BAHAYA SAUDARA IPAR
Kisah Nyata : Ipar Itu Maut
Khalid duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang diliputi kesedihan dan kegalauan. Shaleh, kawannya, memperhatikan kegalauan dan kesedihan itu di wajahnya. Ia berdiri dari mejanya dan mendekati Khalid, lalu berkata padanya:
“Khalid, kita ini berteman layaknya bersaudara sejak sebelum kita sama-sama bekerja. Aku
perhatikan sejak seminggu ini selalu termenung, tidak konsentrasi. Engkau kelihatan begitu galau dan bersedih…”
Khalid terdiam sejenak. Kemudian ia berkata:
“Terima kasih atas kepedulianmu, Shaleh…Aku merasa memang membutuhkan seseorang yang dapat mendengarkan masalah dan kegelisahanku, barangkali itu bisa membantuku untuk mencari jalan keluarnya…”
Khalid memperbaiki duduknya, lalu menuangkan segelas teh kepada kawannya, Shaleh. Kemudian ia berkata lagi:
“Masalahnya, wahai Shaleh, seperti yang engkau tahu aku sejak menikah 8 bulan lalu, aku dan
istriku tinggal sendiri di sebuah rumah. Namun masalahnya adikku yang paling kecil, Hamd, yang berusia 20 tahun baru saja menyelesaikan SMA- nya dan diterima di salah satu universitas di sini.
Dia akan datang satu atau dua minggu lagi untuk memulai kuliahnya. Ayah dan ibuku memintaku bahkan mendesakku agar Hamd dapat tinggal bersamaku di rumahku daripada ia harus tinggal di asrama mahasiswa bersama teman-temannya.
Mereka takut nanti dia terseret mengikuti kawan- kawannya!
Aku menolak hal itu, karena kamu tahu kan bagaimana seorang pemuda yang sedang puber
seperti itu. Keberadaannya di rumahku akan menjadi bahaya besar. Kita semua sudah melewati masa remaja seperti itu. Kita tahu betul bagaimana kondisinya. Apalagi aku terkadang keluar dari rumah, sementara ia akan tetap berada di kamarnya. Mungkin juga aku pergi untuk beberapa hari untuk urusan pekerjaan…dan banyak lagi…
Aku harus pula sampaikan padamu bahwa aku sudah menanyakan kepada salah seorang Syekh terkait masalah ini, dan beliau mengingatkanku untuk tidak mengizinkan siapapun, meski itu saudaraku sendiri untuk tinggal bersamaku dan bersama istriku di rumah. Beliau mengingatkanku tentang sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Ipar itu adalah maut.”
Maksudnya bahwa hal paling berbahaya bagi seorang istri adalah kerabat-kerabat dekat sang
suami, seperti saudara dan pamannya, karena mereka biasanya dengan mudah masuk ke dalam rumah. Dan tidak ada yang meragukan bahwa fitnah yang sangat besar dan berbahaya dapat terjadi di sini.
Lagi pula, engkau pasti tahu, wahai Shaleh, kita seringkali ingin berdua saja dengan istri di rumah agar kita bisa beristirahat bersamanya dengan selapang-lapangnya. Dan ini sudah pasti tidak bisa terwujud jika adikku, Hamd, tinggal bersama kami di rumah…”
Khalid terdiam sejenak. Ia meneguk teh yang ada di depannya. Kemudian ia melanjutkan kembali ucapannya:
“Aku sudah menjelaskan semuanya kepada ayah dan ibuku. Bahkan aku bersumpah bahwa yang aku inginkan adalah kebaikan untuk adikku, Hamd. Namun mereka justru marah kepadaku, mereka menyerangku di depan semua keluarga, menganggapku sudah durhaka, bahkan menyebutku berprasangka buruk kepada adikku, padahal ia menganggap istriku seperti kakaknya sendiri. Mereka mengira aku dengki pada adikku karena aku tidak menghendaki ia melanjutkan pendidikan tingginya…”
“Yang lebih berat dari itu semua, wahai Shaleh,
adalah karena ayahku telah mengancamku dengan
mengatakan bahwa ini akan menjadi citra buruk
dan aib besar di tengah keluarga, karena
bagaimana adikku bisa tinggal bersama orang lain
sementara rumahku ada. Ayahku mengatakan:
‘Demi Allah, jika Hamd tidak tinggal bersamamu,
aku dan ibumu akan marah padamu hingga kami
mati. Kami tidak pernah mengenalmu sejak hari
ini, dan kami akan berlepas diri darimu di dunia
sebelum di akhirat…”
Khalid menundukkan kepalanya sejenak, lalu
kembali berujar:
“Sekarang aku sungguh bingung tidak tahu berbuat
apa. Dari satu sisi, aku ingin menyenangkan hati
ayah dan ibuku, tapi di sisi lain aku tidak ingin
mengorbankan kebahagiaan keluargaku. Nah,
sekarang bagaimana pandanganmu, wahai Shaleh,
terhadap masalah yang sangat berat ini?”
Shaleh memperbaiki duduknya. Ia kemudian
mengatakan:
“Tentu engkau ingin mendengarkan pendapatku
sejelas-jelasnya dalam masalah ini, bukan?
Karenanya izinkan aku untuk mengatakan
kepadamu, wahai Khalid, bahwa engkau benar-
benar seorang peragu dan bimbang. Sebab jika
tidak begitu, untuk apa semua persoalan dan
masalah ini terjadi bersama kedua orang tuamu?
Bukankah engkau tahu bahwa ridha Allah itu
bergantung pada ridha kedua orang tua, begitu
pula kemurkaan-Nya bergantung pada kemurkaan
mereka berdua? Lagi pula jika adikmu tinggal
serumah denganmu, ia akan membantumu
menyelesaikan urusan rumah. Dan ketika engkau
tidak ada di rumah untuk suatu urusan, ia akan
menjaga rumahmu selama engkau pergi.
Shaleh sengaja diam sebentar. Ia ingin melihat
bagaimana reaksi Shaleh terhadap apa yang
diucapkannya. Kemudian ia melanjutkan dengan
mengatakan:
“Lagi pula aku ingin bertanya padamu: mengapa
engkau berburuk sangka pada adikmu sendiri? Apa
kamu lupa Allah melarang kita berburuk sangka
kepada orang lain? Coba katakan padaku:
bukankah engkau percaya dengan istrimu?
Bukankah engkau percaya kepada adikmu?”
Khalid segera memotongnya:
“Aku percaya kepada istriku dan juga adikku,
tapi…”
“Kita kembali lagi menjadi ragu dan percaya pada
praduga-praduga…,” potong Shaleh. “Percayalah,
wahai Khalid, adikmu Hamd akan menjadi penjaga
yang amanah untuk rumahmu, baik ketika engkau
ada ataupun tidak. Ia tidak mungkin akan
mengganggu istri kakaknya karena ia sudah
menganggapnya seperti kakaknya. Dan coba
tanyakan pada dirimu sendiri, wahai Khalid, jika
adikmu Hamd kelak menikah, apakah engkau
sempat berpikir untuk mengganggu istrinya? Aku
yakin jawabnya tidak, bukan?
Lalu kenapa engkau harus kehilangan ayahmu,
ibumu dan saudaramu? Keluargamu akan
berpecah hanya karena praduga-praduga seperti
itu? Gunakanlah akal sehatmu. Buatlah ayah dan
ibumu ridha agar Allah juga ridha pada-Mu. Dan
jika engkau setuju, biarlah adikmu Hamd, tinggal
di bagian depan dari rumahmu, kemudian kuncilah
pintu pemisah antara bagian depan rumahmu
dengan ruangan-ruangan lain.”
Khalid akhirnya bisa menerima penjelasan
kawannya, Shaleh. Di hadapannya, ia tidak punya
pilihan selain menerima adiknya, Hamd untuk
tinggal bersamanya di rumahnya.
Beberapa hari kemudian, Hamd pun tiba. Khalid
menjemputnya di bandara. Mereka kemudian
meluncur menuju rumah Khalid di mana Hamd
akan menempati bagian depannya. Dan seperti
itulah yang terjadi selanjutnya…
Hari demi hari terus berganti. Ia bergulit mengikuti
ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah. Dan
kini kita telah berada di empat tahun setelah
perisitiwa itu…
Kini Khalid telah genap berusia 30 tahun. Ia telah
menjadi ayah bagi tiga orang anak. Sementara
Hamd kini telah memasuki tahun terakhir
perkuliahannya. Ia sudah hampir menyelesaikan
kuliahnya di universitas. Kakaknya, Khalid telah
berjanji untuk mengupayakan pekerjaan yang layak
untuk adiknya di universitas itu, dan
membolehkannya tetap tinggal di rumah itu hingga
ia menikah dan pindah dengan istrinya ke rumah
tersendiri.
Pada suatu malam, ketika Khalid baru saja pulang
ke rumahnya dengan mengendarai mobilnya…Ia
melintas di jalan yang bertepian dengan
rumahnya. Tiba-tiba dari jauh ia melihat seperti
dua sosok hitam di pinggir jalan. Ketika ia
mendekat, ternyata seorang ibu tua dengan
seorang gadis yang terbaring di tanah menangis
kesakitan. Sementara sang ibu tua it uterus
berteriak meminta tolong:
“Tolong!! Toloooong kami!”
Khalid sungguh heran dengan pemandangan itu.
Rasa ingin tahunya mendorongnya untuk
mendekat lebih dekat lagi dan bertanya mengapa
mereka berdiri di pinggir jalan seperti itu.
Ibu tua itupun menceritakan padanya bahwa
mereka bukanlah penduduk kota itu. Mereka baru
sepekan saja berada di situ. Mereka tidak
mengenal siapapun di sini, dan bahwa gadis itu
adalah anaknya, suaminya sedang pergi ke luar
kota untuk urusan pekerjaan. Dan sekarang si
anak itu mengalami sakit melahirkan sebelum
waktunya. Anaknya hampir mati karena rasa sakit
yang luar biasa itu, sementara mereka tidak
menemukan seorang pun yang dapat mengantar
mereka ke rumah sakit.
Ibu tua itu meminta tolong dan memohon-mohon
padanya sembari mengucurkan air mata:
“Tolonglah, aku akan mencium kedua
kakimu….bantulah aku dan anakku ke rumah sakita
terdekat! Semoga Allah menjagamu, istrimu dan
anak-anakmu dari semua musibah.”
Air mata ibu tua dan erangan kesakitan gadis itu
membuatnya terenyuh. Ia benar-benar merasa
kasihan. Dan karena dorongan untuk membantu
orang kesulitan, ia pun setuju untuk membawa
mereka ke rumah sakit terdekat. Ia segera
menaikkan mereka ke mobilnya, dan secepatnya
meluncur ke rumah sakit terdekat. Sepanjang
perjalanan, ibu tua itu tidak putus-putusnya
mendoakan kebaikan dan keberkahan untuk Khalid
dan keluarganya.
Tidak lama kemudian, mereka pun sampai ke
rumah sakit. Setelah menyelesaikan urusan
administrasinya, gadis itu kemudian dimasukkan
ke dalam ruang operasi untuk menjalani operasi
cesar, karena ia tidak mungkin melahirkan secara
normal.
Karena ingin berbuat baik, Khalid merasa kurang
enak jika segera pergi dan meninggalkan ibu tua
itu bersama putrinya di sana sebelum ia merasa
yakin betul akan keberhasilan operasi itu dan bayi
yang dikandungnya keluar dengan selamat. Ia pun
menyampaikan kepada ibu tua itu bahwa ia akan
menunggunya di ruang tunggu pria. Ia meminta
pada ibu itu untuk mengabarinya jika operasi itu
selesai dan proses melahirkan itu berhasil dengan
selamat. Khalid kemudian menghubungi istrinya
dan menyampaikan bahwa ia akan sedikit
terlambat pulang ke rumah. Ia menenangkan istri
bahwa ia baik-baik saja.
Khalid pun duduk di ruang menunggu khusus pria.
Ia menyandarkan punggungnya ke tembok, dan
kelihatannya ia sangat mengantuk. Ia pun tertidur
tanpa ia sadari. Khalid tidak pernah tahu berapa
lama waktu berjalan selama ia tertidur. Namun
yang ia ingat betul adalah pemandangan yang
tidak akan pernah ia lupakan untuk selamanya…
Ketika ia tiba-tiba terbangun oleh suara dokter
jaga dan dua petugas keamanan yang
mendekatinya, sementara si ibu tua tadi berteriak-
teriak sambil menunjuk ke arahnya: “Itu dia! Itu
dia!!”
Khalid sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia
berdiri dari tempat duduknya dan segera
mendatangi ibu tua itu, lalu berkata: “Apakah
proses kelahirannya berhasil, Bu?”
Dan sebelum ibu tua itu mengucapkan sesuatu,
seorang petuga keamanan mendekatinya dan
bertanya: “Anda Khalid?”
“Iya, benar,” jawabnya.
“Kami ingin Anda datang sekarang juga ke ruang
kepala keamanan!” ujar petugas itu.
Semuanya akhirnya masuk ke ruang kepala
keamanan dan mengunci pintunya. Ketika itulah,
ibu tua itu kembali berteriak dan memukul-mukul
badannya sendiri. Ia mengatakan: “Inilah penjahat
keji itu!! Aku harap kalian tidak melepaskan dan
membiarkannya pergi! Duhai malangnya nasibmu,
wahai putriku!”
Khalid hanya bisa terkejut penuh kebingungan,
tidak memahami apa yang sedang terjadi di
sekitarnya. Ia tidak sadar dari kebingungannya
kecuali setelah polisi itu mengatakan:
“Ibu tua ini mengaku bahwa engkau telah berzina
dengan putrinya. Engkau telah memperkosanya
hingga hamil. Lalu ketika ia mengancammu untuk
melaporkan ini pada polisi, engkau berjanji akan
menikahinya. Namun setelah melahirkan, kalian
akan meletakkan anak bayi itu di pintu salah satu
mesjid agar ada orang baik yang mau
mengambilnya untuk membawanya ke panti
sosial!”
Khalid benar-benar terkejut mendengarkan ucapan
itu. Dunia menjadi gelap di matanya. Ia tidak lagi
bisa melihat apa yang ada di depannya. Kalimat-
kalimatnya tertahan di kerongkongannya. Hingga
tiba-tiba saja ia terjatuh, tidak sadarkan diri.
Tidak lama kemudian, Khalid tersadar dari
pingsannya. Ia melihat dua orang petugas
keamanan bersama di dalam ruangan itu. Seorang
polisi khusus yang ada di situ segera mengajukan
pertanyaan untuknya:
“Khalid, coba sampaikan yang sebenarnya. Karena
kalau kami melihat sosokmu, nampaknya engkau
adalah seorang yang terhormat. Penampilanmu
menunjukkan bahwa engkau bukanlah pelaku yang
melakukan kejahatan seperti ini.”
Dengan hati yang sangat hancur, Khalid
mengatakan:
“Tuan-tuan, apakah seperti balasan untuk sebuah
kebaikan? Apakah seperti ini kebaikan itu dibalas?
Aku adalah seorang pria terhormat dan baik-baik.
Aku sudah menikah dan punya tiga orang anak:
Sami, Su’ud dan Hanadi. Dan aku tinggal di
lingkungan baik-baik…”
Khalid tidak bisa menguasai dirinya. Air matanya
mengalir deras dari kedua pelupuk matanya.
Kemudian ketika ia mulai tenang, ia pun
menceritakan kisahnya dengan ibu tua dan
putrinya itu secara lengkap.
Dan ketika Khalid selesai menyampaikan
informasinya, polisi itu berkata padanya:
“Tenanglah! Aku percaya bahwa engkau tidak
bersalah. Tapi persoalannya adalah semuanya
harus berjalan sesuai prosedur. Harus ada bukti
yang menunjukkan ketidakbersalahanmu dalam
masalah ini. Perkaranya sangat mudah dalam
kasus ini. Kami hanya akan melakukan beberapa
pemeriksaan laboratorium medis khusus yang akan
menyingkap hakikat sebenarnya.”
“Hakikat apa?” potong Khalid. “Hakikat bahwa aku
tidak bersalah dan seorang yang terhormat?
Apakah kalian tidak mempercayaiku?”
Keesokan paginya, selesailah pengambilan sampel
sperma milik Khalid untuk kemudian dibawa ke
laboratorium untuk diperiksa dan diteliti. Khalid
duduk bersama polisi khusus di sebuah ruangan
lain. Ia tak putus-putusnya berdoa dan meminta
kepada Allah agar menunjukkan apa yang
sebenarnya telah terjadi!
Kurang lebih dua jam kemudian, datanglah hasil
pemeriksaan tersebut. Hasilnya sungguh
mengejutkan. Pemeriksaan itu menunjukkan
bahwa Khalid sama sekali tidak bersalah dalam
masalah ini. Itu sepenuhnya adalah tuduhan
dusta. Khalid tak kuasa menahan rasa
gembiranya. Ia bersujud kepada Allah sebagai
ungkapan rasa syukurnya karena Ia telah
menunjukkan ketidakbersalahannya dalam kasus
itu. Petugas polisi itupun meminta maaf atas
gangguan yang mereka munculkan. Kemudian si
ibu tua dan putrinya itupun ditangkap dan dibawa
ke kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Sebelum meninggalkan rumah sakit, Khalid
berusaha untuk berpamitan kepada dokter
spesialis yang telah melakukan pemeriksaan
tersebut, karena telah menjadi sebab
kebebasannya dari tuduhan keji itu. Ia pun pergi
menemui sang dokter di ruangannya untuk
berpamitan dan berterima kasih. Namun dokter itu
justru memberikan kabar kejutan padanya:
“Jika Anda berkenan, saya ingin berbicara dengan
Anda secara khusus beberapa menit…”
Dokter itu nampak agak gugup, lalu seperti
berusaha mengumpulkan keberaniannya ia
berkata:
“Khalid, sebenarnya dari hasil pemeriksaan yang
telah saya lakukan, saya khawatir Anda mengidap
sebuah penyakit! Tapi saya belum bisa
memastikannya. Karena itu saya harap Anda
berkenan untuk melakukan beberapa pemeriksaan
lagi untuk istri dan anak-anak Anda agar saya bisa
memastikannya dengan yakin…”
Dengan perasaan dan raut wajah penuh
keterkejutan dan kekhawatiran, Khalid pun berkata:
“Dokter, tolong kabarkan pada apa yang sedang
kuderita…aku rela menerima semua takdir Allah
bagiku. Yang paling penting bagiku adalah anak-
anakku yang masih kecil. Aku siap mengorbankan
apa saja untuk mereka…”
Lalu ia menangis tersedu-sedu. Dokter berusaha
untuk menenangkannya dan berkata:
“Sebenarnya saya tidak bisa mengabari Anda
sekarang sampai saya benar-benar yakin dengan
hal itu. Boleh jadi keraguanku tidak pada
tempatnya. Tapi segeralah bawa ketiga anakmu ke
sini untuk pemeriksaan.”
Beberapa jam kemudian, Khalid pun membawa
istri dan anak-anaknya ke rumah sakit itu.
Selanjutnya mereka diperiksa dan diambil sampel-
sampelnya yang dibutuhkan untuk pemeriksaan
laboratorium. Setelah itu, ia membawa mereka
pulang lalu ia kembali lagi ke rumah sakit untuk
menemui dokter itu lagi. Ketika mereka berdua
sedang mengobrol, tiba-tiba telefon genggam
Khalid berbunyi. Ia mengangkatnya dan berbicara
kepada orang yang menelponnya beberapa menit.
Kemudian setelah selesai, ia kembali melanjutkan
pembicaraannya dengan dokter yang
mendahuluinya dengan pertanyaan: “Siapa orang
yang padanya kau sampaikan untuk tidak
membongkar pintu apartemen itu?”
“Ia adikku, Hamd. Ia tinggal bersama kami dalam
satu apartemen. Ia telah menghilangkan kuncinya
dan memintaku untuk segera pulang agar dapat
membuka kunci pintu yang tertutup itu,” jawab
Khalid.
“Sejak kapan ia tinggal bersama kalian?” tanya
dokter heran.
“Sejak empat tahun yang lalu,” jawab Khalid. “Saat
ini, ia sedang menyelesaikan tahun terakhirnya di
universitas.”
“Bisakah engkau menghadirkannya pula besok
untuk juga diperiksa? Kami ingin memastikan
apakah penyakit ini keturunan atau bukan?” tanya
dokter.
“Dengan senang hati, besok kami akan hadir ke
sini bersama,” jawab Khalid.
Pada waktu yang telah ditentukan, Khalid dan
Hamd, adiknya, hadir di rumah sakit. Dan akhirnya
selesai pula pemeriksaan laboratorium terhadap
sang adik. Dokter kemudian meminta Khalid untuk
menemuinya satu pekan dari sekarang untuk
mengetahui hasil akhirnya…
Sepanjang pekan itu, Khalid hidup dalam
kegalauan dan kegelisahan. Pada waktu yang
dijanjikan, Khalid pun datang pada minggu
berikutnya. Dokter menyambutnya dengan hangat.
Ia juga memesankan segelas lemon untuknya agar
ia lebih tenang. Dokter mengawali penjelasannya
dengan mengingatkan Khalid betapa pentingnya
bersabar menghadapi musibah, dan memang
demikianlah dunia itu!
Khalid memotong pembicaraan dokter itu dengan
mengatakan:
“Tolong, Dokter, Anda jangan membakar tubuhku
lebih lama lagi. Aku sudah siap untuk menanggung
penyakit apapun yang menimpaku. Ini telah
menjadi takdir Allah untukku. Apa yang
sebenarnya telah terjadi, Dokter?”
Dokter itu menganggukkan kepalanya lau berkata:
“Seringkali, hakikat yang sebenarnya itu begitu
menyakitkan, keras dan pahit! Tapi harus
diketahui dan dihadapi! Sebab lari dari masalah
tidak akan menyelesaikannya dan tidak akan
mengubah keadaan.
Dokter itu terdiam sebentar. Lalu ia pun
menyampaikan yang sebenarnya:
“Khalid, mohon maaf, sebenarnya Anda itu mandul
dan tidak bisa punya anak…, Ketiga anak itu bukan
anak Anda. Mereka adalah anak adik Anda,
Hamd.”
Khalid tidak mampu mendengarkan kenyataan
pahit itu. Ia berteriak histeris hingga teriakannya
memenuhi penjuru rumah sakit. Lalu ia jatuh tak
sadarkan diri.
Dua minggu kemudian, barulah ia sadar dari
ketidaksadarannya yang panjang. Namun ketika ia
sadar, ia telah menemukan hidupnya hancur
berkeping-keping.
Khalid mengalami stroke di setengah bagian
tubuhnya. Kewarasannya hilang akibat berita yang
menyakitkan itu. Ia akhirnya dipindahkan ke rumah
sakit jiwa untuk melewati hari-harinya yang
tersisa.
Adapun istrinya, maka ia telah diserahkan kepada
Mahkamah Syariat untuk membenarkan
pengakuannya lalu dihukum dengan hukum rajam
hingga mati.
Sedangkan adiknya, Hamd, ia sekarang berada di
dalam penjara menunggu keputusan hukum yang
sesuai dengan kejahatannya.
Sedangkan ketiga anak itu, mereka dipindahkan ke
panti sosial untuk akhirnya hidup bersama anak-
anak yatim dan mereka yang dipungut dari
jalanan. Begitulah, sunnatullah berlaku: “Ipar itu
adalah maut.”
‘Dan engkau tak akan menemukan perubahan pada
ketentuan Allah.”
sumber : Chicken Shoup for muslim penerbit
sukses publishing Halaman 105-122
Note by Penerbit Shafa Publika,
No comments:
Post a Comment