Pengantar : beberapa kisah ini akan ana posting
yang bersumber dari buku-buku. alasannya karena komitmen pribadi untuk kembali
belajar di mahad serta menghapal Alquran selama 2 tahun. sehingga ada banyak
postingan yang copy paste dari sebuah buku kisah dan cerpen dan terjadwal di
posting dalam blog ini. oleh karenanya kami mohon maaf serta berharap kisah
tersebut bermanfaat dan menginspirasi pembaca. kalo pun ada hal-hal yang kurang
setuju dari kisah-kisah yang ana posting kedepan marilah kita saling memperbaiki.
wallahualam. Barakallah.. semoga Allah berikan kebaikan..amin
SALAH SATU BAB BUKU BURUNG-BURUNG CAKRAWALA
Tak jelas bagiku apakah di masa aku tumbuh,
Makassar masih memiliki satu perpustakaan yang memadai dan mengkini. Jika tak
salah, Perpustakaan Negara dulu terletak di perempatan Jalan Sam Ratulangi.
Tetapi, kala itu aku masih terlalu kecil untuk ikut menikmatinya. Beberapa kali
aku sempat berkunjung ke perpustakaan yang ada di dalam Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam). Sewaktu di tahun 1964
aku mulai senang membaca buku-buku tebal dalam bahasa Inggris, Franklin Library
yang disponsori Kedutaan Besar Amerika sudah ditutup barangkali setahun
sebelumnya bersamaan dengan meningkatnya ofensif gerakan komunisme.
Aku bersyukur memiliki
kemampuan menulis puisi, cerita pendek, dan artikel. Aku juga bersyukur
tulisan-tulisanku selalu disambut baik oleh keluarga dekatku, terutama oleh
kedua kakak dan adik perempuanku. Mungkin juga oleh Kak Idris yang kukira
diam-diam selalu mengikuti perkembanganku. Begitu pula oleh sejumlah teman
seniman budayawan sebaya atau lebih tua dariku.
Di Makassar sejak tahun
1964, mungkin terutama setelah aku memenangkan lomba penulisan cerita pendek,
namaku mulai diperhitungkan di kalangan penulis muda. Rasa percaya diriku pun
kian meningkat untuk ikut bicara dalam temu debat dan diskusi di kalangan
seniman-budayawan Makassar yang sudah mapan, apalagi di lingkungan Fakultas
Sastra, Universitas Hasanuddin.
Pada tahun itu juga di
rubrik “Landasan” dari surat kabar nasionalis yang diasuh oleh Ichsan Saleh aku
pernah mengecam apa yang kusebut “kebudayaan saling tengok,” yaitu tiadanya keberanian
untuk tampil menurut apa yang kita sendiri yakini. Secara keseluruhan, aku bisa
merasakan tumbuhnya pengakuan akan daya artikulasiku di jagat kepenulisan
Makassar.
Makin kuat aku terpanggil
ke dunia kepenulisan, makin terasa jauh dari memadai kota Makassar yang kucinta
dan yang pertarna kali meloncatkan imajinasiku ke mana-mana. Ibarat seruak
loncatan cahaya kembang api besar di langit malam, kelam pun kembali bertakhta
sesudahnya.
Tetapi, bisa juga rasa
miskin ilmu itu muncul justru karena Makassar telah dengan sungguh sangat
murah hati memenuhi kebutuhan imajinatif masa kanak dan remajaku sehingga di
usia dewasa panggilan untuk menjelajahi dunia-dunia dan penjuru-penjuru yang
lebih luas pun kian tak tertahankan.
Sulit bagiku melupakan
sudut-sudut pantai dan daratan Makassar yang pernah aku renangi dan jelajahi.
Tetapi, melampaui usia dua puluh satu, panggilan untuk menjelajahi
wilayah-wilayah baru yang bagiku belum terpetakan – the uncharted frontiers – menjadi kian tak tertahankan.
Barangkali bukan egoku
sendiri yang ingin melanglang buana, melainkan “kesalahan” telah menjelajahi the earlier frontiers – terlanjur memakan
buah khuldi buku-buku.
Selama bertahun-tahun
sejak kami pindah ke Makassar, aku sudah biasa terpesona mendengar cerita tentang
Yogya dan tradisi kedatangan orang dari berbagai pelosok di Tanah Air untuk
menuntut ilmu di situ. Kunjungan singkatku ke kota ini pada tahun 1964
meninggalkan kesan yang dalam, bahkan sebelum kota Yogya kumasuki.
Waktu itu setelah turun
dari kapal laut di Pelabuhan Tanjung Perak, semua tempat duduk penumpang kereta
api Surabaya – Yogya sudah terjual habis. Aku dipersilahkan oleh seorang
petugas kereta api untuk masuk ke restorasi. Di situlah aku duduk sepanjang
perjalanan. Bersamaku ada lima bapak-bapak usia pensiunan yang tampaknya sudah
akrab satu sama lain. Salah seorang di antaranya menegurku dan menanyakan
tujuanku ke Yogya. Aku bisa merasakan kepedulian mereka pada diriku. Lalu,
seorang bapak lainnya berjanji mengantarku ke Sawerigading, salah satu asrama
mahasiswa Bugis-Makassar di kota itu.
Orangtua itulah yang
membangunkan aku dini hari saat kereta memasuki Stasiun Tugu, mengajakku naik
ke andong yang ditumpanginya, dan benar-benar mengantarkan aku ke asrama
Sawerigading dalam keadaan masih terkantuk-kantuk. Hingga saat ini aku masih
terus merasa bersalah tak menanyakan nama dan alamat beliau. Begitulah dalam
usia sembilan belas tahun aku pertama-tama berkenalan dan memperoleh kesan baik
dengan entitas bernama Yogya, meskipun aku tak berhasil pindah ke UGM pada
tahun 1964 itu.
Kesempatan kedua untuk
melanjutkan studi ke UGM muncul pada tahun 1968 waktu aku beruntung termasuk di
antara enam mahasiswa Universitas Hasanuddin yang lulus dalam perlombaan
terbuka untuk memperoleh beasiswa tiga tahun dari PT. Caltex Pacific
Indonesia, yang waktu itu dipimpin oleh Julius Tahija.
Pak Tahija, mantan opsir
KNIL, ternyata tak hanya membuktikan diri kemudian sebagai pimpinan perusahaan
yang piawai melainkan juga seorang tokoh dengan komitmen kuat atas masa depan
bangsanya. Di bawahnyalah Caltex banyak memberikan beasiswa dan bantuan-bantuan
pendidikan lainnya ke sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Selain itu, juga
ada T.K. Chiu, petinggi Caltex lainnya yang masih kelahiran Makassar. Alokasi
enam beasiswa kompetitif ke Unhas pada waktu itu kukira tak lepas dari
inisiatif kedua orang ini. Dalam rangka itu, Pak Tahija dan Pak Chiu berkunjung
ke Unhas bersama atasan-atasan mereka dari Amerika.
Beasiswa Caltex yang
sungguh memadai itulah penyelamat kelanjutan studiku yang sempat terancam
karena jatuhnya usaha Ayah. Dan, terlepas dari beratnya kehidupan ekonomi
keluarga, Ayah tetap tegas mendukung kemauanku untuk melanjutkan studi.
Maka dengan berpegang
pada beasiswa tersebut, aku meninggalkan Makassar untuk melanjutkan studi ke
Yogya di pengujung tahun 1968. Sewaktu kapal laut Koan Maru atau Hakusan Maru
membawaku menjauh dari dermaga pelabuhan Makassar, sedikit pun tak kusadari
bahwa sejak itu dan untuk seterusnya aku benar-benar meninggalkan kota,
keluarga, dan masyarakat yang telah membesarkanku dengan kehangatan,
kepemurahan, dan keteduhan kasih yang tulus.
Jika bagiku Barebba
sepenuhnya adalah puisi, Makassar adalah alternasi ritmis dari prosa dan puisi.
Di kota inilah aku pertama kali belajar tentang cinta, termasuk cinta
platonisku di usia tiga belas dengan Siok Bian, remaja Cina tetanggaku.
Aku lahir sepenuhnya dari
keluarga Bugis, tumbuh hingga usia tujuh tahun di Tanah Bugis. Di Makassar aku
terus berada dalam lingkungan keluarga besar yang di rumah tetap berbahasa Bugis.
Lama kemudian baru tersingkap bagiku betapa tercerahkannya warisan kitab-kitab lontara’ Bugis dalam pemikiran-pemikiran
politik dan hukum.
Toh aku merasa bahwa
bahasa Makassar berada setingkat di atas bahasa Bugis dalam potensi keindahannya.
Meskipun tentu penilaian ini subyektif, hingga kini aku belum menemukan satu
pun syair lagu Bugis seindah syair lagu Makassar seperti pada bait-bait:
Ka'de nia' poteranna, rewasa le'ba laloa
Nakusombali. Bateta parampe nyawa
Anne mae riuruna. Bungasa' silabbakinta
Tena rapanna. Sauna' sikajallainta
Aku tak
tahu siapa pujangga yang telah menggubah baris-baris yang sungguh indah ini.
Dia bertutur tentang dalamnya irisan rindu pada cinta yang berlalu tanpa
kerelaan, tentang saat-saat dimana “si aku” dan “si kekasih” senantiasa
berlimpah gairah untuk selalu berdua-saat-saat yang andaikata masih tersedia
bagi “si aku” entah dimana dalam samudra semesta “akan diarunginya kembali”.
Hingga kini mata batinku
masih hafal betul bagaimana Mochtar remaja kerap termangu sendiri di tembok
Pantai Losari kala rembang petang, tepat di depan perahu-perahu pinisi yang
merapat di depan Stella Maris dan Pasanggrahan. Sosok-sosok perahu langsing,
kekar, dan perkasa itu merapat di depannya atau membuang sauh agak ke tengah laut,
lalu dalam prosesi petang perlahan-lahan berubah menjadi siluet.
Di situ entah berapa kali
aku menyaksikan mentari merah terbenam bersama arak-arakan awan lembayung dalam
gradasi dan kombinasi warna jingga dan kuning emas di sekelilingnya. Pesonanya sungguh
merasuk. Pemandangan yang sungguh memukau itu seperti selalu memanggil-manggilku
untuk menjajal kehidupan di luar tanah kelahiran dan tempatku tumbuh ke Pulau
Jawa. Dan, sudah sejak Kak Idris berangkat dan pulang dari Amerika aku
tertantang untuk juga menjejakkan kakiku di sana.
Tiap kali, pada tatapanku
di ufuk terjauh, seolah-olah sudah terlihat deretan wajah-wajah yang bakal
kujumpai, tantangan-tantangan dan perjuangan hidup yang menantiku, gelas-gelas
anggur cinta yang bakal kuhirup, dan rangkaian peristiwa yang nanti bergantian
merengkuh jiwaku dalam galau rasa serta peristiwa. Dan, di balik liang
kesadaranku terbentang tali yang menghubungkan buku Bahasaku dengan kerinduanku
pada Yogya: aku bisa merindukan Yogya, Pulau Jawa, bahkan benua-benua lainnya
karena ada Indonesia – ketinggian tempatku
tegak.
Dengan kata lain,
Indonesialah yang membuatku berarti dan berhak melanglang kemana saja.
Menurutku, Indonesia juga hadir dalam kepedulian bapak-bapak pensiunan dalam
gerbong restorasi kereta-api Surabaya – Yogya kepadaku. Juga dalam keputusan
pimpinan Caltex di Pekanbaru untuk mengalokasikan beasiswa ke Unhas. Dan
seterusnya.
Masih terekam dalam
benakku malam-malam pekan terakhir bulan April pada tahun-tahun 1962-1964 itu,
ketika RRI Makassar di bawah kepemimpinan Pak Aziz Husein reguler
menyelenggarakan lomba baca puisi dalam rangka memperingati dan menghormati
Chairil Anwar – lomba yang pada tahun-tahun itu selalu berlangsung secara
berharkat dan istimewa.
Dalam telinga batinku
masih terus bergema suara anggun pembacaan puisi dua rupawan bersaudara, Evie
Taas dan Christy Taas, serta suara gagah Aspar dan Husny Anwar. Melalui
pembesar-pembesar suara yang sengaja dipasang di jalan-jalan tepi laut,
suara-suara merekalah yang bergantian bergelombang di sepanjang Pantai Losari
selama tiga malam berturut-turut. Kala itu kompleks perumahan mewah Tanjung
Bunga belum merusak sihir Losari dalam pelukan samudra luas.
Hingga kini aku masih
bisa merasakan hipnosis keempat orang muda pembaca puisi andal di atas saat
silih berganti melantunkan bait-bait lirih, lantang, atau sendu dari Chairil
seperti “Senja di Pelabuhan Kecil,” “Persetujuan dengan Bung Karno,” “Huesca,”
“Derai-Derai Cemara,” “Krawang-Bekasi,” dan “Cerita Buat Dien Tamaela”.
Pembacaan rangkaian puisi
itu membuatku terpaku dengan rasa bangga dan syukur bersama ratusan hadirin di
Aula RRI-Makassar. Itu semua adalah suara-suara Indonesia. Peringatan bagi
Chairil Anwar bukan hanya perayaan bagi seorang penyair besar, melainkan
perayaan bagi sebuah bangsa. Dan, aku adalah bagian sah dan utuh darinya.
Maka seperti bait-bait
lainnya dari Chairil, bait-bait di bawah ini pun terus bergema dalam diriku
hingga kini:
Beta Pattirajawane, penjaga hutan pala
Beta api di pantai, siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.
SUMBER BUKU BURUNG-BURUNG CAKARAWALA
No comments:
Post a Comment