Wednesday, August 24, 2016

CERPEN : Summer Music oleh Reysha Rezgy





Pengantar : beberapa kisah ini akan ana posting yang bersumber dari buku-buku. alasannya karena komitmen pribadi untuk kembali belajar di mahad serta menghapal Alquran selama 2 tahun. sehingga ada banyak postingan yang copy paste dari sebuah buku kisah dan cerpen dan terjadwal di posting dalam blog ini. oleh karenanya kami mohon maaf serta berharap kisah tersebut bermanfaat dan menginspirasi pembaca. kalo pun ada hal-hal yang kurang setuju dari kisah-kisah yang ana posting kedepan marilah kita saling memperbaiki. wallahualam. Barakallah.. semoga Allah berikan kebaikan..amin



Summer Music
Reysha Rezgy
Mataku terbelalak, serasa air liur meluap, hidung kembang-kempis, ada gas yang mau keluar dari tubuh bagian bawah, dan alis naik turun kayak dayung kano. Aku nggak percaya dimana aku berdiri sekarang. Di atas panggung megah yang pernah diinjak Marlyn Monroe, 50 Cent, Eminem, ACDC, dan semua bintang Hollywood yang tajir itu. Aku di atas sini, berdiri anggun, charming, komunikatif, menjadi MC acara penghargaan musik internasional. Wow ... serasa pengen nyate diri sendiri saking nggak percayanya.

Tepat seperti ucapan juri itu, aku memiliki bakat seorang entertainer sejati. Dari sekian banyak MC berkualitas dan teruji kemampuannya, hanya aku, si cewek tinggi kurus dari Indonesia yang terpilih membawakan acara ini. Oprah Winfrey, Aston Kutcher, dan para VJ MTV dibuang jauh-jauh sama produser acaranya. Aku sekarang yang berdiri di atas panggung megah ini untuk meneriakan “Please, welcome.." kepada semua pengisi acara, juga untuk memberi salam dan cipika-cipiki sama mereka. Aku seperti yang mengatur irama acara ini dengan berseru, “... after this commercial break.”
Seluruh dunia menyaksikan wajahku melalui siaran langsung. Summer Music ini memang yang banyak diincar semua MC karena dapat menjadikan mereka semakin terkenal dan meraup banyak uang untuk ngisi brankas mereka yang sudah nggak ketulungan gedenya. Kulihat pacarku, Ara sesekali melambaikan tangan di kursi VIP paling depan, duduk sejajar dengan Miss Universe, Paris dan Nick Hilton, juga si keren Jus­tin. Ia mengenakan jas putih dan semua kelengkapan jazzy lainnya. Maklum saja, Ara seorang penyanyi Jazz terkenal. Kami baru saja jadian seminggu yang lalu.
Kalau bukan karena kakakku yang menyarankanku ikut audisi penyiar radio, pasti karir setinggi ini nggak bakalan bisa kugapai. Cowok perfect kayak Ara nggak bisa kumiliki. Bayangin aja, aku sudah melangkahi Agnes Monica untuk go internasional. Kabar terakhir, kudengar dia masih sibuk keliling Asia Tenggara.
“Pokoknya lo harus ikutan! Nih, formulirnya,” kakak nyodorin kertas biru ukuran poster ke arahku.
“Gede amat, ini mah namanya pamflet.”
“Emang, tapi kalo kamu bawa itu ke studio, bisa ditukar langsung sama formulir dan itu harganya nggak murah. Seratus ribu!”
“What? Nggak deh. Aku nggak pede. Apalagi musti saingan sama anak SMU lain. Mereka kan pada gaul gitu, sedangkan aku kuper gini.”
“Belum berjuang udah patah asa. Rapuh kamu!”
“Enak aja. Aku bisa kok!” pamflet itu langsung kusambar.
***
Dengan dandanan vintage, aku datang langsung ke studio. Gokil juga, di dalam pesertanya sudah kayak semut mengerumuni gula. Tiba giliranku audisi, semua jurinya marah-marah karena aku kurang power. Aku nggak nyerah, aku terus berusaha dan wuihh... akhirnya terpilih. Aku terpilih sebagai penyiar baru mereka.
Selanjutnya tawaran job buat bawain acara off air datang nggak henti-hentinya kayak arus air sungai Jeneberang. Selang sebulan kemudian, aku udah jadi presenter dan MC handal di usia tujuh belas tahun. Setahun ke depannya lagi, aku bawain acara MTVAsia Music Award dan acara-acara lain sekelas itu. Kakakku bangga, apalagi kedua orang tuaku. Wuiih... aku sampai nggak bisa tidur setiap malam, takut kesuksesan itu hilang pas bangun esok paginya.
Hari-hari kujalani ibarat dunia sedang dalam genggaman. Semua uang seakan datang begitu saja ke dalam sakuku, cukup teriak, “Kemarilah, bebh!” semua beterbangan ke arahku bak merpati surga. Apapun yang kuinginkan dapat langsung kuwujudkan. Semua dapat terpenuhi saat aku masih begitu muda, dua puluh tahun.
***
Acara Summer Music dimulai. Lampu-lampu besar bergantian menyorot panggung megah itu. Tepuk ­tangan bergema, memantul-mantul lincah dalam ruangan besar yang menampung jutaan penonton. Aku terpukau, gemetar, entah harus berkata apa untuk membuka acara. Kutarik nafas dalam-dalam saat tirai lebar terbuka menampakkan diriku yang berbalut gaun merah elegan.
“Good night, world! Welcome to super award, Summer Jam....” Selanjutnya muncul Rihanna yang turun dari langit-langit stage dengan tali tambang sambil membuka payung hitamnya. Acara pembuka itu disambut meriah oleh semua penonton. Ia mulai bernyanyi, para penari keluar dari sisi kiri kanan panggung mengiringinya perlahan. Pada akhir lagu, turun hujan kertas warna-warni serupa permen yang berjatuhan, lampu panggung pun padam. Dari balik panggung yang gelap, aku berteriak, “Don't go any­where, all music lover!”
Saat acaraku meninggalkan iklan-iklan, lampu dalam ruang raksasa berongga itu padam semua. Gelap gulita, aku tak dapat melihat apa-apa. Bahkan warna pakaian Ara yang serba putih. Samar-samar terdengar denting piano merdu menghanyutkan, hasil karya jemari Alicia Keys. Aku tersenyum kagum akan konsep acara ini. Setelah penampilan Alicia yang romantis akan ada pembacaan dua nominasi favorit. Harus kupersiap­kan diri sebaik mungkin. Acara besar ini semakin membuat jantungku berdebar tak terkendali. Kutatap cermin besar di ruang ganti di balik panggung. Memastikan penampilan tetap sempurna dan segar. Aku tak mau penontonku kecewa. Lampu padam lagi. Akan ada kejutan apa kemudian? Tanyaku dalam hati.
Kuhubungi panitia acara. Rupanya tidak ada lagi bagian lampu padam setelah Alicia tadi. Sistem penerangannya korslet. Oh my God... acaraku akan hancur. Ternyata tidak, dalam hitungan detik, lampu kembali menyala lebih terang dari sebelumnya. Aku terkejut menyaksikan bayangan pada cermin. Poster sebuah film horror dari Indonesia membuatku merinding, lalu pingsan.
Beberapa orang mencoba menyadarkanku. Hingga akhirnya Ara datang dan mengangkat tubuhku ke atas sofa. Begitu sadar, aku langsung teringat akan acaraku yang gemerlap itu.
“My Summer Music ... My Summer Music…” teriakku. Tapi Mama dan kakak yang duduk di samping sejak tadi melarangku untuk banyak bergerak. Mereka tampak sangat khawatir.
“Udah, Sayang, lain kali dicoba lagi. Anggap aja juri audisi ini pada bego semua, nggak bisa baca bakat terpendam kamu...” ujar Mama. (*)

SUMBER BUKU DAENG IS MY HERO

No comments:

Post a Comment