Wednesday, June 7, 2017

DIARY : Menyalakan Indonesia Kala Banjir Melanda Makassar oleh Andi Bunga Tongeng





Menyalakan Indonesia Kala Banjir Melanda Makassar
Andi Bunga Tongeng
Semalam manusia menyerbu langit dengan petasan dan kembang api. Hari ini langit menyerang bumi dengan hujan lebatnya. Seperti itu bunyi sms iseng anak sulungku. Meski sebenarnya kami berdua dalam satu rumah yang sama di siang itu, tapi saya tahu jika ia mengirimkannya karena iseng tuk melalui hari libur yang menjemukan baginya.

Siang ini, hari pertama di tahun 2013. Saya hanya mampu memandangi langit melalui jendela dengan penuh keraguan. Langit sama sekali tak memberi sinyal bahwa hujannya akan berhenti. Pergi atau tidak yah?. Sejak pagi tadi, hujan lebat turun tanpa jeda.
Saya kembali memegang handphone sambil scroll layar ke atas tuk membaca obrolan teman-teman sejak semalam di whatsapp group Penyala Makassar. Kita sepakat untuk bertemu membahas Penyala Makassar bersama adik-adik Pengajar Muda dari Majene.
Setelah satu jam nada whatsapp tak pernah terdengar, tiba-tiba sapaan Didin pengajar muda masuk dan menyatakan bahwa ia dan teman-teman pengajar muda lainnya sudah di Mall Panakukang. Duh, saya semakin resah. “Jika saya benar-benar ingin menyalakan Indonesia, saya harus kesana meski hujan masih lebat,” batin saya.
Tak segampang itu keluar rumah dengan mengendarai motor di cuaca dingin dan lebatnya hujan. Protes keras dilemparkan o1eh suami dengan sebuah pertanyaan, “Hujan lebat begini ke Mall Panakukang? Sepenting apakah pertemuannya hingga tak bias ditunda?". Sempat bengong beberapa detik hingga kemudian saya menjawab bahwa adik-adik Pengajar Muda telah datang jauh-jauh dari Majene untuk bertemu dan membahas penyala. Meski saya tahu bahwa tujuan utama mereka datang ke Makassar adalah untuk berlibur tapi jawaban tadi cukup ampuh tuk dapat ijin keluar rumah.
Dengan mantel yang sobek di bagian lengan kanannya, saya menerobos jalanan di bawah dentakan hujan yang tak mau berubah jadi gerimis. Waktu tempuh yang cukup lama dari biasanya, siang itu hujan sukses menciptakan macet. Sesusah inikah memulai tuk bergabung menjadi penyala?.
Memasuki Mall Panakukang di pukul 15.00, molor dua jam dari janjian pukul 13.00. Akhirnya bias bergabung duduk dengan mereka, berkenalan dan memulai pembicaraan tentang kegiatan adik-adik Pengajar Muda.
Rencana awal bertemu Pengajar Muda. Sesuai percakapan di whatsapp adalah identifikasi kebutuhan buku pengajar muda di Majene. Tapi otakku sempat manyun saat ada yang mempertanyakan ide pertemuan itu.
Meski sempat tersinggung tatkala ada orang Makassar sendiri yang seolah menyangsikan kepedulian orang Makassar, saya tetap menyatakan “Tujuan kita sederhana, bagaimana bisa menyediakan buku bagi mereka yang di daerah terpencil”. Hufffh, tujuan sederhana itupun masih didebat. Ya sudahlah, saya tak mau terlibat debat tanpa melakukan aksi nyata tuk menyalakan Indonesia.
Saya tak pandai tuk merangkai kata, meyakinkan semua yang hadir tentang kepedulian saya kepada anak bangsa ini. Yang saya tahu, saya menerjang hujan lebat, membelah jalan yang tergenang air, antri di macetnya jalan, tuk menuju ke pertemuan ini, tanpa sedikitpun berniat bahwa saya memilih menjadi Penyala karena alasan jadi batu loncatan tuk menjadi pengajar muda, karena saya tidak muda lagi. Tanpa terfikir bahwa saya akan mudah mendapat kerjaan, karena saya pun sudah punya pekerjaan. Hati kecilku menerima sinyal aneh, benarkah ada hubungan yang signifikan antara status sebagai Penyala dengan kemudahan memperoleh pekerjaan?.
Sinyal aneh itu berangsur hilang saat adik-adik Pengajar Muda mulai fokus ngobrol denganku membahas kebutuhan buku mereka, tukar-tukaran kartu nama dan nomor HP. Adik-adik ini bisa menangkap niat ikhlasku dan beberapa penyala yang ingin menyalakan Indonesia.
Di akhir diskusi, suasana yang awalnya penuh tanya dalam hati, hal itu terbaca dari tatapan mereka, akhirnya menjadi cair ketika purna pengajar muda dari Makassar datang bergabung. Sungguh pertemuan awal tahun yang luar biasa.
Di hari itu, di tanggal 1 Januari 2013, saya menobatkan diri saya sendiri sebagai penyala, dengan dua eksamplar buku, yang mampir saya beli sebelum pulang dari pertemuan. Terima kasih kepada Didin Pengajar Muda. Kamu telah menyampaikan buku tipis itu kepada adik-adik yang nun jauh di sana.
Berkali-kali saya meyakinkan diri, bahwa saya menuliskan ini bukan untuk Riya', tapi lebih kepada bagaimana menarik aksi lebih banyak dari orang yang membacanya, tuk ikut menyalakan Indonesia.


No comments:

Post a Comment