Thursday, July 7, 2016

CERPEN : Karena Ara Benci Hujan oleh Rezkiawati Nazaruddin






Pengantar : beberapa kisah ini akan ana posting yang bersumber dari buku-buku. alasannya karena komitmen pribadi untuk kembali belajar di mahad serta menghapal Alquran selama 2 tahun. sehingga ada banyak postingan yang copy paste dari sebuah buku kisah dan cerpen dan terjadwal di posting dalam blog ini. oleh karenanya kami mohon maaf serta berharap kisah tersebut bermanfaat dan menginspirasi pembaca. kalo pun ada hal-hal yang kurang setuju dari kisah-kisah yang ana posting kedepan marilah kita saling memperbaiki. wallahualam. Barakallah.. semoga Allah berikan kebaikan..amin



Karena Ara Benci Hujan
Rezkiawati Nazaruddin
Tik tik tik bunyi hujan di atas genteng...” Ara sudah terlalu dewasa untuk lagu semacam itu, lagi pula sejak umur 8 tahun dia sudah tak pernah menyanyi­kannya lagi. Tapi orang di sampingnya ini mem­buatnya harus mendengarkannya lagi.

Entah mengapa, dari tadi mulutnya tak henti bersenandung lagu itu. Cowok ini sebaya dengannya, dan Ara merasa aneh lagu itu dinyanyikan olehnya. Ara ogah menegurnya, lagian kalau bukan karena hujan sialan ini, Ara nggak akan terjebak di sini, di halte ini bersamanya.
Hanya mereka berdua, terjebak di bawah hujan. Cuaca buruk membuat orang malas keluar rumah. Tapi berkas papa yang ketinggalan terpaksa membuat Ara terpaksa keluar rumah terburu-buru, dan lupa bawa payung. Ara kesal sekali, bukan hanya gagal mengantarkan berkas papa tepat waktu, tetapi juga bertemu cowok aneh itu.
“Kelihatannya hujan makin deras ya, Mbak?” Tak disangka cowok itu menyapanya. Ara agak kaget, tapi cuma tersenyum samar.
“Mbak, mau ke mana?” tanyanya lagi. Ara bergeming, “Mau nganterin sesuatu,” jawabnya pendek.
“Kenapa nggak bawa payung, Mbak?” Ara sedikit jengkel, seharusnya pertanyaan itu juga ditujukan untuk cowok sok ramah ini. Rutuk Ara dalam hati. Dia tak menjawab. Dan cowok itu nyerocos lagi. “Oh, pasti lupa ya? Atau nggak punya payung di rumah? Hehe… kalau saya memang nggak punya payung.”
Siapa yang nanya? Ara cuma meliriknya sekilas.
“Habis hujan biasanya ada pelangi, Mbak suka lihat pelangi kan? Cewek-cewek biasanya suka hal-hal romantis seperti itu.” Ara bertanya dalam hatinya kapan terakhir kali dia lihat pelangi? It's a long time ago. Ara mendesah. Cowok itu diam, mungkin karena per­tanyaannya nggak dijawab. Tapi yang menarik diperhatikan darinya adalah dia sedikit pun tidak menunjukkan rona muka kesal. Malah tampak menikmati suasana hujan ini. Beda sekali dengan Ara yang nggak bisa menyembunyikan kekesalannya. Hujan ini kapan berakhirnya?
“Emang kamu mau ke mana?” Ara tidak menduga akan bertanya seperti itu. Cowok itu menoleh dan tersenyum. “Oh, mau ngomong juga... hehe, aku cuma mau ke perpustakaan. Tapi hujan, jadi aku berteduh dulu di sini.”
Perpustakaan? Loh itu kan tepat di seberang jalan di depan halte ini?
“Aku mau menikmati hujan dulu, masuk perpusnya entar-entar aja.” Cowok itu seakan membaca pikiran Ara. Aneh banget, hujan kok dinikmati? Yang dinikmati itu matahari terbenam atau makanan enak.
“Kamu suka hujan?” Ara tanpa sadar bertanya lagi.
“Bukan hujannya yang aku suka, tapi suasana saat hujan.”
“Kenapa?”
“Asyik aja, suasana kayak gini kan cuma kita temukan saat hujan turun.”
“Apanya yang asyik? Kalau hujan semuanya jadi basah, langit mendung terus kadang-kadang muncul petir. Akibatnya aktivitas kita bakalan terganggu kan?”
“Kamu melihatnya dari sudut pandang seperti itu ya? Lihat anak kecil yang menyewakan payung itu? Kamu tahu kalau hujan ini dinantikan oleh para petani? Hujan ada baiknya juga kok. Untuk orang-orang tertentu hujan selalu membawa rejeki untuk mereka.”
“Tapi bukan aku, karena aku benci hujan.” Ara menatap dengan tatapan kosong.
“Loh, kenapa?” giliran cowok itu yang heran.
“Karena nggak pernah terjadi hal-hal baik saat hujan turun. Mamaku meninggal saat hujan, bahkan pemakamannya juga dilakukan saat hujan deras. Padahal mama sangat suka hari yang cerah. Aku pernah mengalami kecelakaan saat hujan, dan nyaris meninggal. Aku pernah punya pacar dan dia juga meninggalkanku saat hujan.” Ara tak kuasa me­nyembunyikan kesedihannya. Cowok itu menatapnya dengan penuh simpati.
“Dan kamu menyalahkan hujan atas semua itu?”
“Tidak juga,” sanggah Ara, “tetapi semua itu terjadi saat hujan. Dan suasana hujan seperti ini malah membuatku mengingat semua kejadian itu.”
“Aku turut sedih atas semua yang telah kamu alami. Tapi hujan adalah berkah dari Tuhan, aku selalu percaya itu.”
“Hujan itu membawa kehidupan baru buat tumbuhan, hewan, dan juga para manusia. Ketika hujan turun juga tersimpan harapan baru.” Ara hanya bisa menatap lawan bicaranya itu.
“Apa kau tidak pernah merasa begitu? Orangtuaku pernah bilang, salah satu saat terbaik untuk berdoa adalah waktu hujan turun.” Cowok itu tersenyum pada Ara.
“Dan apa doamu?” tanya Ara.
“Agar selalu diberi rahmat-Nya seperti banyaknya titik hujan yang turun.” Ara merasa aneh dengan dirinya sendiri, ia sangat tenang mendengar penuturan cowok itu.
“Siapa namamu?” tanyanya pada Ara.
“Sahara.” Cowok itu tersenyum.
“Pantas saja kamu tidak suka hujan, kan di gurun Sahara tak ada hujan.” Ara cuma tertawa kecil, tidak menyangka akan bertemu teman mengobrol semenarik ini.
“Dan kau, siapa namamu?” Ara balik bertanya.
“Mikail, nama malaikat yang menurunkan hujan,” jawabnya riang.
Ara tersenyum tulus, sambil menengadah ke atas melihat hujan yang tak kunjung berhenti dan berpikir. “Hujan ternyata tak seburuk itu.”(*)

SUMBER DARI BUKU "MY DAENG IS HERO"

No comments:

Post a Comment