“Kita tak boleh terus-terusan menunggu hujan!”
Lelaki itu menoleh ke arah muasal suara.
Sebut saja dia Lelaki Pertama, dan yang baru saja bicara tadi Lelaki Kedua.
Lelaki Pertama tak yakin kalimat itu ditujukan
kepadanya. Tapi, tak ada orang lain di situ kecuali mereka berdua. Mereka baru
turun dari angkot yang sama ketika hujan mendadak turun. Seolah dituntun naluri
yang sama, keduanya berlari ke satu arah, dan kini mendapati diri berbagi atap
di sebuah gardu - terlalu mewah disebut begitu - berukuran sekitar 2 x 2 meter.
Tapi, Lelaki Pertama merasa itu bukan alasan bagi Lelaki Kedua untuk tiba-tiba
melibatkan dirinya dalam “kita” tanpa kesepakatan terlebih dahulu.
Sejak awal, ketika menyadari dirinya bukan
satusatunya “orang asing” di angkot yang membawa mereka dari terminal kota,
Lelaki Pertama langsung menjaga jarak dengan pura-pura sibuk membaca buku
catatan perjalanan, yang memang ia siapkan untuk menemani perjalanan kali ini.
Dan gara-gara hujan mereka akhirnya tak lagi bisa menghindar untuk saling
menyapa. Setelah Lelaki Pertama tak mengacuhkan keberadaan Lelaki Kedua, mereka
dipertemukan kembali di gardu di luar desa - bukan desa terakhir sebelum jalur
setapak menuju puncak benar - benar dimulai.
“Kamu mau menunggu hujan sampai benar-benar
reda?”
Sekarang, Lelaki Pertama merasa tak bisa
terus mengabaikan Lelaki Kedua. Sepertinya ia punya niat baik, sebagai orang
yang merasa punya tujuan yang sama, batin Lelaki Pertama.
“Kamu bawa ponco, kan?”
“Bawa.”
“Kita bisa nyicil jalan sampai ujung desa
dengan pakai ponco.”
Tanpa banyak komentar, Lelaki Pertama
menyetujui ide itu. Ketika mereka mulai menyusuri jalan basah berbatu-batu,
hari sudah mulai gelap. Kabut menyelimuti kebun wortel dan kentang di
kanan-kiri jalan. Dengan mantel ponco menutupi kepala dan seluruh badan, mereka
berjalan agak cepat. Namun, langkah mereka tertekan ransel besar di punggung
masing-masing. Orang-orang desa dari balik jendela rumah menatap dua pendaki
itu sebagai sepasang bayangan gelap di tengah tirai air yang memutihkan malam.
Awalnya mereka saling diam. Setelah agak
lama, Lelaki Kedua yang sejak tadi selalu memulai percakapan mencoba memecahkan
kesunyian.
“Kamu dari mana?”
“Malang. Kamu?”
“Aku dari Jakarta... Oh, iya, aku Rafi.
“Aku Banyu.”
###
Banyu mengingat-ingat kapan terakhir kali ke sini. Rasanya
sudah lama sekali, dan ingatannya terlalu samar. Ia bahkan tak ingat apakah
desa sebelum jalan setapak ke puncak gunung masih jauh atau sudah dekat. Mereka
sudah berjalan cukup lama, tapi sejauh mata memandang hanya ladang, tebing, dan
jurang.
“Kamu nggak lapar?” Rafi mengagetkannya.
“Kamu lapar?” Banyu balik bertanya.
“Kita berhenti dulu, yuk, masak Indomie.”
“Aku ada roti, kita bisa makan sambil jalan.”
“Aku juga bawa roti, tapi aku pengin
sekalian istirahat.”
Banyu yang telah beberapa langkah di depan
berhenti dan berbalik. Ia mengatur napas yang memburu. Sebenarnya ia juga sudah
mulai lelah.
“Kita cari tempat yang agar datar dan enak,”
katanya.
Hujan masih menyisakan titik-titik air yang
sesekali dikacau angin. Mereka berhenti di sisi jalan tak berpohon. Langit
kelabu. Di depan mata hamparan ladang. Bau daun bawang terbawa angin sampai ke
hidung. Rafi mencari-cari tempat yang agak kering dan berjongkok mengeluarkan
isi ranselnya. Dalam sekejap kompor parafin dan panci kecil sudah tertata di
atas dataran berumput. Banyu duduk di atas batu. Ranselnya masih digendong di
punggung. Matanya mencari-cari sesuatu di kejauhan.
“Kamu nggak usah ngeluarin apa-apa, biar aku
aja.” Banyu mengalihkan pandangan ke arah Rafi. Ia merasa diurus dan
diperhatikan seperti anak kecil. Untuk pertama kalinya ia benar-benar memandang
wajah Rafi. Wajah itu seperti pelita yang menyinari kegelapan sekitarnya.
Lelaki dengan wajah yang begitu putih, apa yang dicarinya di tempat seperti
ini?
“Dua bungkus cukup nggak buat berdua? Apa
perlu tiga?” Rafi mengacungkan dua bungkus Indomie.
“Dua aja, aku nggak terlalu lapar.”
Sepuluh menit kemudian, mereka menikmati mi
kuah panas tanpa bicara. Rafi makan dengan lahap dan cepat, sedangkan Banyu
menyantapnya dengan santai. Rafi mengeluarkan dua butir apel untuk mereka, tapi
Banyu meminta Rafi menyimpannya untuk nanti saja.
Mereka berjalan lagi. Keheningan kembali
menguasai. Rafi merasa dirinya selalu yang memulai percakapan. Lama-lama ia
khawatir teman barunya tak suka. Banyu pasti ke gunung untuk mencari kesunyian.
Akhirnya Rafi tahu diri, dan mengikuti saja irama yang ada. Biarlah malam
menjadi milik rinai gerimis, deru angin, derik serangga malam, dan kicauan
katak dari batik semak.
Perjalanan kali ini lebih tenang, mereka
tidak mengobrol, kecuali mengeluhkan dingin yang makin menusuk atau
membicarakan bintang yang mulai muncul satu-dua kelip di langit, harapan akan
cuaca yang cerah untuk perjalanan selanjutnya. Rumah-rumah penduduk mulai
jarang. Satu-dua lelaki tampak duduk di serambi sambil merokok. Terdengar
sapaan khas orang desa, menawarkan persinggahan. Dengan ramah, Banyu membalas
dan berbasi-basi seperlunya, meminta restu untuk melanjutkan perjalanan.
Mereka terus berjalan, dan sesudah padang
rumput mereka berhenti di dekat batu besar untuk persiapan terakhir. Banyu
menjatuhkan ransel dan menata kembali isinya agar enak di punggung. Rafi
berdiri agak jauh, membelakangi Banyu, membuka kaus hitamnya yang basah oleh
keringat dingin. Banyu memperhatikan Rafi membungkuk mencari-cari dalam ranselnya.
Ia menatap punggung Rafi yang putih, panjang, melengkung, berkilau oleh
keringat. Perasaannya jadi aneh setelah ia menyadari matanya juga mencari-cari
sesuatu yang lain. Banyu masih terus mengamati sampai Rafi mengenakan kaus
hitam lengan panjang yang agak ketat. Tapi sebelum Rafi berbalik, Banyu lebih
cepat memutar tubuh ke arah lain.
“Kamu sudah siap?” tanya Rafi.
“Siap”
“Kita berdoa dulu.”
Banyu agak kaget dengan ajakan itu, tapi
menurut saja. Rafi meraih tangan Banyu dan menggenggamnya, dan itu lebih
mengagetkan lagi.
Tapi, ia sudah tak mungkin lagi menarik
tangannya.
Ketika mendaki ramai-ramai, ia memang melakukannya,
saling menggenggam tangan, lalu mengempaskannya dan meneriakkan yel untuk
memompa semangat.
Tapi, berdua seperti ini malah terasa
janggal bagi Banyu.
Perasaan aneh yang sama menjalari Banyu
ketika ia merasakan telapak tangan Rafi yang halus, dan membuat wajahnya
berubah.
Tapi, raut wajah Rafi tak menyiratkan
perubahan apa-apa.
###
Banyu merasakan pendakian kali ini sangat berat. Ia kembali
mengingat-ingat kapan terakhir kali naik gunung dan dimana, tapi kenangannya
lagi-lagi samar. Ia bahkan masih heran dengan keputusan yang diambilnya
beberapa hari lalu. Naik gunung. Pada usia yang baru saja meninggalkan angka 30
tahun. Ia tak yakin masih semampu dulu, tapi dorongan itu terlalu kuat.
Dorongan apa, dari mana, dan kenapa harus gunung, Banyu juga tak tahu pasti.
Mungkin ia hanya ingin, dan itu tak perlu dimaknai macam-macam. Meskipun tujuan
dan motivasi tentu ada, betapapun samarnya. Dan samar hanyalah kata lain dari
pengingkaran diri. Banyu sebenarnya hanya tak ingin jujur bahwa pendakian kali
ini adalah sebuah pelarian.
Berkali-kali ia melirik teman barunya. Tak
seperti yang ia bayangkan. Lelaki dengan ketampanan yang lembut di mata Banyu
itu - atau mungkin lebih tepat “kecantikan yang keras” - ternyata tak sekali
pun terdengar mengeluh capek atau merengek minta istirahat. Ia tak merepotkan
seperti prasangkanya yang agak jahat. Banyu malu pada diri sendiri, yang
ternyata justru tak sekuat perkiraannya. Maka, sepanjang perjalanan, ia lebih
memilih diam karena itu menyembunyikan kelemahannya sekaligus memberikan
kekuatan. Rafi, tidak seperti di awal pertemuan, kini juga lebih banyak diam.
Ada saat ketika Banyu tiba-tiba merasa
bersyukur bertemu orang lain dalam pendakian ini, sesuatu yang awalnya dengan
keras ia hindari.
“Berhenti dulu.” Banyu menjatuhkan tubuh
begitu saja di hamparan rumput basah di sisi jalan setapak. Ia sengaja memilih
dataran yang agak lapang, jauh dari pepohonan. Angin menderu seperti kereta
lewat.
la melihat Rafi duduk agak jauh dengan
ransel di punggung, memandang langit. Ia jadi sering memperhatikan Rafi
diam-diam. “Taruh aja ranselmu, aku ingin istirahat agak lama.”
Rafi tak bereaksi.
“Atau kamu mau duluan?”
“Kamu masih menganggap kita bukan satu tim?”
“Aku hanya tak ingin mengacaukan rencana
orang lain.”
Banyu menyesali penyataannya yang terlalu
dingin, tapi ia memang tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Akhirnya ia
memilih tak terlalu peduli. Ia mulai sibuk membuka ransel, mengeluarkan
beberapa barang.
“Kamu mau masak?”
“Nggak, cuma mau manasin air. Aku pengin
ngopi, kamu mau?”
“Boleh.”
"Aku cuma bawa satu cangkir.”
Rafi mengeluarkan cangkirnya sendiri. “Aku
pakai kopiku sendiri. Aku nggak suka kopi tubruk,” katanya sambil mengacungkan
sebungkus kopi instan.
Sebelum satu batang parafin habis, air itu
sudah mendidih. Kehangatan lembut sesaat menyerbu wajah mereka, yang sedang
berjongkok di sekitar kompor mungil itu. Tapi, hawa dingin yang lebih kuat
segera mengusirnya, mengembalikan mereka dalam gigil. Banyu menggigit bibir.
Rafi memeluk bahunya sendiri.
Mereka menikmati kopi masing-masing sambil
duduk berdekatan. Banyu membiarkan sisa api di kompor parafin menyala, walau
berkali-kali nyaris padam karena terpaan angin. Bau rumput gunung menyengat
dari udara basah yang mereka hirup.
Diam-diam Banyu menunggu Rafi mengatakan sesuatu
untuk mencairkan suasana. Tapi, setelah agak lama ternyata Rafi tetap diam
saja, Banyu pun jadi tertantang.
“Sebenarnya pendakianku kali ini tergolong
nekat.”
Rafi agak terkejut teman barunya yang angkuh
dan selalu menjaga jarak ini tiba-tiba membuka percakapan, bukan dengan
pertanyaan yang penuh rasa ingin tahu, melainkan dengan pengakuan sukarela.
“Kamu pasti lagi ada masalah.”
“Begitulah. Kamu juga, kan?”
Begitu Banyu mulai sedikit terbuka, Rafi pun
langsung terpancing. “Ya, aku memang lagi ada masalah di rumah.”
Banyu merasa baru berhasil memancing harimau
dari persembunyiannya di balik semak.
“Apa, kalau boleh tahu?” Banyu berusaha tak
terlalu menunjukkan rasa penasaran, tapi ia terlalu buru-buru dan itu membuat
Rafi seperti menarik diri lagi.
Rafi diam, dan Banyu menganggap itu sebagai
jawaban bahwa ia tak boleh tahu. Sampai di situ, Banyu dan Rafi seperti dua
pecatur yang menjajaki strategi yang lain. Mulai ada keterbukaan, tapi
masing-masing tak ingin terlalu jujur. Ada batas yang dipertahankan, untuk membuka
diri. Satu sama lain seolah telah menandatangani perjanjian untuk menghormati
batas itu, dan tak melanggarnya bila memang sudah hampir menyentuhnya.
“Kadang-kadang kita hanya ingin lari
sejenak, pergi sejenak, sendirian, tanpa kehadiran orang lain dan suarasuara
keramaian,” kata Rafi setelah diam yang lama.
Memang bukan jawaban, tapi itu membuat Banyu
menoleh. Ia menunggu lanjutan kata-kata itu. Tapi, setelah agak lama menunggu,
tak ada apa-apa lagi. Ternyata Rafi bicara pada dirinya sendiri.
“Kita harus jalan lagi, jangan sampai
ketinggalan sunrise di puncak.”
###
Semua terjadi seperti yang diharapkan. Mereka sampai di
puncak sesaat sebelum matahari terbit, ketika pucuk-pucuk edelweiss yang belum
mekar masih berselimut kabut dini hari. Tanpa memedulikan rasa letih yang
memuncak, Rafi mengeluarkan kamera saku dari ransel. Ia mencari tempat paling
tinggi di dataran puncak itu, dan sesaat mengabaikan Banyu. Ia memotret
berkali-kali ketika matahari akhirnya muncul di cakrawala timur bagaikan sang
yogi yang bangkit dari semadi. Kehangatan mengelus lembut kepala Rafi. Dalam
beberapa detik langit seperti terbakar. Warna jingga menyebar.
Ada perasaan mewah menyaksikan segala
keindahan alam itu setelah menempuhnya dengan perjalanan berat. Setelah puas,
Rafi kembali ke tempat ranselnya berada. Saat itulah ia melihat Banyu, di tepi
jurang, berdiri membelakanginya, tanpa baju, menatap lurus ke titik yang jauh.
Sesaat Rafi memperhatikan punggung cokelat terang itu, kekar dan bidang. Ia juga
menatap lengan Banyu yang mengkal, agak keputih-putihan, terbentuk bukan oleh
alat-alat kebugaran, melainkan, Rafi menduga, dari pekerjaan sehari-hari yang
membutuhkan tenaga. Rafi mendekat dan berusaha mengabaikan apa yang baru saja
memenuhi benaknya.
“Mau foto ya!”
Banyu langsung menoleh. “Jangan, aku lagi
nggak pake baju.”
“Nggak papa.”
“Jangan, jangan. Lagian aku nggak suka
difoto.”
Rafi tak terganggu penolakan itu. Ia lebih
terganggu dengan pemandangan baru tubuh Banyu yang terlihat bagian depannya.
Dada dan bahu bidang, perut rata, membuat Rafi tak bisa bersikap wajar. Dan,
sepertinya Banyu menyadari kecanggungan Rafi, tapi ia berusaha mengabaikannya.
###
Mereka memuntahkan isi ransel masing-masing, lalu
bersama-sama memasak mi, merebus telur, memanaskan air untuk menyeduh kopi.
Mereka melakukannya sambil menikmati makanan kecil, biskuit, dan buah. Sehabis menikmati
santapan istimewa dan minum kopi, Rafi membuka sepatu dan kaus kaki, juga jaket
dan kausnya. Dengan cepat ia berganti kaus baru, lalu melanjutkan makan.
Sementara Banyu, dengan secangkir kopi, mengasingkan diri ke tepi jurang di
bagian dataran yang rendah.
Rafi membiarkan Banyu. Ia tak mau
mengganggunya. Ia sendiri ingin tidur, mengumpulkan kembali tenaga untuk
perjalanan turun nanti. Ia menggelar ponco di atas hamparan rumput agak tebal,
lalu melapisinya dengan kain pantai yang selalu dibawanya.
Ketika Banyu kembali, ia melihat Rafi
tertidur. Ia juga ingin tidur. Sambil menenteng ponco, ia mencari-cari tempat
teduh, dan menemukan tempat yang agak tersembunyi, penuh rerimbunan perdu yang
agak tinggi. Ia melepas celananya yang basah dan kotor, menyisakan celana dalam
di tubuhnya, lalu tidur begitu saja di atas ponco yang digelar di tanah.
Kira-kira satu jam Banyu tidur, dan ketika
bangun ia melihat Rafi duduk di sisinya, sibuk dengan kamera sambil makan apel.
“Kok kamu nemu aja tempat ini, asyik banget
buat tidur,” Rafi memberondong begitu melihat Banyu terbangun.
“Kamu ngapain di sini?”
“Mau apel? Rafi menyodorkan bekas
gigitannya.
“Kamu ngapain di sini? Kamu habis motret
aku, ya?”
“Ge-er! Aku lagi ngeliatin hasil jepretanku
tadi.”
“Bohong! kamu pasti habis moto-moto aku.
Hapus nggak?” Banyu berusaha merebut kamera dari tangan Rafi.
Rafi terkejut. Ia masih berharap Banyu hanya
bercanda. Tapi, Banyu melanjutkan aksinya dengan lebih kasar. “Kamu mau hapus
sendiri atau aku yang hapus?”
“Banyu! Gila kamu ya! Kok bisa sih kamu
nuduh aku begitu? Apa yang kamu pikirkan tentang aku?”
Dengan perasaan tersinggung menggumpal di
dada, bercampur rasa terhina yang menyakitkan, Rafi meninggalkan Banyu. Ia
mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan, memasukkannya asal-asalan ke
ransel, lalu buru-buru memakai sepatu, dan bergegas turun. Tak ada yang perlu
dipertahankan lagi di sini.
###
Banyu hanya memandangi punggung Rafi yang semakin menjauh,
lalu lenyap di jalan setapak yang menurun. Hampir saja Banyu berteriak
memanggil, tapi ada kekuatan lebih besar yang membuat suaranya tak keluar. Dan ia
senang. Ia lega telah ditinggalkan. Tak perlu lagi sopan santun menjaga
perasaan dan sebagainya, yang bikin capek. Bukankah sejak keberangkatan, inilah
yang dicarinya? Kesendirian, kesunyian, dan keheningan yang sempurna?
Banyu mencoba menenangkan diri. Ia tak akan mengejar
Rafi. Sekarang baru ia menyadari, lelaki itu memang berhak tersinggung dan marah.
Banyu tahu ia harus minta maaf. Saat ini ias membiarkan pikirannya meyakini
bahwa Rafi bisa membawa diri. Rafi akan baik-baik saja, dan ia akan bisa
mengejarnya, tidak sulit. Ia akan menemukan Rafi, meminta maaf, dan semua akan
kembali seperti semula.
Banyu mencari-cari makanan, berlagak tak
terjadi apa-apa. Tapi, ia tak bisa menipu diri bahwa hati dan pikirannya sudah
tak bisa lagi diajak tenang. Rasa bersalah makin menekan, dan ia ingin segera
meminta maaf. Banyu mengemasi barang-barangnya, dan setengah berlari mulai
menuruni jalan setapak.
Setelah berjalan hampir satu jam tanpa
henti, setengah berlari, kadang meluncur dan seperti melayang, Banyu belum
menemukan Rafi. Ia mulai memikirkan kemungkinan buruk. Tapi, ii menghibur diri
dengan pikiran bahwa dirinya telah meremehkan Rafi. Mungkin kemarahan telah
memberi Rafi kekuatan untuk berjalan melebihi kecepatan normal.
Sampai di bawah, melewati gardu tempat
pertama mereka bertemu, Banyu belum juga menjumpai Rafi. Mustahil ia secepat
itu, pikirnya. Di depan gardu ia berhenti sejenak, dan ada perasaan melankolis
ketika ia memandangnya. Seolah ada Rafi di sana. Dengan sisa-sisa tenaga yang
telah terkuras kegalauan, Banyu meninggalkan gardu, menyeberang jalan, dan
masuk ke warung makan.
“Rafi!” pekiknya nyaris tak terkendali
begitu matanya menangkap sosok lelaki yang amat dikenalnya walau hanya dari
belakang.
Yang dipanggil menoleh, mimiknya antara
kaget dan lega, tapi dengan cepat berubah jadi tak acuh dan dingin. Ia bangkit
menghampiri perempuan setengah baya pemilik warung. “Sudah, Bu... Berapa?”
Tanpa menunggu kembalian, ia langsung
berbalik dan bergegas pergi. Bahunya sempat menyenggol bahu Banyu yang masih
tegak berdiri di ambang pintu.
Kali ini, Banyu mengejar. Ia tak berusaha
menghentikan Rafi. Ia hanya menjajari dan mengikuti langkahnya.
“Kamu tahu, aku cuma mau minta maaf, jangan
kayak anak kecil. Aku mengaku salah dan minta maaf,” ucap Banyu lirih namun
penuh penekanan.
“Terserah kamu mau memaafkanku atau tidak,
yang jelas aku sudah mengucapkannya.”
Rafi berhenti di sisi jalan. “Ya sudah,
nggak ada yang perlu dimaafkan. Aku hanya kesal pada diri sendiri. Lupakan
saja. Senang telah melewatkan pendakian bersamamu. Sampai ketemu lain waktu.”
“Kamu mau ke mana?”
“Melanjutkan perjalanan.”
“Ke mana? Pulang ke Jakarta?”
“Enggak. Aku masih punya rencana lain. Tapi
belum tahu mau ke mana. Yang jelas aku harus segera pergi dari sini.”
“Baiklah, aku tak akan menahanmu. Tapi,
bolehkah aku mencatat nomor kontakmu?”
Mereka bertukar nomor handphone.
“Kabari aku ya,” ujar Banyu sebelum Rafi
benar-benar meninggalkannya, masuk ke angkot yang telah menunggu di sisi jalan.
###
Banyu kembali masuk ke warung dan memesan makanan. Ia makan
dengan cepat sambil memutuskan akan menginap satu malam lagi di desa itu. Agak
sore ia berjalan mencari masjid untuk numpang tidur sebentar. Sesekali ia masih
memikirkan Rafi. Kadang jemarinya ingin mengetikkan pesan untuknya, tapi selalu
urung. Ia bangun tidur sebelum magrib tiba dan mendapati pesan di HP-nya.
Maaf
kalau aku tadi terkesan nggak bersahabat. Sekali lagi kamu nggak salah
Tanpa pikir panjang Banyu membalas dengan
cepat.
Kamu dimana?
Karena tak segera ada
jawaban, Banyu melupakannya. Dan entah kenapa perasaannya jadi rusuh. Ia mengubah
keputusan, tak jadi bermalam di desa itu. Angkot ke terminal kota sudah tak ada.
Ia disarankan naik ojek, tapi pasti mahal sekali. Mahal itu ukuran orang desa.
Banyu siap membayar berapa pun. Seseorang di masjid mempertemukannya dengan
pria yang siap mengantarkannya sampai ke tujuan.
Sambil membonceng motor, Banyu berkali-kali
merapatkan jaket, membayangkan rumah. HP di kantongnya bergetar. Tidak, ia tak
boleh dan tak akan berharap apa-apa. Cukup. Ia telah menganggap urusan dengan
Rafi selesai, tak ada lagi ganjalan, semua sudah dimaafkan bahkan dilupakan,
dan mereka akan kembali ke rumah masing-masing, melanjutkan kehidupan masing-masing.
Banyu baru meraih HP-nya setelah tiba di
terminal dan membayar ojek. Rafi. Ada apa lagi? Banyu membuka pesan itu tanpa
antusias.
Aku
menginap di Hotel Teratai, Jalan Diponegoro 14, Boyolali.
Itu hanya informasi. Jawaban
atas pertanyaannya tadi. Bukan undangan. Pasti bukan. Banyu melangkah ke emperen
terminal. Ia masih bisa melihat tukang ojek tadi di kejauhan. Tiba-tiba ada
yang berubah dalam benaknya. Ia mengejar tukang ojek itu.
“Pak, saya lagi. Tahu alamat ini?” Banyu
menunjukkan HP-nya.
“Oh, itu ndak terlalu jauh dari sini, Mas...
Mau diantar lagi?”
Banyu langsung naik ke boncengan.
###
Rafi mungkin sudah menduga. Atau, bahkan ia mengharapkannya.
Ia mungkin sengaja memancing Banyu. Yang jelas, ketika menemui lelaki itu di
lobi, Rafi berusaha bersikap sewajar mungkin. Demikian juga Banyu. Ia tak yakin
apa yang dilakukannya, tapi ia merasa itulah yang harus dilakukannya saat ini.
Mereka jadi seperti teman lama yang bertemu kembali, saling menunggu siapa yang
harus bertanya lebih dulu.
Pada akhirnya, mereka memang sudah bisa
melupakan ketegangan sebelumnya. Situasi kembali normal. Rafi tak sungkan
menawari Banyu menginap di kamarnya, sebelum besok melanjutkan perjalanan.
Banyu menerimanya tanpa basa-basi lagi. Mereka sama sekali tak menyinggung
masalah tadi siang di puncak gunung. Mereka mengobrol tentang hal-hal lain dan
rencana mereka.
“Kamu mau di sini berapa lama?” tanya Banyu.
“Aku masih punya banyak rencana. Aku pengin
ke beberapa kota. Tapi, belum kuputuskan besok atau kapan mau ke mana. Mungkin
ke Solo atau Jogja. Bisa juga ke Lawu.”
“Emang kamu nggak kerja, ya?”
“Aku cuti panjang. Kamu sendiri, apa rencanamu?
Langsung pulang ke Malang?”
“Dari awal aku memang cuma mau naik gunung,
nggak ada rencana lain. Tapi males balik juga. Tadinya mau nginep semalam lagi
di desa.”
Pafi ingin mengatakan sesuatu, mengajak
Banyu bergabung dalam perjalanannya. Tapi, ia terlalu gengsi untuk
mengatakannya dan berharap keinginan itu datang dari Banyu sendiri tanpa
diminta. Rafi memancing Banyu dengan tidak mengatakan apa-apa. Tapi, Banyu pun
tak bicara lagi. Ada jeda sesaat sebelum akhirnya Rafi mengalihkan pembicaraan.
“Kamu pengin keluar nyari warung kopi, atau
mau ngobrol di kamar aja?”
“Aku pengin tidur aja, capek sekali.”
“Oke, kamu bisa tidur di atas. Sori aku ambil
yang single bed. Mana aku tahu kamu
mau nyusul. Tapi bed-nya luas kok.”
“Aku tidur di bawah saja.”
Seandainya Banyu bisa membaca pikiran dan
isi hati orang, ia akan tahu Rafi kecewa. Tapi, ia tak mau ada masalah lagi.
Rafi memberikan selimut tebal dan bantal kepada Banyu.
“Terima kasih,” kata Banyu. Ia melepas baju
dan celana panjangnya hingga tersisa celana dalam, lalu langsung meringkuk
menyelimuti tubuh sampai menutupi kepala. Tak lama, kepala itu tiba-tiba
menyembul.
“Selamat tidur ya,” katanya.
“Selamat tidur juga.”
Banyu memang langsung tidur dalam sekejap.
Tapi, Rafi tak bisa tidur. Berkali-kali ia melongok ke bawah, memperhatikan
tubuh Banyu yang bergelombang halus dengan embusan napas yang ritmis. Sesekali
benaknya kacau ketika mengingat di balik selimut itu ada tubuh tegap yang hanya
terbungkus celana dalam. Merasa telah berpikir terlalu jauh, Rafi mengutuk
dirinya sendiri.
Paginya, setelah sarapan dan minum kopi,
Banyu berpamitan. “Lain kali kita pasti ketemu lagi,” kata Banyu. Rafi tidak
yakin akan ada lain kali. Yang ada hanya sekarang. Mereka berpisah dengan cara
yang sangat jantan. Tapi, apa pun caranya, Rafi merasakan ada lengang
tertinggal.
###
Rafi baru meninggalkan hotel sorenya, setelah seharian
berjalan-jalan menyusuri kota kecil yang sepi itu. Ia telah memutuskan akan
melanjutkan perjalanan ke Solo. Tapi, semua tak seperti yang ia bayangkan. Ia tahu
rencananya sudah berantakan. Rafi tak menyalahkan siapa-siapa. Tapi,
kadang-kadang ia ingat Banyu.
Di Solo, Rafi tak langsung jalan-jalan tanpa
mencari hotel lebih dulu. Dan terbukti itu keputusan yang tepat. Malam itu juga
ia memutuskan ke Jogja. Ia melewatkan malam di alun-alun, Malioboro, memotret
panorama malam, siluet Kantor Pos tua, dan benteng peninggalan Belanda yang
sunyi. Hati Rafi juga sunyi. Ia menunggu pagi.
Setelah menikmati sarapan nasi pecel di
Pasar Bringharjo, Rafi mencegat taksi, menuju stasiun kereta. Ya, pulang saja.
Sudah sepanjang malam ia berpikir, dan pulang adalah jalan terbaik saat ini.
Ketika duduk di dalam taksi, Rafi melihat hujan tiba-tiba turun. Hujan pagi
hari selalu menerbitkan perasaan sedih. Hujan semakin deras ketika Rafi telah
duduk di dalam kereta, menuju Jakarta.
Dari balik jendela, ia menatap kota yang
menjadi buram. Rafi ingin tidur lagi. Semalaman ia tak tidur. Gerbong kereta
sunyi dan lengang. Banyak kursi kosong. Ia tak ingat telah sampai di kota mana
ketika ia akhirnya tertidur. Ia terbangun ketika merasakan getaran HP di
kantong celananya.
Akhirnya
ke mana, Solo apa Jogja? Nggak mungkin Lawu, kan?
Rafi membaca pesan itu
dengan perasaan dingin, lalu meletakkan HP-nya di pangkuan. Ia menyandarkan
kepala dan memejamkan mata. HP-nya bergetar lagi. Tanpa gairah, Rafi membuka
kembali HP-nya.
Kok
diam? Aku pengin nyusul kamu, boleh nggak?
Rafi melemparkan pandangan ke luar jendela.
Rumah-rumah menggigil. Terbayang wajah Banyu dalam hujan. Tinggi, kekar,
cokelat terang, sepasang alis tebal yang nyaris bertaut, dan tatapan tajam yang
menyiratkan rasa ingin tahu melebihi yang sudah diungkapkan. Dimana dia
sekarang? Ada kalanya Rafi begitu menginginkan kehadiran lelaki itu. Tapi, ia
percaya saat itu sudah lewat. Ia sudah terlalu letih dengan harapannya sendiri.
Sekarang saatnya untuk berhenti.
Dengan gerak-gerik penuh keraguan, Rafi
memencet tombol-tombol mungil HP-nya. Sekejap, pesan-pesan Banyu hilang dari
layar, juga namanya. Lalu ia mematikan benda itu dan memasukkannya ke tas. Dari
tas ia mengambil kamera. Setelah menyalakannya, ia mencari-cari sesuatu. Tak
lama, ia memandangi beberapa foto dengan objek yang sama: Banyu yang tengah
tidur nyenyak, di bawah rimbun perdu, di atas gelaran mantel ponco, hanya
bercelana dalam.
Agak lama ia memandanginya. Berkali-kali ia
berpikir untuk menghapusnya, tapi berkali-kali pula ia mengurungkan niatnya.
No comments:
Post a Comment