Pengantar : beberapa kisah ini akan ana posting yang
bersumber dari buku-buku. alasannya karena komitmen pribadi untuk kembali
belajar di mahad serta menghapal Alquran selama 2 tahun. sehingga ada banyak
postingan yang copy paste dari sebuah buku kisah dan cerpen dan terjadwal di
posting dalam blog ini. oleh karenanya kami mohon maaf serta berharap kisah
tersebut bermanfaat dan menginspirasi pembaca. kalo pun ada hal-hal yang kurang
setuju dari kisah-kisah yang ana posting kedepan marilah kita saling memperbaiki.
wallahualam. Barakallah.. semoga Allah berikan kebaikan..amin
Daeng is My Hero
Jayanti
Daeng, begitu aku memanggil kakakku. Setiap
pagi buta ia pergi menembus dingin dan kabut, menggoyang becak. Becak itulah
yang menjadi satu-satunya barang berharga bagi kami.
Daeng menjadi ayah,
sekaligus ibu bagiku. Begitulah aku menganggap dan menyayanginya setelah kehilangan
Bapak dan Emmak oleh bencana tanah longsor yang terjadi lima tahun lalu di
kampung. Ketika itu kami berdua sedang ke sekolah, sementara Bapak dan Emmak
berada di rumah. Sepulang sekolah kami telah mendapati mereka dalam keadaan
berbalut kain kafan.
Setelah peristiwa itu,
kami memutuskan merantau ke Kota Makassar untuk mencari penghidupan sekaligus mencari
kakak perempuan kami yang telah merantau setahun yang lalu, tapi tak pernah
kami temui hingga sekarang.
Menjejaki kota ini,
begitu pahit ternyata bagi perantau tanpa arah dan bekal uang seperti kami. Mengitari
kota di bawah panas terik matahari, berlari-lari mengumpet dari derai hujan,
atau menahan lidah untuk mengecap makanan yang dinanti oleh raungan perut kosong
kami. Jalanan pun sempat menjadi pembaringan kami selama berbulan-bulan, sampai
akhirnya kami bertemu dengan seorang tukang becak yang sangat baik hati karena bersedia
menampung kami. Orang itu juga bersedia menyewakan becaknya dengan harga murah,
sampai Daeng dapat membeli becak sendiri.
Setelah menabung cukup
lama, Daeng mendaftarkan aku untuk melanjutkan sekolahku. Daeng bekerja keras
di atas roda-roda kendaraan khas kota Makassar itu dengan penuh semangat, tapi tak pernah membiarkan diriku untuk
menggantikannya walau hanya sekali.
Kelak aku ingin seperti
dirinya, tegar dalam mengarungi kehidupan yang penuh getir ini. Dia selalu
berkata kepadaku agar jangan pernah menjadi lebih rendah darinya. Karena itulah
dia bekerja keras agar aku dapat tetap bersekolah meski gejolak perekonomian
negara yang kian menyempitkan langkah rakyat kecil seperti kami. Tidak hanya
itu Daeng juga selalu menjadi penjagaku. Ia menjadi kiai yang menuntunku ke
jalan kebenaran dan superhero yang
menyelamatkan diriku dari setiap badai yang menghantam.
Demi Daeng aku takkan
menyia-nyiakan waktu dan tenagaku. Sebisa mungkin kukejar prestasi agar kuraih
medali. Aku hanya berteman dengan pena dan kertas, aku hanya menjejaki sekolah
selain rumah tinggal kami. Di kamar kontrakan yang berukuran tiga kali tiga,
kami menghabiskan sisa malam sebelum kembali menjalani esok hari yang panas dan
keras. Sering kali aku ingin membantu Daeng bekerja, tapi ia begitu keras
mencegahku untuk tak melepaskan peluh di atas roda-roda becak. Aku hanya dapat
menatap miris untuk setiap tetes peluhnya, dan bersikap bangga untuk setiap semangat
kegigihannya yang tak pernah lekang oleh apapun.
Tadi pagi sebelum
berangkat menarik becak, Daeng berpesan kepadaku agar segera pulang setelah
melihat hasil pengumuman kelulusan. Sekitar pukul delapan aku berangkat
meninggalkan rumah menuju ke sekolah, sebuah sekolah negeri yang telah menerima
aku untuk menuntut ilmu serta memberikan aku beasiswa selama kurang lebih tiga
tahun aku belajar di dalamnya.
Dengan menapaki jalan
setapak sekitar lima kilometer aku tiba di SMU Negeri 23. Di sebuah papan
pengumuman yang tak begitu ramai karena siswa lain mungkin lebih memilih untuk
melihat hasil pengumuman dari internet atau koran. Aku menyusuri deretan nama
siswa yang dinyatakan lulus ujian Nasional, syukurlah aku menemukan namaku pada
deretan pertama, dan lebih bersyukur lagi karena namaku menyandang peraih nilai
tertinggi tahun ini di sekolah. Berdasarkan sebuah pengumuman yang menunjuk
kepada siswa yang tercatat sebagai peraih nilai tertinggi diminta untuk
menghadap kepada kepala sekolah, maka saya pun segera melaksanakannya.
Dengan beberapa
pertanyaan yang mengitari kepala, aku menemui kepala sekolah. Selembar amplop
dia serahkan kepadaku, dan dengan segera kubuka di hadapannya. Isi dari amplop
itu memberitahukan bahwa aku bebas tes masuk Universitas Hasanuddin serta
menerima beasiswa selama 4 tahun kuliah. Seusai menyalami bapak kepala sekolah
aku langsung bergegas meninggalkan ruangan itu, dan berjalan pulang kembali ke
rumah. Dengan begitu bersemangat aku melangkahkan kaki, dengan harapan aku
dapat segera tiba di rumah. Berita gembira ini harus segera saya sampaikan
kepada Daeng yang menurut perkiraannku telah berada di rumah untuk menantikan
aku menemaninya makan siang.
Di perapatan jalan yang
tak jauh dari rumah, mataku menyorot pada kumpulan orang-orang yang sedang
mengerumuni sesuatu, seperti lalat kelaparan yang mengeremuni hamparan daging
busuk di tempat pembuangan sampah. Entah karena apa aku merasa ingin dan harus
menyusupi kerumunan itu. Meskipun begitu sesak dan sempit, tapi akhirnya aku
berhasil menyusup ke dalam kerumunan itu. Beberapa orang sempat kudengar
berbicara tentang tabrakan antara becak dan mobil.
Di tengah kerumunan itu
aku memperhatikan sebuah becak dan seseorang lelaki muda sedang tergeletak tak
berdaya dengan lumuran darah yang masih basah. Sejenak aku terdiam, aku merasa
mengenali becak tua bercat biru pudar itu, celana jeans hitam yang kusam dan
robek di lutut, baju kaos abu-abu polos, serta wajah itu. “Daeng...!!!”
Dua bulan setelah Daeng
meninggal akibat tak tertolong pada kecelakaan itu, aku mulai menjalani
aktivitas baru sebagai seorang mahasiswa pada jam kuliah, dan sebagai seorang
daeng becak selepas jam kuliah. Aku sangat sedih, karena Daeng tak sempat
melihatku menjadi mahasiswa, tapi aku harus bangkit. Meskipun sang inspiratorku
telah tiada, tapi inspirasinya tak akan pernah pudar apalagi mati. Iya, aku
tidak boleh menyerah oleh kemelut hidup, aku tidak boleh kalah oleh kemiskinan,
dan aku harus lebih baik dari hari ini.(*)
No comments:
Post a Comment