Menyalakan
Indonesia Kala Banjir Melanda Makassar
Andi Bunga Tongeng
Semalam manusia menyerbu
langit dengan petasan dan kembang api. Hari ini langit menyerang bumi dengan
hujan lebatnya. Seperti itu bunyi sms iseng anak sulungku. Meski sebenarnya
kami berdua dalam satu rumah yang sama di siang itu, tapi saya tahu jika ia
mengirimkannya karena iseng tuk melalui hari libur yang menjemukan baginya.
Siang ini, hari pertama
di tahun 2013. Saya hanya mampu memandangi langit melalui jendela dengan penuh
keraguan. Langit sama sekali tak memberi sinyal bahwa hujannya akan berhenti.
Pergi atau tidak yah?. Sejak pagi tadi, hujan lebat turun tanpa jeda.
Saya kembali memegang handphone sambil scroll layar ke atas tuk membaca obrolan teman-teman sejak semalam
di whatsapp group Penyala Makassar.
Kita sepakat untuk bertemu membahas Penyala Makassar bersama adik-adik Pengajar
Muda dari Majene.
Setelah satu jam nada whatsapp tak pernah terdengar, tiba-tiba
sapaan Didin pengajar muda masuk dan menyatakan bahwa ia dan teman-teman
pengajar muda lainnya sudah di Mall Panakukang. Duh, saya semakin resah. “Jika
saya benar-benar ingin menyalakan Indonesia, saya harus kesana meski hujan
masih lebat,” batin saya.
Tak segampang itu keluar
rumah dengan mengendarai motor di cuaca dingin dan lebatnya hujan. Protes keras
dilemparkan o1eh suami dengan sebuah pertanyaan, “Hujan lebat begini ke Mall
Panakukang? Sepenting apakah pertemuannya hingga tak bias ditunda?".
Sempat bengong beberapa detik hingga kemudian saya menjawab bahwa adik-adik
Pengajar Muda telah datang jauh-jauh dari Majene untuk bertemu dan membahas
penyala. Meski saya tahu bahwa tujuan utama mereka datang ke Makassar adalah
untuk berlibur tapi jawaban tadi cukup ampuh tuk dapat ijin keluar rumah.
Dengan mantel yang sobek
di bagian lengan kanannya, saya menerobos jalanan di bawah dentakan hujan yang tak
mau berubah jadi gerimis. Waktu tempuh yang cukup lama dari biasanya, siang itu
hujan sukses menciptakan macet. Sesusah inikah memulai tuk bergabung menjadi
penyala?.
Memasuki Mall Panakukang
di pukul 15.00, molor dua jam dari janjian pukul 13.00. Akhirnya bias bergabung
duduk dengan mereka, berkenalan dan memulai pembicaraan tentang kegiatan
adik-adik Pengajar Muda.
Rencana awal bertemu
Pengajar Muda. Sesuai percakapan di whatsapp
adalah identifikasi kebutuhan buku pengajar muda di Majene. Tapi otakku sempat
manyun saat ada yang mempertanyakan ide pertemuan itu.
Meski sempat tersinggung
tatkala ada orang Makassar sendiri yang seolah menyangsikan kepedulian orang
Makassar, saya tetap menyatakan “Tujuan kita sederhana, bagaimana bisa
menyediakan buku bagi mereka yang di daerah terpencil”. Hufffh, tujuan
sederhana itupun masih didebat. Ya sudahlah, saya tak mau terlibat debat tanpa
melakukan aksi nyata tuk menyalakan Indonesia.
Saya tak pandai tuk
merangkai kata, meyakinkan semua yang hadir tentang kepedulian saya kepada anak
bangsa ini. Yang saya tahu, saya menerjang hujan lebat, membelah jalan yang
tergenang air, antri di macetnya jalan, tuk menuju ke pertemuan ini, tanpa
sedikitpun berniat bahwa saya memilih menjadi Penyala karena alasan jadi batu
loncatan tuk menjadi pengajar muda, karena saya tidak muda lagi. Tanpa terfikir
bahwa saya akan mudah mendapat kerjaan, karena saya pun sudah punya pekerjaan.
Hati kecilku menerima sinyal aneh, benarkah ada hubungan yang signifikan antara
status sebagai Penyala dengan kemudahan memperoleh pekerjaan?.
Sinyal aneh itu berangsur
hilang saat adik-adik Pengajar Muda mulai fokus ngobrol denganku membahas
kebutuhan buku mereka, tukar-tukaran kartu nama dan nomor HP. Adik-adik ini
bisa menangkap niat ikhlasku dan beberapa penyala yang ingin menyalakan
Indonesia.
Di akhir diskusi, suasana
yang awalnya penuh tanya dalam hati, hal itu terbaca dari tatapan mereka,
akhirnya menjadi cair ketika purna pengajar muda dari Makassar datang
bergabung. Sungguh pertemuan awal tahun yang luar biasa.
Di hari itu, di tanggal 1
Januari 2013, saya menobatkan diri saya sendiri sebagai penyala, dengan dua
eksamplar buku, yang mampir saya beli sebelum pulang dari pertemuan. Terima
kasih kepada Didin Pengajar Muda. Kamu telah menyampaikan buku tipis itu kepada
adik-adik yang nun jauh di sana.
Berkali-kali saya
meyakinkan diri, bahwa saya menuliskan ini bukan untuk Riya', tapi lebih kepada
bagaimana menarik aksi lebih banyak dari orang yang membacanya, tuk ikut
menyalakan Indonesia.
No comments:
Post a Comment