Makassar
terasa begitu dingin, sudah berkali-kali hujan turun, walau sebenarnya ini bulan
Mei yang seharusnya musim kemarau. Sayangnya, rasa dingin itu hanya sampai di
kulitku saja, tidak untuk hatiku.
Aku
masih terngiang kejadian yang membuatku tidak bisa tidur. Sudah jam 11 malam,
Abid memintaku untuk putus dengannya setelah jalan-jalan, pas pulang ia
mengatakannya. Sebenarnya dari awal dari hubungan kami memang ia terlihat
setengah hati menjalaninya, maka dengan mudah aku mengiyakan saja, entah dorongan
apa aku mengatakannya karena
kasihan bercampur pikiran berat berpisah dari abid..
Walaupun
begitu, entah dari mana aku pun ke galauan, perih terasa mengingat masa itu,
karena Abid adalah cowok pertama kali yang aku tembak dan memutuskanku di
tengah hubungan. Caca yang sedari tadi memperhatikanku perlahan mendekatiku, ia
membawa buku kimia untuk kerja soal bersama.
“oh....
jangan sedih....La”, “laki-laki bukan hanya Abid”, hibur Caca yang telah mengetahui kabar bahwa aku telah
menjomlo. Ia lalu memegang tanganku dengan erat. Ada
perasaan tenang bila bersama Caca.
“Tenks,
ya Ca....”, ujarku pada Caca.
“Eh...
kulihat beberapa hari ini Ramon PDKT sama elu setelah kamu putus”, hibur Caca
lagi.
“Mungkin
ia nanti nembak elu”, tambahnya.
Kujawab
hanya senyum, mungkin Caca hendak membenarkan perkataannya. Masih ada Ramon
atau masih ada laki-laki di luar sana untuk dijadikan pacar selanjutnya, itu
yang kutafsirkan.
Makassar,
hujan kembali mengguyur sekolahku, termasuk hujan seperti mendinginkan hatiku
yang sedih.
Sebulan
sejak aku putus dengan Abid, aku tampaknya menikmati status baru yang kusandang
‘jomblo’. Wow.... kukira tak kusangka memang, status yang sering dibicarakan
kini aku mendapatkannya. Tak ada Abid yang selalu kutemani jalan-jalan ke MALL
atau ke tempat lain. Hanya itu memang, walau begitu Abid tetap menjadi teman
yang baik. Tetap membalas sapaanku, minimal dengan senyum. Tetap membantu
menjelaskan soal bila kuminta. Walaupun tidak seakrab yang dulu. Selain itu,
pelajaranku di sekolah kian berat, banyak tugas. Kabar baiknya ada Ramon, teman
sejak kecilku yang membantuku.
Mungkin
Caca benar, Ramon PDKT padaku dan aku menangkap sinyal bakal ditembak sama
Ramon. Entah kapan, aku mencoba dalam hatiku. Ramon, pernah dulu aku dekat
dengannya, walau kukatakan sahabat tanpa status pacaran, dulu memang waktu SMP
aku suka sama dia tapi sejak berjalannya waktu cinta itu kian memudar.
Abid,
akankah menjadi pertama dan terakhirku, ataukah Ramon menjadi penggantinya
untuk yang kedua? Aku tak bisa memutuskannya. Tapi ......
“Aku
sayang sama kamu, La!”, ujar Ramon yang harus memaksa untuk menjawab pada hari
ini juga. Tanpa sadar mulutku berucap kata-kata yang orang pernah menjadi
tambatan hatiku.
“Ramon,
aku hargai perasaanmu padaku”, jeda Ramon tersenyum dan berharap-harap cemas
dan ....
“Tapi
.... maaf”, dramatis banget.
“agang..” kata ku sekilas
“apa..” ramon bingung mendengarkannya
“Aku
ingin kita tetap menjadi sahabat”.
Kulihat
Ramon agak kecewa mendengar jawabanku. Ramon entah menahan sesuatu di dadanya.
“Maafkan
aku Ramon”, desirku dalam hati.
----------------------
Ternyata kata ‘agang’ itu adalah kata abid.
Agang artinya sahabat. Kata yang dipakai abid untuk memutuskan ku. Sebenarnya dari awal aku terkagum sama Abid, keteguhannya pada prinsip,
sehingga aku memakai kata-katanya untuk menolak Ramon.
Putusnya
aku sama Abid, dan kutolaknya Ramon, membuatku sadar, cinta tidak mesti dengan
pacar, tapi cinta untuk semua hal, Cinta for All.
Untuk
sahabat, Ayah, ibu, saudara, guru.
Tapi karena ‘agang’ persahabatan itu dapat melahirkan suatu perasaan. Perasan
itu yang namanya cinta.
BERSAMBUNG......
KElanjutan kisahnya akan bercerita di naik kelas dua atau kelas sebelas...
jadi good by kelas sepuluh...
No comments:
Post a Comment