Wednesday, October 5, 2016

KISAH NYATA MUCHTAR PABONTINGI MENINGGALKAN MAKASSAR





Pengantar : beberapa kisah ini akan ana posting yang bersumber dari buku-buku. alasannya karena komitmen pribadi untuk kembali belajar di mahad serta menghapal Alquran selama 2 tahun. sehingga ada banyak postingan yang copy paste dari sebuah buku kisah dan cerpen dan terjadwal di posting dalam blog ini. oleh karenanya kami mohon maaf serta berharap kisah tersebut bermanfaat dan menginspirasi pembaca. kalo pun ada hal-hal yang kurang setuju dari kisah-kisah yang ana posting kedepan marilah kita saling memperbaiki. wallahualam. Barakallah.. semoga Allah berikan kebaikan..amin 

SALAH SATU BAB BUKU BURUNG-BURUNG CAKRAWALA


Tak jelas bagiku apakah di masa aku tumbuh, Makassar masih memiliki satu perpustakaan yang memadai dan mengkini. Jika tak salah, Perpustakaan Negara dulu terletak di perempatan Jalan Sam Ratulangi. Tetapi, kala itu aku masih terlalu kecil untuk ikut menikmatinya. Beberapa kali aku sempat berkunjung ke perpustakaan yang ada di dalam Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam). Sewaktu di tahun 1964 aku mulai senang membaca buku-buku tebal dalam bahasa Inggris, Franklin Library yang disponsori Kedutaan Besar Amerika sudah ditutup barangkali setahun sebelumnya bersamaan dengan meningkatnya ofensif gerakan komunisme.

Aku bersyukur memiliki kemampuan menulis puisi, cerita pendek, dan artikel. Aku juga bersyukur tulisan-tulisanku selalu disambut baik oleh ke­luarga dekatku, terutama oleh kedua kakak dan adik perempuanku. Mungkin juga oleh Kak Idris yang kukira diam-diam selalu mengikuti perkem­banganku. Begitu pula oleh sejumlah teman seniman budayawan sebaya atau lebih tua dariku.
Di Makassar sejak tahun 1964, mungkin terutama setelah aku meme­nangkan lomba penulisan cerita pendek, namaku mulai diperhitungkan di kalangan penulis muda. Rasa percaya diriku pun kian meningkat untuk ikut bicara dalam temu debat dan diskusi di kalangan seniman-budayawan Ma­kassar yang sudah mapan, apalagi di lingkungan Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin.
Pada tahun itu juga di rubrik “Landasan” dari surat kabar nasionalis yang diasuh oleh Ichsan Saleh aku pernah mengecam apa yang kusebut “ke­budayaan saling tengok,” yaitu tiadanya keberanian untuk tampil menurut apa yang kita sendiri yakini. Secara keseluruhan, aku bisa merasakan tum­buhnya pengakuan akan daya artikulasiku di jagat kepenulisan Makassar.
Makin kuat aku terpanggil ke dunia kepenulisan, makin terasa jauh dari memadai kota Makassar yang kucinta dan yang pertarna kali meloncatkan imajinasiku ke mana-mana. Ibarat seruak loncatan cahaya kembang api besar di langit malam, kelam pun kembali bertakhta sesudahnya.
Tetapi, bisa juga rasa miskin ilmu itu muncul justru karena Makassar te­lah dengan sungguh sangat murah hati memenuhi kebutuhan imajinatif ma­sa kanak dan remajaku sehingga di usia dewasa panggilan untuk menjelajahi dunia-dunia dan penjuru-penjuru yang lebih luas pun kian tak tertahankan.
Sulit bagiku melupakan sudut-sudut pantai dan daratan Makassar yang pernah aku renangi dan jelajahi. Tetapi, melampaui usia dua puluh satu, panggilan untuk menjelajahi wilayah-wilayah baru yang bagiku belum terpetakan – the uncharted frontiers – menjadi kian tak tertahankan.
Barangkali bukan egoku sendiri yang ingin melanglang buana, melainkan “kesalahan” telah menjelajahi the earlier frontiers – terlanjur memakan buah khuldi buku-buku.
Selama bertahun-tahun sejak kami pindah ke Makassar, aku sudah biasa terpesona mendengar cerita tentang Yogya dan tradisi kedatangan orang dari berbagai pelosok di Tanah Air untuk menuntut ilmu di situ. Kunjungan singkatku ke kota ini pada tahun 1964 meninggalkan kesan yang dalam, bahkan sebelum kota Yogya kumasuki.
Waktu itu setelah turun dari kapal laut di Pelabuhan Tanjung Perak, semua tempat duduk penumpang kereta api Surabaya – Yogya sudah terjual habis. Aku dipersilahkan oleh seorang petugas kereta api untuk masuk ke restorasi. Di situlah aku duduk sepanjang perjalanan. Bersamaku ada lima bapak-bapak usia pensiunan yang tampaknya sudah akrab satu sama lain. Salah seorang di antaranya menegurku dan menanyakan tujuanku ke Yogya. Aku bisa merasakan kepedulian mereka pada diriku. Lalu, seorang bapak lainnya berjanji mengantarku ke Sawerigading, salah satu asrama mahasiswa Bugis-Makassar di kota itu.
Orangtua itulah yang membangunkan aku dini hari saat kereta memasuki Stasiun Tugu, mengajakku naik ke andong yang ditumpanginya, dan benar-benar mengantarkan aku ke asrama Sawerigading dalam keadaan masih terkantuk-kantuk. Hingga saat ini aku masih terus merasa bersalah tak menanyakan nama dan alamat beliau. Begitulah dalam usia sembilan belas tahun aku pertama-tama berkenalan dan memperoleh kesan baik dengan entitas bernama Yogya, meskipun aku tak berhasil pindah ke UGM pada tahun 1964 itu.
Kesempatan kedua untuk melanjutkan studi ke UGM muncul pada tahun 1968 waktu aku beruntung termasuk di antara enam mahasiswa Universitas Hasanuddin yang lulus dalam perlombaan terbuka untuk mem­peroleh beasiswa tiga tahun dari PT. Caltex Pacific Indonesia, yang waktu itu dipimpin oleh Julius Tahija.
Pak Tahija, mantan opsir KNIL, ternyata tak hanya membuktikan diri kemudian sebagai pimpinan perusahaan yang piawai melainkan juga seorang tokoh dengan komitmen kuat atas masa depan bangsanya. Di bawahnyalah Caltex banyak memberikan beasiswa dan bantuan-bantuan pendidikan lainnya ke sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Selain itu, juga ada T.K. Chiu, petinggi Caltex lainnya yang masih kelahiran Makassar. Alokasi enam beasiswa kompetitif ke Unhas pada waktu itu kukira tak lepas dari inisiatif kedua orang ini. Dalam rangka itu, Pak Tahija dan Pak Chiu berkunjung ke Unhas bersama atasan-atasan mereka dari Amerika.
Beasiswa Caltex yang sungguh memadai itulah penyelamat kelanjutan studiku yang sempat terancam karena jatuhnya usaha Ayah. Dan, terlepas dari beratnya kehidupan ekonomi keluarga, Ayah tetap tegas mendukung kemauanku untuk melanjutkan studi.
Maka dengan berpegang pada beasiswa tersebut, aku meninggalkan Makassar untuk melanjutkan studi ke Yogya di pengujung tahun 1968. Se­waktu kapal laut Koan Maru atau Hakusan Maru membawaku menjauh dari dermaga pelabuhan Makassar, sedikit pun tak kusadari bahwa sejak itu dan untuk seterusnya aku benar-benar meninggalkan kota, keluarga, dan masya­rakat yang telah membesarkanku dengan kehangatan, kepemurahan, dan keteduhan kasih yang tulus.
Jika bagiku Barebba sepenuhnya adalah puisi, Makassar adalah alternasi ritmis dari prosa dan puisi. Di kota inilah aku pertama kali belajar tentang cinta, termasuk cinta platonisku di usia tiga belas dengan Siok Bian, remaja Cina tetanggaku.
Aku lahir sepenuhnya dari keluarga Bugis, tumbuh hingga usia tujuh tahun di Tanah Bugis. Di Makassar aku terus berada dalam lingkungan keluarga besar yang di rumah tetap berbahasa Bugis. Lama kemudian baru tersingkap bagiku betapa tercerahkannya warisan kitab-kitab lontara’ Bugis dalam pemikiran-pemikiran politik dan hukum.
Toh aku merasa bahwa bahasa Makassar berada setingkat di atas bahasa Bugis dalam potensi keindahannya. Meskipun tentu penilaian ini subyektif, hingga kini aku belum menemukan satu pun syair lagu Bugis seindah syair lagu Makassar seperti pada bait-bait:
Ka'de nia' poteranna, rewasa le'ba laloa
Nakusombali. Bateta parampe nyawa
Anne mae riuruna. Bungasa' silabbakinta
Tena rapanna. Sauna' sikajallainta
Aku tak tahu siapa pujangga yang telah menggubah baris-baris yang sungguh indah ini. Dia bertutur tentang dalamnya irisan rindu pada cinta yang berlalu tanpa kerelaan, tentang saat-saat dimana “si aku” dan “si ke­kasih” senantiasa berlimpah gairah untuk selalu berdua-saat-saat yang an­daikata masih tersedia bagi “si aku” entah dimana dalam samudra semesta “akan diarunginya kembali”.
Hingga kini mata batinku masih hafal betul bagaimana Mochtar remaja kerap termangu sendiri di tembok Pantai Losari kala rembang petang, tepat di depan perahu-perahu pinisi yang merapat di depan Stella Maris dan Pasanggrahan. Sosok-sosok perahu langsing, kekar, dan perkasa itu mera­pat di depannya atau membuang sauh agak ke tengah laut, lalu dalam pro­sesi petang perlahan-lahan berubah menjadi siluet.
Di situ entah berapa kali aku menyaksikan mentari merah terbenam bersama arak-arakan awan lembayung dalam gradasi dan kombinasi warna jingga dan kuning emas di sekelilingnya. Pesonanya sungguh merasuk. Pe­mandangan yang sungguh memukau itu seperti selalu memanggil-mang­gilku untuk menjajal kehidupan di luar tanah kelahiran dan tempatku tumbuh ke Pulau Jawa. Dan, sudah sejak Kak Idris berangkat dan pulang dari Amerika aku tertantang untuk juga menjejakkan kakiku di sana.
Tiap kali, pada tatapanku di ufuk terjauh, seolah-olah sudah terlihat deretan wajah-wajah yang bakal kujumpai, tantangan-tantangan dan per­juangan hidup yang menantiku, gelas-gelas anggur cinta yang bakal kuhirup, dan rangkaian peristiwa yang nanti bergantian merengkuh jiwaku dalam galau rasa serta peristiwa. Dan, di balik liang kesadaranku terbentang tali yang menghubungkan buku Bahasaku dengan kerinduanku pada Yogya: aku bisa merindukan Yogya, Pulau Jawa, bahkan benua-benua lainnya karena ada Indonesia – ketinggian tempatku tegak.
Dengan kata lain, Indonesialah yang membuatku berarti dan berhak melanglang kemana saja. Menurutku, Indonesia juga hadir dalam kepedulian bapak-bapak pensiunan dalam gerbong restorasi kereta-api Surabaya – Yogya kepadaku. Juga dalam keputusan pimpinan Caltex di Pekanbaru untuk mengalokasikan beasiswa ke Unhas. Dan seterusnya.
Masih terekam dalam benakku malam-malam pekan terakhir bulan April pada tahun-tahun 1962-1964 itu, ketika RRI Makassar di bawah kepe­mimpinan Pak Aziz Husein reguler menyelenggarakan lomba baca puisi dalam rangka memperingati dan menghormati Chairil Anwar – lomba yang pada tahun-tahun itu selalu berlangsung secara berharkat dan istimewa.
Dalam telinga batinku masih terus bergema suara anggun pembacaan puisi dua rupawan bersaudara, Evie Taas dan Christy Taas, serta suara gagah Aspar dan Husny Anwar. Melalui pembesar-pembesar suara yang sengaja dipasang di jalan-jalan tepi laut, suara-suara merekalah yang bergantian bergelombang di sepanjang Pantai Losari selama tiga malam berturut-turut. Kala itu kompleks perumahan mewah Tanjung Bunga belum merusak sihir Losari dalam pelukan samudra luas.
Hingga kini aku masih bisa merasakan hipnosis keempat orang muda pembaca puisi andal di atas saat silih berganti melantunkan bait-bait lirih, lantang, atau sendu dari Chairil seperti “Senja di Pelabuhan Kecil,” “Per­setujuan dengan Bung Karno,” “Huesca,” “Derai-Derai Cemara,” “Kra­wang-Bekasi,” dan “Cerita Buat Dien Tamaela”.
Pembacaan rangkaian puisi itu membuatku terpaku dengan rasa bangga dan syukur bersama ratusan hadirin di Aula RRI-Makassar. Itu semua adalah suara-suara Indonesia. Peringatan bagi Chairil Anwar bukan hanya pe­rayaan bagi seorang penyair besar, melainkan perayaan bagi sebuah bangsa. Dan, aku adalah bagian sah dan utuh darinya.
Maka seperti bait-bait lainnya dari Chairil, bait-bait di bawah ini pun te­rus bergema dalam diriku hingga kini:
Beta Pattirajawane, penjaga hutan pala
Beta api di pantai, siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.

SUMBER BUKU BURUNG-BURUNG CAKARAWALA

No comments:

Post a Comment