Pengantar : beberapa kisah ini akan ana posting
yang bersumber dari buku-buku. alasannya karena komitmen pribadi untuk kembali
belajar di mahad serta menghapal Alquran selama 2 tahun. sehingga ada banyak
postingan yang copy paste dari sebuah buku kisah dan cerpen dan terjadwal di
posting dalam blog ini. oleh karenanya kami mohon maaf serta berharap kisah
tersebut bermanfaat dan menginspirasi pembaca. kalo pun ada hal-hal yang kurang
setuju dari kisah-kisah yang ana posting kedepan marilah kita saling memperbaiki.
wallahualam. Barakallah.. semoga Allah berikan kebaikan..amin
Aira
Indriani Munsir
Nikah? Apa harus secepat ini?!” Dito
terbelalak. Ia seperti mendengar petir di tengah hari.
"Aku juga nggak
tahu, Dit, ini semua di luar kemauan aku.”
Aira tertunduk dan
menangis.
“Maksud kamu, ini semua
kemauan orang tua kamu?”
Aira mengangguk.
“Kamu jangan mau
diperbudak dengan orang tuamu. Kamu itu masih di SMU, Ra, masa depanmu masih
panjang dan bentar lagi kita akan ujian. Pokoknya kamu harus menolak permintaan
orang tuamu itu!” Emosi Dito meluap. Ia tak ingin kekasihnya pergi dari
sisinya.
“Terlambat, Dit, semuanya
sudah disiapkan. Bentar lagi undangannya sampai ke tanganmu kok. Mungkin ini
memang takdir yang harus aku jalani.”
“Tapi bagaimana dengan
aku, Ra? Apa kamu tega meninggalkanku begitu saja padahal kita sudah berpacaran
selama 5 tahun. Aku tak mungkin bisa hidup tanpamu. Aku terlanjur sayang dengan
kamu. Andaikan saja aku sudah kerja, pasti sudah dari dulu aku melamar kamu.”
Hati Dito hancur seketika karena tak pernah terbersit di benaknya sedikitpun
kalau ini semua ini bisa terjadi.
“Maafkan aku, Dit,
mungkin inilah jalan terbaik untuk kita berdua. Kelak aku yakin kamu pasti
menemukan wanita yang lebih baik dari aku. Boleh aku minta pelukanmu yang
terakhir?”
Tanpa pikir panjang Dito
langsung memeluk kekasihnya itu, menenggelamkannya ke dalam pelukannya,
membelai rambutnya dan membisikkan kalimat terakhir ke telinga Aira. “Kelak aku
pasti merindukan pelukanmu ini.”
***
Aira menatap wajahnya di
cermin. Kecantikannya semakin terpancar setelah dimake-up. Sebentar lagi dia akan melangsungkan akad nikah dengan
lelaki yang sama sekali tak pernah ia kenal sebelumnya. Ini seolah mimpi
baginya, di saat teman-teman seusianya masih bisa menikmati masa-masa remaja
mereka, ia malah akan menjadi istri orang.
“Aira, kenapa kamu masih
di sini? Ayo turun! Calon suamimu sudah datang!”Aira masih diam membisu tak
bergerak.
“Kamu kenapa, Aira, kamu
tak ingin menikah dengannya? Kamu nggak mau kan buat ibu malu sama semua
tamu-tamu kita?” Aira tetap saja diam. “Baiklah kalau begitu, ibu akan turun
dan membatalkan pernikahan ini saja.” Ibunya baru saja ingin membalikkan
tubuhnya.
“Jangan, Bu, aku tak
bermaksud begitu. Aku... aku senang koq. Aku cuma nggak nyangka aja bisa nikah
semuda ini.” Aira memaksakan senyumnya. Ia tak ingin membuat ibunya kecewa.
Aira hanya ingin berkorban untuk kedua orang tuanya meski tak akan pernah
sebanding dengan semua yang dilakukan orang tuanya selama ini untuknya.
***
“Aku terima nikah dan
kawinnya Airayanti binti Harun Atmadja dengan mahar seperangkat alat sholat
dibayar tunai.”
"Gimana para saksi?
Sah?”
“"Sah!”
Suara Tian begitu
lantangnya saat ijab kabul. Dan sejak itu Aira resmi menjadi istri dari Tian.
***
Biasanya Aira sangat
senang jika lagi melihat sunset. Tapi, kini ia justru merasa sedih, apalagi
jika mengingat kembali kenangan bersama Dito saat mereka lagi duduk berdua di
pantai sambil menatap sunset.
“Ra, kamu senang aku bawa
kamu ke sini?”
“Seneng banget malah,
sunsetnya cantik banget ya?” Aira terlihat riang. Ia sangat menikmatinya. Ia sesekali
menarik nafas lalu membuangnya sambil memejamkan matanya. Baru kali ini ia
merasa hidupnya sangat berarti sejak Dito ada di sampingnya.
“Ra, kamu mau janji ke
aku?”
“Janji apa?”
“Janji kalau kamu akan
terus ada di sisiku, takkan meninggalkanku walau sedetikpun?”
“Itu nggak bakal terjadi.
Lagian janji apa sih itu, kamu nggak nyuruh aku janjipun aku tak mungkin pergi
darimu. Tapi tentang sedetikpun kayaknya parah banget ya, masak aku harus
tinggal sama kamu, tidur bareng kamu bahkan mandi bareng kamu? Padahal kan kita
belum nikah hehehe...
Hati Aira semakin
meringis, merintih kesakitan. Ia merasa dunianya kelam kembali seperti malam
itu tanpa bintang. Ia tak tahu harus bagaimana menjalani hidupnya yang
menurutnya tak berwarna lagi. Mungkin sulit menemukan senyum di bibir mungilnya
itu lagi.
‘Aira, ngapain kamu di
sini? Ayo ikut aku ke kamar.” Suara Tian menyadarkan Aira dari lamunan
panjangnya.
***
“Ayo ke sini, duduk di
sampingku!” Tian menepuk kasur itu. Sedang Aira bingung ada apa dengan suaminya
itu. Mengapa tiba-tiba menyuruhnya duduk di sana. “Kenapa masih bengong di
situ, ayo ke sini!” Tian menepuk kasur itu lagi dan dengan terpaksa Aira
menuruti permintaan Tian.
“Ada apa, Mas?”
“Kamu inikan sudah resmi
jadi istriku. Dan tentunya kamu sudah tahulah kewajiban dari seorang istri?”
Aira terkejut, ia mengerti maksud pertanyaan Tian itu. Kini Ia bagai jatuh
tertimpa tangga pula. Meninggalkan kekasih tercinta dan menikah di usia dini
dengan orang lain sudah sangat menyakitkan baginya. Sekarang, ia harus
menjalankan kewajibannya sebagai istri Tian.
“Maksud, Mas, aku harus...?"
“Iya, Aira, malam ini
kamu harus melayani aku.”
“Tapi itu nggak mungkin,
Mas, aku belum siap sama sekali. Aku harap Mas bisa mengerti posisiku saat ini.”
Dengan wajah memelas, Aira membujuk Tian agar tidak melakukan hal itu dulu.
“Sampai kapan aku harus
mengerti kamu, sampai kamu jatuh cinta ke aku? Tapi kapan kamu bisa cinta aku?
Sudahlah! Pokoknya mulai malam ini dan seterusnya kamu adalah milikku dan kamu
harus siap layani aku kapanpun aku mau termasuk malam ini juga.” Tianpun
memaksa Aira, mengoyak bajunya lalu mendorongnya hingga berbaring. Tian
melampiaskan nafsunya yang meluap bagai kobaran api yang menyala-nyala. Dan
Aira hanya tergulai lemah tak berdaya di atas kasur. Ia tak bisa mengalahkan
tubuh Tian yang kekar itu. Ia juga tak bisa minta tolong karena semua orang
sudah pada tahu kalau mereka sepasang suami istri. Orang-orang hanya akan
tertawa jika ia berteriak. Ia terpaksa harus menerima kenyataan kalau kegadisannya
tak bisa ia pertahankan lagi.
***
Sejuknya cuaca di pagi
itu disertai dengan kicauan burung yang indah tak bisa membuat hati Aira
tenang. Di kamar mungil itu, yang hanya berisikan tempat tidur, lemari dan meja
rias, Aira masih duduk diam dan melamun. Semalaman ia tak bisa tidur. Iapun
belum juga memakai pakaiannya. Hanya selimutlah yang menutupi tubuhnya yang
molek itu. Sedang Tian masih tidur dengan nyenyak. Sebenarnya jika Aira mau membuka
sedikit saja hatinya untuk Tian, pasti ia tak akan rugi. Tian memiliki
segalanya, baik itu dari hal materi maupun fisik. Tapi, itulah cinta, tak
semudah membalikkan telapak tangan untuk berpindah ke lain hati.
“Kamu tidak tidur,
Sayang?" Tian akhirnya bangun juga mendapati sosok Aira menghadap ke
jendela dengan tatapan kosong juga masih ada sisa-sisa air mata di pipinya. “Kamu
kenapa sih? Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?” Lagi-lagi Aira tidak
menghiraukan Tian. “Aku minta maaf kalau kejadian semalam membuatmu marah
kepadaku, sungguh aku hanya ingin kamu bisa menerimaku, mencintaiku, selalu ada
untukku di saat suka maupun duka. Aku tak ingin melepasmu karena sejak pertama
melihatmu di cafe waktu itu, aku merasakan ada yang menarik dari dirimu yang
tak dimiliki oleh wanita-wanita yang pernah bersamaku dulu. Karena itulah aku
berani ngelakuin apa aja hanya untuk bisa mendapatkanmu termasuk membuat perusahaan
ayahmu jatuh bangkrut.” Tian mengangkat wajahnya melihat Aira. “Aku sangat
mencintai kamu, Aira.”
Seketika itu juga Aira
langsung memalingkan wajahnya ke Tian. “Tidak, Mas! Mas itu tidak mencintai
aku. Yang Mas punya hanyalah nafsu saja. Karena yang kutahu cinta itu tidaklah
selalu diakhiri dengan perkawinan karena cinta itu penuh dengan pengorbanan,
bukannya memiliki melainkan malah lebih senang jika melihat orang yang
dicintainya bahagia. Tidak menderita seperti yang kualami.
“Sudahlah! Aku tak
mengerti dengan semua ucapanmu itu. Lebih baik kamu mandilah sekarang dan
buatkan aku sarapan karena aku harus pergi ke kantor pagi ini. Aku Ada meeting
dengan klien.”
Dear Dito,
Dulu aku hidup bagai setangkai bunga yang hampir layu, yang tak punya
harapan lagi untuk berkembang, Tapi dengan dasar ketulusan, cinta dan kasih
sayang.
Kau dengan setia menjagaku, merawatku, menyiramiku tiap hari hingga
lambat laun bunga itupun tumbuh kembali. Menjadi segar cantik dan menarik.
Membuat orang lain ingin juga memilikinya, merenggutnya dengan mudah... hingga
tak ada peluang lagi bagimu untuk mengambilnya kembali.
Namun, Bunga ini hanya bisa bilang, kalau namamu akan selalu hidup
di jiwaku. Selamanya... (*)
No comments:
Post a Comment