Bincang
Dua Penyala
Andi Bunga Tongeng
29
Desember 2012
Membaca sebuah pesan
dalam inbox facebookku yang rupanya
dikirim oleh seorang bernama Ikes Dwiastuti, pada 28 Desember 2012 pukul 23:36.
Asslm, Halo kak Salam kenal.confirm me please..
Oh iyyah,,tadi sy di telp oleh Agung (PM IV)., dia cerita keinginan
kakak untuk membentuk Penyala Makassar..
kebetulan,,sy dan beberapa teman bbrp bulan yang lalu sudah pernah
melakukan pertemuan dgn teman2 yang memiliki kepedulian yg sama.. tp,,karena
ketrbatasan kami..sehingga kami belum melakukan sbuah kegiatan nyata..
bisa minta kontak kakak??biar bs cerita lebih panjang..
Pesan itu langsung
kubalas, dengan menanyakan sampai dimana persiapan Penyala dan apa kendala yang
ditemui. Saya memberikan nomor kontak dan menawari ketemuan langsung untuk
ngobrol panjang daripada via phone.
30
Desember 2012
Sesungguhnya hari Sabtu
adalah hari mencuci nasional bagi seorang Ibu seperti saya. Tapi karena hari
ini saya juga harus menjemput anak saya yang pulang sekolah, maka ada waktu
untuk keluar rumah. Hari ini, saya sengaja berangkat lebih awal untuk ngobrol
singkat dengan Penyala Ikes, sebelum menjemput jagoan kecilku di sekolahnya.
Saya sudah di McD, kak Saya pakai baju biru yah. Begitu isi pesan singkat Ikes di HP. Otomatis, membuat otak saya
mondar mandir mencari seorang perempuan berjilbab yang mengenakan baju biru.
Tahu dia berjilbab, dari foto profilnya di FB. Tapi tak satupun yang berbaju
biru.
Hingga kemudian seseorang
menegur saya “Kak Bunga yah?”. Sempat merasa aneh saja, orang ini sama sekali
tidak memakai baju biru. Dan sepertinya, tanya di kepala saya tertangkap
olehnya, karena dengan cepat ia menyodorkan tangan untuk mengenalkan diri.
“Saya Arya, Ikes sedang
ke kamar kecil”. Oh, rupanya temannya. Arya adalah salah satu Penyala juga. Ia membuka
pembicaraan dengan bercerita bahwa sudah menghubungi beberapa teman untuk
hadir, tetapi semua sedang berhalangan. It's
Ok Lagipula saya hanya ingin berkenalan. Tak harus hadir semua kan?,
pikirku.
Pertanyaan pertama yang
saya lontarkan kepada mereka sebagai wujud keingintahuan yang besar adalah “Sudah
melakukan apa saja?.” Dan dijawab oleh Ikes, “Baru sebatas diskusi, belum ada
pengumpulan buku”. Lho... susahnya dimana yah?, saya berusaha menebak.
Kedua Penyala di depanku
ini mulai bercerita tentang siapa yang terlibat dan mengapa mereka belum
memiliki kegiatan.
“Kami agak khawatir
mengajak sembarang orang, kak. Kadang mereka mengejar dengan pertanyaan dan
kami tidak bisa jawab”. Ujar Ikes. Menurut saya itu adalah pernyataan unik.
“Tidak bisa dijawab
bagaimana?” Saya bertanya sambil membayangkan kemungkinan pertanyaan yang
diajukan oleh orang-orang.
“Kan tinggal menjawab
pertanyaan mereka. Kecuali kalian memang tidak memahami tentang Penyala, baru
bakal susah menjawab”.
“Tapi susah. Bagaimana
yah?”
Mereka berdua mulai
keliatan bingung mencari kata dan kalimat yang tepat untuk menggambarkan
kesulitan mereka menjawab pertanyaan orang-orang. Untuk menghindari kebingungan
yang berkelanjutan, saya pun ganti pertanyaan. Apakah ada kendala lain?
“Kami masih sedikit,
jawab Arya.
Setelah itu, mulai
menyebutkan nama-nama Penyala lain.
“Saya juga bergabung
dalam sebuah komunitas. Kami cuma berenam di dalamnya. Kami tinggal berpencar
di kabupaten yang berbeda. Tapi kami bisa melakukan kegiatan-kegiatan. Jumlah
orang, tidak selamanya menjadi kendala,”. Saya mengajak mereka berfikir.
“Kata Hendra, kita harus
mengumpulkan beberapa orang dulu, kemudian membuat susunan pengurus, lalu
diskusi buat kegiatan”, Arya kembali menjelaskan.
Saya menimpali dengan
senyum-senyum sambil mengingatkan jika mereka sudah punya group dan fan page di FB.
Di group dan fanpage tersebut, mereka sudah punya teman-teman. Mengapa tidak
mulai sebar info kumpulkan buku?
Pertanyaan saya
selanjutnya, “Haruskah mengajak orang untuk menjadi anggota Penyala dulu, baru
kemudian mereka bisa donasi buku?. Karena banyak orang yang berminat donasi
buku tapi tak ada waktu untuk ikut pertemuan-pertemuan Penyala.”
Sepertinya, kedua penyala
ini masih perlu diberikan pertanyaan lanjutan. Menurut saya, tidak ada halangan
yang berarti untuk kegiatan mereka.
“Dari kalangan mana saja
yang diajak jadi Penyala?”
Saya lalu mengeluarkan
pertanyaan pamungkas. Dan teryata benar dugaan saya, kedua penyala yang manis-manis
ini masih cenderung bermain di area kampus. Masih betah menggunakan sistem
senior-junior. Tidak salah, hanya saja untuk sebuah kegiatan sosial seperti
ini, perluasan rekrutmen anggota harusnya tidak monoton di satu tempat saja.
Ini bukan organisasi kampus.
Rasanya, tak perlu lama
berdiskusi, apalagi saya dikejar waktu untuk segera menjemput jagoanku yang
sebentar lagi pulang sekolah. Saya pun mengajak kedua Penyala yang tidak pernah
tahu siapa yang menjadi koordinator Penyala Makassar ini, untuk menuliskan
nama, nomor kontak dan alamat mereka untuk disebar jika ada yang berminat
donasi buku. Saya meyakinkan mereka berdua bahwa di luar sana, banyak orang
yang mau berkontribusi tuk negeri ini. Hanya saja, mereka tak tahu caranya,
mereka tak punya waktu untuk datang langsung, dan mereka pun tak mengenal
Penyala Makassar.
Pertemuan berkali-kali,
diskusi panjang tanpa aksi, tentulah tak ada gunanya. Melakukan hal kecil,
kemudian perlihatkan kegiatan kecil kita di media sosial, akan lebih menggugah
lebih banyak orang untuk bergabung.
Hari ini, saya
mengantongi tiga contact person
Penyala Makassar. Saya berjanji akan menunjukkan kepada dua Penyala ini bahwa
saya bisa mengajak orang berdonasi buku, meski saat ini Penyala Makassar belum
mengumpulkan banyak orang. Bukankah tujuan kita sederhana? Hanya untuk menyediakan
buku-buku bermutu bagi adik-adik di sana, agar mereka bersinar dan menyalakan
Indonesia.
Kita bukan berniat
membangun rumah beton dengan tenaga yang minimal, tapi kita berniat mengajak
orang untuk berbagi...
Salam Penyala!
No comments:
Post a Comment