SUMBER GAMBAR : rahmanhatim93.blogspot.com |
Di sudut pasar kota Madinah, ada seorang pengemis buta beragama Yahudi yang setiap hari selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad! Dia itu orang gila, pembohong, tukang sihir! Apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhi olehnya! Dia penakluk pikiran yang ulung, banyak saudara-saudara kita yang lain telah disesatkan olehnya!” Tubuhnya renta. Matanya nyalang. Kepalanya bergerak-gerak. Dan mulutnya tak pernah berhenti mengutuk Muhammad.
Bagi pengemis itu, Muhammadlah satu-satunya orang yang ingin ia benci sampai mati. Tak ada yang lain. Setiap hari, ia menyumpahi Muhammad, mengutuknya, membrudalkan kebenciannya yang buta.
Namun, tahukah kau, Azalea, sesungguhnya setiap pagi Muhammad mendatanginya dan membawakannya makanan. Tanpa berucap sepatah kata pun Sang Nabi menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis buta itu. Bahkan, tak jarang Muhammad menghaluskan makanan yang dibawanya dengan mulutnya sendiri, lalu menyuapi pengemis buta yang renta itu dengan lembut.
Si Pengemis amat menyayangi lelaki baik hati yang mendatanginya setiap hari. Meskipun ia tak pernah melihat sosoknya, Si Pengemis tahu bahwa lelaki yang setiap hari mendatanginya dan memberinya makanan adalah lelaki lembut yang sangat baik hati. Ia bisa merasakannya—jauh sampai ke hatinya.
“Saudaraku, berhati-hatilah pada Muhammad. Dia itu pembohong, orang gila, tukang sihir!” Kata Si Pengemis Buta pada Muhammad yang sedang menyuapinya.
Sang Nabi diam saja. Ia mengelus-elus pundak pengemis tua itu. Si Pengemis tersenyum sambil menggerak-gerakkan kepalanya, mencari wajah lelaki baik hati yang begitu tulus membawakan makanan dan menyuapinya setiap hari.
***
Hingga suatu hari, kabar bahwa Muhammad telah wafat tersebar ke setiap sudut kota Madinah.
Di sudut pasar, Si Pengemis yang mendengar kabar kematian Muhammad, senang bukan kepalang. Ia tertawa karena orang yang sangat ia benci telah mati. Tapi, di saat yang bersamaan, ia kehilangan lelaki baik hati yang mendatanginya setiap hari—membawakannya makanan dan menyuapinya. Hingga senja ia menunggu lelaki itu datang, ia tak sabar ingin menceritakan kabar gembira ini padanya, “Muhammad telah mati”, batin pengemis tua itu. Sejak pagi, ia tak henti-hentinya tersenyum.
Beberapa hari berlalu, Azalea. Si Pengemis benar-benar merasa kehilangan sosok baik hati yang begitu mengasihinya selama ini. Setiap hari ia menunggu, detik-detik berguguran, tetapi lelaki baik hati itu tak juga datang.
***
Suatu hari sahabat terdekat Sang Nabi, Abu Bakar, berkunjung ke rumah anaknya, Aisyah, yang merupakan isteri Muhammad. Abu Bakar bertanya kepada putrinya, “Anakku, aku berusaha mengikuti segala sifat dan perilaku baik Rasulullah, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?”
Aisyah mengangguk perlahan, ditatapnya Ayahnya dengan penuh perasaan, “Ayah, engkau adalah seorang sahabat terdekat Rasulullah, kau mengikuti semua yang Rasulullah contohkan. Namun, ada satu kebiasaannya yang belum pernah engkau lakukan.”
Abu Bakar sangat ingin tahu kebiasaan Muhammad, yang dimaksud putrinya, “Apakah itu, putriku?"
“Ayah, setiap pagi Rasulullah selalu pergi ke salah satu sudut pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis buta Yahudi yang ada di sana,” kata Aisyah.
Abu Bakar mengangguk. Ia mengerti.
***
Keesokan harinya, Abu Bakar melaksanakan apa yang dikatakan putrinya. Dengan sangat bersemangat, ia pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada Si Pengemis yang diceritakan Aisyah kepadanya.
Abu Bakar mendatangi pengemis itu. Tanpa basa-basi, ia langsung memberikan makanan yang ia bawa kepada Si Pengemis.
“Siapa kau?” Kata Si Pengemis penuh curiga. Kepalanya bergerak-gerak mencari wajah seseorang yang baru saja memberinya makanan.
“Aku orang yang biasa mendatangimu,” kata Abu Bakar.
Ini kali pertama Si Pengemis mendengar suara lelaki yang biasa mendatanginya. Batinnya, benarkah ini lelaki yang sedang kutunggu-tunggu? Ia mempertajam rasanya, tetapi ia merasakan keanehan. “Mengapa kau tak duduk dan menyuapiku?” Kata Si Pengemis.
Abu Bakar mulai mengerti bahwa Muhammad selalu duduk di samping pengemis ini lalu menyuapinya. Ada getar yang menyelinap di hatinya. Muhammad, sosok itu tiba-tiba terbayang di benak Abu Bakar, lelaki dengan budi pekerti yang sungguh mulia. Lalu, Abu Bakar duduk di samping Si Pengemis dan mulai menyuapi.
“Siapa kau?” Kata Si Pengemis sekali lagi, kali ini dengan nada yang lebih tinggi. Ia menepis tangan Abu Bakar yang ingin menyuapinya.
“Aku orang yang biasa mendatangimu,” kata Abu Bakar sekali lagi. Ada getar di ujung suaranya.
“Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku!” Bantah Si Pengemis. Kepalanya bergerak-gerak. “Kau bukan orang itu. Sebab apabila ia datang kepadaku, tidak akan susah tangan ini memegang dan tidak akan susah mulut ini mengunyah. Orang yang setiap hari mendatangiku akan duduk bersimpuh di sampingku, lalu ia mulai menyuapiku setelah terlebih dahulu ia haluskan makanan yang ia bawa untukku,” Si Pengemis menjelaskan semuanya.
Mendengar kata-kata Si Pengemis, Abu Bakar tak bisa menahan air matanya lagi. “Aku memang bukan orang yang biasa mendatangimu,” kata Abu Bakar sambil terisak, “aku hanyalah salah seorang dari sahabatnya. Orang yang sangat mulia itu telah pergi, ia telah tiada. Dialah Muhammad Rasulullah.”
Mendengar kata-kata terakhir Abu Bakar, Si Pengemis merasakan sesuatu tiba-tiba seolah menghantam dadanya dengan sangat keras. Ingatannya kembali pada saat-saat seseorang yang sangat lembut dan penuh kasih itu biasa mendatanginya, memberikannya makanan dan menyuapinya setiap hari. Diakah Muhammad? Dadanya tiba-tiba menjadi sangat lemah. Ia mulai mendapati air mata meleleh di tebing pipinya. Diakah Muhammad yang setiap hari aku caci-maki dengan penuh kebencian? Katanya dalam hati.
“Benarkah demikian?” Suara Si Pengemis begitu lemah dengan tenggorokan bergetar, “Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, menyebutnya penyihir dan orang gila, tetapi ia tak pernah memarahiku sedikitpun. Ia hanya diam dan mengelus pundakku dengan lembut. Setiap hari, ia datang dan duduk di sampingku, menghaluskan makananku, menyuapiku dengan tangannya sendiri, lalu ia pergi. Benarkah lelaki yang sangat lembut dan mulia ini adalah Muhammad?”
Si Pengemis tak sanggup menahan tangisnya. Abu Bakar sekali lagi meyakinkannya. “Ya,” kata Abu Bakar, ia mengangguk pelan. Si Pengemis mulai faham mengapa pada saat Muhammad dikabarkan wafat, lelaki baik hati itu tak pernah datang lagi. “Oh Muhammad”, batinnya, tiba-tiba kesunyian mulai meranggas di hatinya yang penuh kebencian. Ada rindu yang tertahan, “Oh Muhammad”, batinnya. Si Pengemis tak sanggup membendung air matanya.
“Sungguh, Muhammad adalah lelaki yang sangat mulia. Tuan, tolong antarkan aku ke pusaranya,” Kata Si Pengemis pada Abu Bakar. Kepalanya bergerak-gerak. Air mata masih membasahi pipinya.
Mendengar kata-kata Si Pengemis Buta, Abu Bakar benar-benar terpesona. Seketika bayangan Muhammad Sang Nabi melintas lagi di benaknya—ia mengenang lelaki dengan sifat dan perangai mulia itu, Muhammad, yang sanggup melumpuhkan kebencian dengan kasih sayang.
Di depan pusara Sang Nabi, Abu Bakar dan Pengemis Buta Yahudi berdiri termangu. Keduanya diliputi kesedihan luar biasa. Angin lembut menerpa wajah mereka berdua yang basah oleh air mata.
“Tuan,” bisik Si Pengemis Yahudi, “Aku akan menjadi pengikut Muhammad,” katanya.
Bibir Abu Bakar bergetar. Ada gemuruh yang tak bisa ia tahan di dadanya.
“Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah… dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Gumam pengemis buta itu.
***
(Diambil dari bagian ke-28 buku Seribu Malam Untuk Muhammad, 2013)
No comments:
Post a Comment