Monday, May 1, 2017

DIARY : Bincang Dua Penyala Andi Bunga Tongeng





Bincang Dua Penyala
Andi Bunga Tongeng
29 Desember 2012
Membaca sebuah pesan dalam inbox facebookku yang rupanya dikirim oleh seorang bernama Ikes Dwiastuti, pada 28 Desember 2012 pukul 23:36.

Asslm, Halo kak Salam kenal.confirm me please..
Oh iyyah,,tadi sy di telp oleh Agung (PM IV)., dia cerita keinginan kakak untuk membentuk Penyala Makassar..
kebetulan,,sy dan beberapa teman bbrp bulan yang lalu sudah pernah melakukan pertemuan dgn teman2 yang memiliki kepedulian yg sama.. tp,,karena ketrbatasan kami..sehingga kami belum melakukan sbuah kegiatan nyata..
bisa minta kontak kakak??biar bs cerita lebih panjang..
Pesan itu langsung kubalas, dengan menanyakan sampai dimana persiapan Penyala dan apa kendala yang ditemui. Saya memberikan nomor kontak dan menawari ketemuan langsung untuk ngobrol panjang daripada via phone.

30 Desember 2012
Sesungguhnya hari Sabtu adalah hari mencuci nasional bagi seorang Ibu seperti saya. Tapi karena hari ini saya juga harus menjemput anak saya yang pulang sekolah, maka ada waktu untuk keluar rumah. Hari ini, saya sengaja berangkat lebih awal untuk ngobrol singkat dengan Penyala Ikes, sebelum menjemput jagoan kecilku di sekolahnya.
Saya sudah di McD, kak Saya pakai baju biru yah. Begitu isi pesan singkat Ikes di HP. Otomatis, membuat otak saya mondar mandir mencari seorang perempuan berjilbab yang mengenakan baju biru. Tahu dia berjilbab, dari foto profilnya di FB. Tapi tak satupun yang berbaju biru.
Hingga kemudian seseorang menegur saya “Kak Bunga yah?”. Sempat merasa aneh saja, orang ini sama sekali tidak memakai baju biru. Dan sepertinya, tanya di kepala saya tertangkap olehnya, karena dengan cepat ia menyodorkan tangan untuk mengenalkan diri.
“Saya Arya, Ikes sedang ke kamar kecil”. Oh, rupanya temannya. Arya adalah salah satu Penyala juga. Ia membuka pembicaraan dengan bercerita bahwa sudah menghubungi beberapa teman untuk hadir, tetapi semua sedang berhalangan. It's Ok Lagipula saya hanya ingin berkenalan. Tak harus hadir semua kan?, pikirku.
Pertanyaan pertama yang saya lontarkan kepada mereka sebagai wujud keingintahuan yang besar adalah “Sudah melakukan apa saja?.” Dan dijawab oleh Ikes, “Baru sebatas diskusi, belum ada pengumpulan buku”. Lho... susahnya dimana yah?, saya berusaha menebak.
Kedua Penyala di depanku ini mulai bercerita tentang siapa yang terlibat dan mengapa mereka belum memiliki kegiatan.
“Kami agak khawatir mengajak sembarang orang, kak. Kadang mereka mengejar dengan pertanyaan dan kami tidak bisa jawab”. Ujar Ikes. Menurut saya itu adalah pernyataan unik.
“Tidak bisa dijawab bagaimana?” Saya bertanya sambil membayangkan kemungkinan pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang.
“Kan tinggal menjawab pertanyaan mereka. Kecuali kalian memang tidak memahami tentang Penyala, baru bakal susah menjawab”.
“Tapi susah. Bagaimana yah?”
Mereka berdua mulai keliatan bingung mencari kata dan kalimat yang tepat untuk menggambarkan kesulitan mereka menjawab pertanyaan orang-orang. Untuk menghindari kebingungan yang berkelanjutan, saya pun ganti pertanyaan. Apakah ada kendala lain?
“Kami masih sedikit, jawab Arya.
Setelah itu, mulai menyebutkan nama-nama Penyala lain.
“Saya juga bergabung dalam sebuah komunitas. Kami cuma berenam di dalamnya. Kami tinggal berpencar di kabupaten yang berbeda. Tapi kami bisa melakukan kegiatan-kegiatan. Jumlah orang, tidak selamanya menjadi kendala,”. Saya mengajak mereka berfikir.
“Kata Hendra, kita harus mengumpulkan beberapa orang dulu, kemudian membuat susunan pengurus, lalu diskusi buat kegiatan”, Arya kembali menjelaskan.
Saya menimpali dengan senyum-senyum sambil mengingatkan jika mereka sudah punya group dan fan page di FB. Di group dan fanpage tersebut, mereka sudah punya teman-teman. Mengapa tidak mulai sebar info kumpulkan buku?
Pertanyaan saya selanjutnya, “Haruskah mengajak orang untuk menjadi anggota Penyala dulu, baru kemudian mereka bisa donasi buku?. Karena banyak orang yang berminat donasi buku tapi tak ada waktu untuk ikut pertemuan-pertemuan Penyala.”
Sepertinya, kedua penyala ini masih perlu diberikan pertanyaan lanjutan. Menurut saya, tidak ada halangan yang berarti untuk kegiatan mereka.
“Dari kalangan mana saja yang diajak jadi Penyala?”
Saya lalu mengeluarkan pertanyaan pamungkas. Dan teryata benar dugaan saya, kedua penyala yang manis-manis ini masih cenderung bermain di area kampus. Masih betah menggunakan sistem senior-junior. Tidak salah, hanya saja untuk sebuah kegiatan sosial seperti ini, perluasan rekrutmen anggota harusnya tidak monoton di satu tempat saja. Ini bukan organisasi kampus.
Rasanya, tak perlu lama berdiskusi, apalagi saya dikejar waktu untuk segera menjemput jagoanku yang sebentar lagi pulang sekolah. Saya pun mengajak kedua Penyala yang tidak pernah tahu siapa yang menjadi koordinator Penyala Makassar ini, untuk menuliskan nama, nomor kontak dan alamat mereka untuk disebar jika ada yang berminat donasi buku. Saya meyakinkan mereka berdua bahwa di luar sana, banyak orang yang mau berkontribusi tuk negeri ini. Hanya saja, mereka tak tahu caranya, mereka tak punya waktu untuk datang langsung, dan mereka pun tak mengenal Penyala Makassar.
Pertemuan berkali-kali, diskusi panjang tanpa aksi, tentulah tak ada gunanya. Melakukan hal kecil, kemudian perlihatkan kegiatan kecil kita di media sosial, akan lebih menggugah lebih banyak orang untuk bergabung.
Hari ini, saya mengantongi tiga contact person Penyala Makassar. Saya berjanji akan menunjukkan kepada dua Penyala ini bahwa saya bisa mengajak orang berdonasi buku, meski saat ini Penyala Makassar belum mengumpulkan banyak orang. Bukankah tujuan kita sederhana? Hanya untuk menyediakan buku-buku bermutu bagi adik-adik di sana, agar mereka bersinar dan menyalakan Indonesia.
Kita bukan berniat membangun rumah beton dengan tenaga yang minimal, tapi kita berniat mengajak orang untuk berbagi...
Salam Penyala!

No comments:

Post a Comment