Wednesday, November 16, 2016

CERPEN : Aira oleh Indriani Munsir










Pengantar : beberapa kisah ini akan ana posting yang bersumber dari buku-buku. alasannya karena komitmen pribadi untuk kembali belajar di mahad serta menghapal Alquran selama 2 tahun. sehingga ada banyak postingan yang copy paste dari sebuah buku kisah dan cerpen dan terjadwal di posting dalam blog ini. oleh karenanya kami mohon maaf serta berharap kisah tersebut bermanfaat dan menginspirasi pembaca. kalo pun ada hal-hal yang kurang setuju dari kisah-kisah yang ana posting kedepan marilah kita saling memperbaiki. wallahualam. Barakallah.. semoga Allah berikan kebaikan..amin 


Aira
Indriani Munsir
Nikah? Apa harus secepat ini?!” Dito terbelalak. Ia seperti mendengar petir di tengah hari.
"Aku juga nggak tahu, Dit, ini semua di luar kemauan aku.”
Aira tertunduk dan menangis.
“Maksud kamu, ini semua kemauan orang tua kamu?”
Aira mengangguk.

“Kamu jangan mau diperbudak dengan orang tuamu. Kamu itu masih di SMU, Ra, masa depanmu masih panjang dan bentar lagi kita akan ujian. Pokoknya kamu harus menolak permintaan orang tuamu itu!” Emosi Dito meluap. Ia tak ingin kekasihnya pergi dari sisinya.
“Terlambat, Dit, semuanya sudah disiapkan. Bentar lagi undangannya sampai ke tanganmu kok. Mungkin ini memang takdir yang harus aku jalani.”
“Tapi bagaimana dengan aku, Ra? Apa kamu tega meninggalkanku begitu saja padahal kita sudah berpacaran selama 5 tahun. Aku tak mungkin bisa hidup tanpamu. Aku terlanjur sayang dengan kamu. Andaikan saja aku sudah kerja, pasti sudah dari dulu aku melamar kamu.” Hati Dito hancur seketika karena tak pernah terbersit di benaknya sedikitpun kalau ini semua ini bisa terjadi.
“Maafkan aku, Dit, mungkin inilah jalan terbaik untuk kita berdua. Kelak aku yakin kamu pasti menemukan wanita yang lebih baik dari aku. Boleh aku minta pelukanmu yang terakhir?”
Tanpa pikir panjang Dito langsung memeluk kekasihnya itu, menenggelamkannya ke dalam pelukannya, membelai rambutnya dan membisikkan kalimat terakhir ke telinga Aira. “Kelak aku pasti merindukan pelukanmu ini.”
***
Aira menatap wajahnya di cermin. Kecantikannya semakin terpancar setelah dimake-up. Sebentar lagi dia akan melangsungkan akad nikah dengan lelaki yang sama sekali tak pernah ia kenal sebelumnya. Ini seolah mimpi baginya, di saat teman-teman seusianya masih bisa menikmati masa-masa remaja mereka, ia malah akan menjadi istri orang.
“Aira, kenapa kamu masih di sini? Ayo turun! Calon suamimu sudah datang!”Aira masih diam membisu tak bergerak.
“Kamu kenapa, Aira, kamu tak ingin menikah dengannya? Kamu nggak mau kan buat ibu malu sama semua tamu-tamu kita?” Aira tetap saja diam. “Baiklah kalau begitu, ibu akan turun dan membatalkan per­nikahan ini saja.” Ibunya baru saja ingin membalik­kan tubuhnya.
“Jangan, Bu, aku tak bermaksud begitu. Aku... aku senang koq. Aku cuma nggak nyangka aja bisa nikah semuda ini.” Aira memaksakan senyumnya. Ia tak ingin membuat ibunya kecewa. Aira hanya ingin berkorban untuk kedua orang tuanya meski tak akan pernah sebanding dengan semua yang dilaku­kan orang tuanya selama ini untuknya.
***
“Aku terima nikah dan kawinnya Airayanti binti Harun Atmadja dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai.”
"Gimana para saksi? Sah?”
“"Sah!”
Suara Tian begitu lantangnya saat ijab kabul. Dan sejak itu Aira resmi menjadi istri dari Tian.
***
Biasanya Aira sangat senang jika lagi melihat sunset. Tapi, kini ia justru merasa sedih, apalagi jika mengingat kembali kenangan bersama Dito saat mereka lagi duduk berdua di pantai sambil menatap sunset.
“Ra, kamu senang aku bawa kamu ke sini?”
“Seneng banget malah, sunsetnya cantik banget ya?” Aira terlihat riang. Ia sangat menikmatinya. Ia sesekali menarik nafas lalu membuangnya sambil memejam­kan matanya. Baru kali ini ia merasa hidupnya sangat berarti sejak Dito ada di sampingnya.
“Ra, kamu mau janji ke aku?”
“Janji apa?”
“Janji kalau kamu akan terus ada di sisiku, takkan meninggalkanku walau sedetikpun?”
“Itu nggak bakal terjadi. Lagian janji apa sih itu, kamu nggak nyuruh aku janjipun aku tak mungkin pergi darimu. Tapi tentang sedetikpun kayaknya parah banget ya, masak aku harus tinggal sama kamu, tidur bareng kamu bahkan mandi bareng kamu? Padahal kan kita belum nikah hehehe...
Hati Aira semakin meringis, merintih kesakitan. Ia merasa dunianya kelam kembali seperti malam itu tanpa bintang. Ia tak tahu harus bagaimana menjalani hidupnya yang menurutnya tak berwarna lagi. Mungkin sulit menemukan senyum di bibir mungilnya itu lagi.
‘Aira, ngapain kamu di sini? Ayo ikut aku ke kamar.” Suara Tian menyadarkan Aira dari lamunan panjangnya.
***
“Ayo ke sini, duduk di sampingku!” Tian menepuk kasur itu. Sedang Aira bingung ada apa dengan suaminya itu. Mengapa tiba-tiba menyuruhnya duduk di sana. “Kenapa masih bengong di situ, ayo ke sini!” Tian menepuk kasur itu lagi dan dengan terpaksa Aira menuruti permintaan Tian.
“Ada apa, Mas?”
“Kamu inikan sudah resmi jadi istriku. Dan tentunya kamu sudah tahulah kewajiban dari seorang istri?” Aira terkejut, ia mengerti maksud pertanyaan Tian itu. Kini Ia bagai jatuh tertimpa tangga pula. Meninggalkan kekasih tercinta dan menikah di usia dini dengan orang lain sudah sangat menyakitkan baginya. Sekarang, ia harus menjalankan kewajiban­nya sebagai istri Tian.
“Maksud, Mas, aku harus...?"
“Iya, Aira, malam ini kamu harus melayani aku.”
“Tapi itu nggak mungkin, Mas, aku belum siap sama sekali. Aku harap Mas bisa mengerti posisiku saat ini.” Dengan wajah memelas, Aira membujuk Tian agar tidak melakukan hal itu dulu.
“Sampai kapan aku harus mengerti kamu, sampai kamu jatuh cinta ke aku? Tapi kapan kamu bisa cinta aku? Sudahlah! Pokoknya mulai malam ini dan seterusnya kamu adalah milikku dan kamu harus siap layani aku kapanpun aku mau termasuk malam ini juga.” Tianpun memaksa Aira, mengoyak bajunya lalu mendorongnya hingga berbaring. Tian melampiaskan nafsunya yang meluap bagai kobaran api yang menyala-nyala. Dan Aira hanya tergulai lemah tak berdaya di atas kasur. Ia tak bisa mengalahkan tubuh Tian yang kekar itu. Ia juga tak bisa minta tolong karena semua orang sudah pada tahu kalau mereka sepasang suami istri. Orang-orang hanya akan tertawa jika ia berteriak. Ia terpaksa harus menerima kenyataan kalau kegadisannya tak bisa ia pertahankan lagi.
***
Sejuknya cuaca di pagi itu disertai dengan kicauan burung yang indah tak bisa membuat hati Aira tenang. Di kamar mungil itu, yang hanya berisikan tempat tidur, lemari dan meja rias, Aira masih duduk diam dan melamun. Semalaman ia tak bisa tidur. Iapun belum juga memakai pakaiannya. Hanya selimutlah yang menutupi tubuhnya yang molek itu. Sedang Tian masih tidur dengan nyenyak. Sebenarnya jika Aira mau membuka sedikit saja hatinya untuk Tian, pasti ia tak akan rugi. Tian memiliki segalanya, baik itu dari hal materi maupun fisik. Tapi, itulah cinta, tak semudah membalikkan telapak tangan untuk berpindah ke lain hati.
“Kamu tidak tidur, Sayang?" Tian akhirnya bangun juga mendapati sosok Aira menghadap ke jendela dengan tatapan kosong juga masih ada sisa-sisa air mata di pipinya. “Kamu kenapa sih? Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?” Lagi-lagi Aira tidak menghiraukan Tian. “Aku minta maaf kalau kejadian semalam membuatmu marah kepadaku, sungguh aku hanya ingin kamu bisa menerimaku, mencintaiku, selalu ada untukku di saat suka maupun duka. Aku tak ingin melepasmu karena sejak pertama melihatmu di cafe waktu itu, aku merasakan ada yang menarik dari dirimu yang tak dimiliki oleh wanita-wanita yang pernah bersamaku dulu. Karena itulah aku berani ngelakuin apa aja hanya untuk bisa mendapatkanmu termasuk membuat perusahaan ayahmu jatuh bangkrut.” Tian mengangkat wajahnya melihat Aira. “Aku sangat mencintai kamu, Aira.”
Seketika itu juga Aira langsung memalingkan wajahnya ke Tian. “Tidak, Mas! Mas itu tidak mencintai aku. Yang Mas punya hanyalah nafsu saja. Karena yang kutahu cinta itu tidaklah selalu diakhiri dengan perkawinan karena cinta itu penuh dengan pengorbanan, bukannya memiliki melainkan malah lebih senang jika melihat orang yang dicintainya bahagia. Tidak menderita seperti yang kualami.
“Sudahlah! Aku tak mengerti dengan semua ucapanmu itu. Lebih baik kamu mandilah sekarang dan buatkan aku sarapan karena aku harus pergi ke kantor pagi ini. Aku Ada meeting dengan klien.”

Dear Dito,
Dulu aku hidup bagai setangkai bunga yang hampir layu, yang tak punya harapan lagi untuk berkembang, Tapi dengan dasar ketulusan, cinta dan kasih sayang.
Kau dengan setia menjagaku, merawatku, menyiramiku tiap hari hingga lambat laun bunga itupun tumbuh kembali. Menjadi segar cantik dan menarik. Membuat orang lain ingin juga memilikinya, merenggutnya dengan mudah... hingga tak ada peluang lagi bagimu untuk mengambilnya kembali.
Namun, Bunga ini hanya bisa bilang, kalau namamu akan selalu hidup di jiwaku. Selamanya... (*)


No comments:

Post a Comment