semua pemuda yang diberangkatkan perang tewas dimedan tempur. Tapi agaknya para warga telah banyak belajar banyak dari ayah beranak pemilik kuda. Semua penduduk ini mengumumkan kalimat indah itu. “Kami tak tahu  ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Singkat kisah, tak berapa lama kemudian panggilan jihad yang sebenarnya bergema. Pasukn Mongol Hulagu Khan menyerbu wilayah islam dan membumihangusknnya hingga rata dengan tanah. Orang-orang tak berperikemanusiaan itu mengalir bagai air bah meluluhlantakan peradaban. Ayah dan anak itu pun menyongsong janjinya. Mereka bergegas menyambut panggilan dengan kalimat agungnya, ”Kami tak tau apakah ini rahmat ataukah musibah. Kami hanya berprasangka baik pada Allah.!”
Mereka memang menemui syahid. Tapi sebelum itu, ada selaksa nikmat yang Allah karuniakan kepada mereka untuk dirasai. Sang anak pernah tertangkap pasukanMongol dan dijual sebagai budak. Dia berpindah-pindah tangan hingga kepemilikannya jatuh pada Al-Kamil, seorang Sultan Ayyubiyah di kairo. Ketika pemerintahan Mamluk menggantikan wangsa Ayyubiyah di Mesir, kariernya menajak cepat dari komandan kecil menjadi panglima pasukan, lalu Amir wilayah. Terakhir, setelah wafatnya Az-Zahir Raknuddin Baibars, dia diangkat menjadi Sultan. Namanya Al-Manshur Saifuddin Qalawun.


Inilah sekelumit kisah tentangnya. Qalawun yang berani berprasangka baik dalam segala keterhijaban. Qalawun yang berani berkata, “kami tak tahu ini rahmat atau musibah. Tapi kami selalu berprasangka baik kepada Allah!” Seperti kisahnya, dalam dekapan ukhuwah, ada berjuta kebaikan mengiringi prasangka baik kita padaNya. Dia setia bersama kita dan melimpahkan kebaikan, karena kita mengingat-Nya juga dengan sangkaan kebaikan.

Sumber buku Dalam Dekap Ukhwah Ust Salim Fillah

No comments:

Post a Comment