Monday, September 5, 2016

CERPEN : Daeng is My Hero oleh Jayanti




Pengantar : beberapa kisah ini akan ana posting yang bersumber dari buku-buku. alasannya karena komitmen pribadi untuk kembali belajar di mahad serta menghapal Alquran selama 2 tahun. sehingga ada banyak postingan yang copy paste dari sebuah buku kisah dan cerpen dan terjadwal di posting dalam blog ini. oleh karenanya kami mohon maaf serta berharap kisah tersebut bermanfaat dan menginspirasi pembaca. kalo pun ada hal-hal yang kurang setuju dari kisah-kisah yang ana posting kedepan marilah kita saling memperbaiki. wallahualam. Barakallah.. semoga Allah berikan kebaikan..amin



Daeng is My Hero
Jayanti 
Daeng, begitu aku memanggil kakakku. Setiap pagi buta ia pergi menembus dingin dan kabut, menggoyang becak. Becak itulah yang menjadi satu-satunya barang berharga bagi kami.

Daeng menjadi ayah, sekaligus ibu bagiku. Begitulah aku menganggap dan menyayanginya setelah ke­hilangan Bapak dan Emmak oleh bencana tanah longsor yang terjadi lima tahun lalu di kampung. Ketika itu kami berdua sedang ke sekolah, sementara Bapak dan Emmak berada di rumah. Sepulang sekolah kami telah mendapati mereka dalam keadaan berbalut kain kafan.
Setelah peristiwa itu, kami memutuskan merantau ke Kota Makassar untuk mencari penghidupan sekaligus mencari kakak perempuan kami yang telah merantau setahun yang lalu, tapi tak pernah kami temui hingga sekarang.
Menjejaki kota ini, begitu pahit ternyata bagi perantau tanpa arah dan bekal uang seperti kami. Mengitari kota di bawah panas terik matahari, berlari-lari mengumpet dari derai hujan, atau menahan lidah untuk mengecap makanan yang dinanti oleh raungan perut kosong kami. Jalanan pun sempat menjadi pembaringan kami selama berbulan-bulan, sampai akhirnya kami bertemu dengan seorang tukang becak yang sangat baik hati karena bersedia menampung kami. Orang itu juga bersedia menyewakan becaknya dengan harga murah, sampai Daeng dapat membeli becak sendiri.
Setelah menabung cukup lama, Daeng mendaftarkan aku untuk melanjutkan sekolahku. Daeng bekerja keras di atas roda-roda kendaraan khas kota Makassar itu dengan penuh semangat, tapi  tak pernah membiarkan diriku untuk menggantikannya walau hanya sekali.
Kelak aku ingin seperti dirinya, tegar dalam meng­arungi kehidupan yang penuh getir ini. Dia selalu berkata kepadaku agar jangan pernah menjadi lebih rendah darinya. Karena itulah dia bekerja keras agar aku dapat tetap bersekolah meski gejolak perekonomian negara yang kian menyempitkan langkah rakyat kecil seperti kami. Tidak hanya itu Daeng juga selalu menjadi penjagaku. Ia menjadi kiai yang menuntunku ke jalan kebenaran dan superhero yang menyelamatkan diriku dari setiap badai yang menghantam.
Demi Daeng aku takkan menyia-nyiakan waktu dan tenagaku. Sebisa mungkin kukejar prestasi agar kuraih medali. Aku hanya berteman dengan pena dan kertas, aku hanya menjejaki sekolah selain rumah tinggal kami. Di kamar kontrakan yang berukuran tiga kali tiga, kami menghabiskan sisa malam sebelum kembali menjalani esok hari yang panas dan keras. Sering kali aku ingin membantu Daeng bekerja, tapi ia begitu keras mencegahku untuk tak melepaskan peluh di atas roda-roda becak. Aku hanya dapat menatap miris untuk setiap tetes peluhnya, dan bersikap bangga untuk setiap semangat kegigihannya yang tak pernah lekang oleh apapun.
Tadi pagi sebelum berangkat menarik becak, Daeng berpesan kepadaku agar segera pulang setelah melihat hasil pengumuman kelulusan. Sekitar pukul delapan aku berangkat meninggalkan rumah menuju ke sekolah, sebuah sekolah negeri yang telah menerima aku untuk menuntut ilmu serta memberikan aku beasiswa selama kurang lebih tiga tahun aku belajar di dalamnya.
Dengan menapaki jalan setapak sekitar lima kilo­meter aku tiba di SMU Negeri 23. Di sebuah papan pengumuman yang tak begitu ramai karena siswa lain mungkin lebih memilih untuk melihat hasil pengumu­man dari internet atau koran. Aku menyusuri deretan nama siswa yang dinyatakan lulus ujian Nasional, syukurlah aku menemukan namaku pada deretan pertama, dan lebih bersyukur lagi karena namaku menyandang peraih nilai tertinggi tahun ini di sekolah. Berdasarkan sebuah pengumuman yang menunjuk kepada siswa yang tercatat sebagai peraih nilai tertinggi diminta untuk menghadap kepada kepala sekolah, maka saya pun segera melaksanakannya.
Dengan beberapa pertanyaan yang mengitari kepala, aku menemui kepala sekolah. Selembar amplop dia serahkan kepadaku, dan dengan segera kubuka di hadapannya. Isi dari amplop itu memberitahukan bahwa aku bebas tes masuk Universitas Hasanuddin serta menerima beasiswa selama 4 tahun kuliah. Seusai menyalami bapak kepala sekolah aku langsung ber­gegas meninggalkan ruangan itu, dan berjalan pulang kembali ke rumah. Dengan begitu bersemangat aku melangkahkan kaki, dengan harapan aku dapat segera tiba di rumah. Berita gembira ini harus segera saya sampaikan kepada Daeng yang menurut perkiraannku telah berada di rumah untuk menantikan aku menemaninya makan siang.
Di perapatan jalan yang tak jauh dari rumah, mataku menyorot pada kumpulan orang-orang yang sedang mengerumuni sesuatu, seperti lalat kelaparan yang mengeremuni hamparan daging busuk di tempat pembuangan sampah. Entah karena apa aku merasa ingin dan harus menyusupi kerumunan itu. Meskipun begitu sesak dan sempit, tapi akhirnya aku berhasil menyusup ke dalam kerumunan itu. Beberapa orang sempat kudengar berbicara tentang tabrakan antara becak dan mobil.
Di tengah kerumunan itu aku memperhatikan sebuah becak dan seseorang lelaki muda sedang tergeletak tak berdaya dengan lumuran darah yang masih basah. Sejenak aku terdiam, aku merasa mengenali becak tua bercat biru pudar itu, celana jeans hitam yang kusam dan robek di lutut, baju kaos abu-abu polos, serta wajah itu. “Daeng...!!!”
Dua bulan setelah Daeng meninggal akibat tak tertolong pada kecelakaan itu, aku mulai menjalani aktivitas baru sebagai seorang mahasiswa pada jam kuliah, dan sebagai seorang daeng becak selepas jam kuliah. Aku sangat sedih, karena Daeng tak sempat melihatku menjadi mahasiswa, tapi aku harus bangkit. Meskipun sang inspiratorku telah tiada, tapi inspirasinya tak akan pernah pudar apalagi mati. Iya, aku tidak boleh menyerah oleh kemelut hidup, aku tidak boleh kalah oleh kemiskinan, dan aku harus lebih baik dari hari ini.(*)


No comments:

Post a Comment