It's Real Volunteer
Ikes Dwiastuti
Pagi ini saya memulai
rutinitas seperti biasanya. Bangun di pagi hari lalu melaksanakan kewajiban dan
dilanjutkan dengan mengecek e-mail, facebook dan twitter. Yah, sejak dunia “maya”
mulai naik daun beberapa tahun terakhir ini, dan akses internet sudah mudah
dilakukan dari handphone. Rutinitas tersebut seolah menjadi salah satu
kewajiban pagiku layaknya sarapan. Namun, ada yang berbeda di hari ini. Pagi
ini saya harus menyalakan Laptop dan menulis.
Teringat tepat 2 bulan
yang lalu pada tanggal 1 Januari 2013, teman-teman Penyala Makassar bertemu di
salah satu Mall di Kota Makassar. Pertemuan tersebut merupakan pertemuan “nyata”
dan pertama untuk para Penyala. Karena sebelumnya komunikasi yang terjalin
hanya melalui media sosial. Pertemuan tersebut menjadi awal dari gerakan
Penyala Makassar.
Ada perasaan haru yang
saya rasakan jika melihat Penyala Makassar saat ini. Tidak pernah terpikirkan
bahwa dalam waktu dua bulan, kami di Penyala Makassar sudah melakukan banyak hal.
Mulai dari donasi buku pertama kali ke Kab. Majene, kemudian membahas rencana
Kelas Inspirasi Makassar. Melaksanakan event “Say It With Books”, mengirim donasi buku ke Kab. Majene, Kab.
Banggai, Kab. Halmahera Selatan. Sosialisasi melalui radio, media cetak dan
media sosial (facebook dan twitter), serta membangun komunikasi
dengan Indonesia Menyala dan Penyala lainnya dari berbagai kota.
Perjuangan menghadirkan
komunitas yang bergerak di donasi buku yang layak untuk anak-anak SD di daerah
terpencil ini (a.k.a Penyala Makassar) tidaklah mudah. Ada fase, dimana krisis
kepercayaan diri muncul, ketakutan akan hal-hal di luar kemampuan.
Ketidaksiapan menerima respon negatif dari pihak ekstern dan intern Penyala
Makassar sendiri. Namun, semuanya itu mulai sirna saat saya bertemu satu per
satu sosok yang menamakan diri mereka Volunteer Penyala Makassar.
Yah, it's real volunteer. Volunteer yang rela berkorban materi, waktu,
ide untuk memberikan denyut kehidupan untuk Penyala Makassar. Selalu ada waktu
yang disediakan setiap minggu untuk saling bertemu. Bertukar ide untuk agenda
Penyala Makassar selanjutnya dan sekaligus memperkenalkan Penyala Makassar ke
masyarakat Makassar dan Indonesia.
Mereka terbuka untuk
saling menerima kritik dan masukan. Mereka yang sebagian besar berada pada usia
“egois”, namun mampu meredam keegoisan itu sehingga tak pernah saya temukan
konflik yang besar di setiap diskusi di Penyala Makassar. Sebagian besar
diantara mereka awalnya tidak saling mengenal. Datang dari karakteristik yang
berbeda, profesi yang berbeda, kampus yang berbeda, komunitas yang berbeda,
bahkan dari Kab/ Kota yang berbeda pula. Namun, keakraban itu nyata.
Sampai-sampai seorang Penyala mengatakan bahwa "lhh,, romantis sekali pertemuannya" saat kami menceritakan
awal terbentuknya Penyala Makassar.
Uniknya, setiap kali
Penyala Makassar melakukan Kopdar, selalu saja ada wajah-wajah baru yang datang
dan pergi (mirip lirik lagu ya^^). Namun, sebagian besar tetap bertahan.
Penyala Makassar memang tidak mengikat kami (volunteer). Karena Penyala Makassar berdiri atas dasar sukarela.
Sukarela yang sebenarnya, tanpa ada ikatan yang mewajibkan karni untuk harus
menjadi anggota seumur hidup, untuk mewajibkan kami selalu ada di setiap event
yang diadakan oleh Penyala Makassar. Karena menurut saya jika demikian, artinya
Penyala Makassar bukan lagi berlandaskan sukarela tapi berlandaskan
keterpaksaan yang dibungkus dengan kata sukarela.
Volunteers,
a precious resource we can't afford to lose, Denise Penn-
No comments:
Post a Comment