Sunday, November 19, 2017

CERPEN : " SEPERTI KISAH CINTA YANG TOKOH UTAMA MENYENDIRI DI GUNUNG " BUKU ANTOLOGI



“Kita tak boleh terus-terusan menunggu hujan!”
Lelaki itu menoleh ke arah muasal suara. Sebut saja dia Lelaki Pertama, dan yang baru saja bicara tadi Lelaki Kedua.

Lelaki Pertama tak yakin kalimat itu ditujukan kepadanya. Tapi, tak ada orang lain di situ kecuali mereka berdua. Mereka baru turun dari angkot yang sama ketika hujan mendadak turun. Seolah dituntun naluri yang sama, keduanya berlari ke satu arah, dan kini mendapati diri berbagi atap di sebuah gardu - terlalu mewah disebut begitu - berukuran sekitar 2 x 2 meter. Tapi, Lelaki Pertama merasa itu bukan alasan bagi Lelaki Kedua untuk tiba-tiba melibatkan dirinya dalam “kita” tanpa kesepakatan terlebih dahulu.
Sejak awal, ketika menyadari dirinya bukan satu­satunya “orang asing” di angkot yang membawa mereka dari terminal kota, Lelaki Pertama langsung menjaga jarak dengan pura-pura sibuk membaca buku catatan perjalanan, yang memang ia siapkan untuk menemani perjalanan kali ini. Dan gara-gara hujan mereka akhirnya tak lagi bisa menghindar untuk saling menyapa. Setelah Lelaki Pertama tak mengacuhkan keberadaan Lelaki Kedua, mereka dipertemukan kembali di gardu di luar desa - bukan desa terakhir sebelum jalur setapak menuju puncak benar - benar dimulai.
“Kamu mau menunggu hujan sampai benar-benar reda?”
Sekarang, Lelaki Pertama merasa tak bisa terus mengabaikan Lelaki Kedua. Sepertinya ia punya niat baik, sebagai orang yang merasa punya tujuan yang sama, batin Lelaki Pertama.
“Kamu bawa ponco, kan?”
“Bawa.”
“Kita bisa nyicil jalan sampai ujung desa dengan pakai ponco.”
Tanpa banyak komentar, Lelaki Pertama menyetujui ide itu. Ketika mereka mulai menyusuri jalan basah berbatu-batu, hari sudah mulai gelap. Kabut menyelimuti kebun wortel dan kentang di kanan-kiri jalan. Dengan mantel ponco menutupi kepala dan seluruh badan, mereka berjalan agak cepat. Namun, langkah mereka tertekan ransel besar di punggung masing-masing. Orang-orang desa dari balik jendela rumah menatap dua pendaki itu sebagai sepasang bayangan gelap di tengah tirai air yang memutihkan malam.
Awalnya mereka saling diam. Setelah agak lama, Lelaki Kedua yang sejak tadi selalu memulai percakapan mencoba memecahkan kesunyian.
“Kamu dari mana?”
“Malang. Kamu?”
“Aku dari Jakarta... Oh, iya, aku Rafi.
“Aku Banyu.”

###

Banyu mengingat-ingat kapan terakhir kali ke sini. Rasanya sudah lama sekali, dan ingatannya terlalu samar. Ia bahkan tak ingat apakah desa sebelum jalan setapak ke puncak gunung masih jauh atau sudah dekat. Mereka sudah berjalan cukup lama, tapi sejauh mata memandang hanya ladang, tebing, dan jurang.
“Kamu nggak lapar?” Rafi mengagetkannya.
“Kamu lapar?” Banyu balik bertanya.
“Kita berhenti dulu, yuk, masak Indomie.”
“Aku ada roti, kita bisa makan sambil jalan.”
“Aku juga bawa roti, tapi aku pengin sekalian isti­rahat.”
Banyu yang telah beberapa langkah di depan berhenti dan berbalik. Ia mengatur napas yang memburu. Sebenarnya ia juga sudah mulai lelah.
“Kita cari tempat yang agar datar dan enak,” katanya.
Hujan masih menyisakan titik-titik air yang sesekali dikacau angin. Mereka berhenti di sisi jalan tak berpohon. Langit kelabu. Di depan mata hamparan ladang. Bau daun bawang terbawa angin sampai ke hidung. Rafi mencari-cari tempat yang agak kering dan berjongkok mengeluarkan isi ranselnya. Dalam sekejap kompor parafin dan panci kecil sudah tertata di atas dataran berumput. Banyu duduk di atas batu. Ranselnya masih digendong di punggung. Matanya mencari-cari sesuatu di kejauhan.
“Kamu nggak usah ngeluarin apa-apa, biar aku aja.” Banyu mengalihkan pandangan ke arah Rafi. Ia merasa diurus dan diperhatikan seperti anak kecil. Untuk pertama kalinya ia benar-benar memandang wajah Rafi. Wajah itu seperti pelita yang menyinari kegelapan sekitarnya. Lelaki dengan wajah yang begitu putih, apa yang dicarinya di tempat seperti ini?
“Dua bungkus cukup nggak buat berdua? Apa perlu tiga?” Rafi mengacungkan dua bungkus Indomie.
“Dua aja, aku nggak terlalu lapar.”
Sepuluh menit kemudian, mereka menikmati mi kuah panas tanpa bicara. Rafi makan dengan lahap dan cepat, sedangkan Banyu menyantapnya dengan santai. Rafi mengeluarkan dua butir apel untuk mereka, tapi Banyu meminta Rafi menyimpannya untuk nanti saja.
Mereka berjalan lagi. Keheningan kembali menguasai. Rafi merasa dirinya selalu yang memulai percakapan. Lama-lama ia khawatir teman barunya tak suka. Banyu pasti ke gunung untuk mencari kesunyian. Akhirnya Rafi tahu diri, dan mengikuti saja irama yang ada. Biarlah malam menjadi milik rinai gerimis, deru angin, derik serangga malam, dan kicauan katak dari batik semak.
Perjalanan kali ini lebih tenang, mereka tidak mengobrol, kecuali mengeluhkan dingin yang makin menusuk atau membicarakan bintang yang mulai muncul satu-dua kelip di langit, harapan akan cuaca yang cerah untuk perjalanan selanjutnya. Rumah-rumah penduduk mulai jarang. Satu-dua lelaki tampak duduk di serambi sambil merokok. Terdengar sapaan khas orang desa, menawarkan persinggahan. Dengan ramah, Banyu membalas dan berbasi-basi seperlunya, meminta restu untuk melanjutkan perjalanan.
Mereka terus berjalan, dan sesudah padang rumput mereka berhenti di dekat batu besar untuk persiapan terakhir. Banyu menjatuhkan ransel dan menata kembali isinya agar enak di punggung. Rafi berdiri agak jauh, membelakangi Banyu, membuka kaus hitamnya yang basah oleh keringat dingin. Banyu memperhatikan Rafi membungkuk mencari-cari dalam ranselnya. Ia menatap punggung Rafi yang putih, panjang, melengkung, berkilau oleh keringat. Perasaannya jadi aneh setelah ia menyadari matanya juga mencari-cari sesuatu yang lain. Banyu masih terus mengamati sampai Rafi mengenakan kaus hitam lengan panjang yang agak ketat. Tapi sebelum Rafi berbalik, Banyu lebih cepat memutar tubuh ke arah lain.
“Kamu sudah siap?” tanya Rafi.
“Siap”
“Kita berdoa dulu.”
Banyu agak kaget dengan ajakan itu, tapi menurut saja. Rafi meraih tangan Banyu dan menggenggamnya, dan itu lebih mengagetkan lagi.
Tapi, ia sudah tak mungkin lagi menarik tangannya.
Ketika mendaki ramai-ramai, ia memang melakukannya, saling menggenggam tangan, lalu mengempaskannya dan meneriakkan yel untuk memompa semangat.
Tapi, berdua seperti ini malah terasa janggal bagi Banyu.
Perasaan aneh yang sama menjalari Banyu ketika ia merasakan telapak tangan Rafi yang halus, dan membuat wajahnya berubah.
Tapi, raut wajah Rafi tak menyiratkan perubahan apa-apa.

###

Banyu merasakan pendakian kali ini sangat berat. Ia kembali mengingat-ingat kapan terakhir kali naik gunung dan dimana, tapi kenangannya lagi-lagi samar. Ia bahkan masih heran dengan keputusan yang diambilnya beberapa hari lalu. Naik gunung. Pada usia yang baru saja meninggalkan angka 30 tahun. Ia tak yakin masih semampu dulu, tapi dorongan itu terlalu kuat. Dorongan apa, dari mana, dan kenapa harus gunung, Banyu juga tak tahu pasti. Mungkin ia hanya ingin, dan itu tak perlu dimaknai macam-macam. Meskipun tujuan dan motivasi tentu ada, betapapun samarnya. Dan samar hanyalah kata lain dari pengingkaran diri. Banyu sebenarnya hanya tak ingin jujur bahwa pendakian kali ini adalah sebuah pelarian.
Berkali-kali ia melirik teman barunya. Tak seperti yang ia bayangkan. Lelaki dengan ketampanan yang lembut di mata Banyu itu - atau mungkin lebih tepat “kecantikan yang keras” - ternyata tak sekali pun terdengar mengeluh capek atau merengek minta istirahat. Ia tak merepotkan seperti prasangkanya yang agak jahat. Banyu malu pada diri sendiri, yang ternyata justru tak sekuat perkiraannya. Maka, sepanjang perjalanan, ia lebih memilih diam karena itu menyembunyikan kelemahannya sekaligus memberikan kekuatan. Rafi, tidak seperti di awal pertemuan, kini juga lebih banyak diam.
Ada saat ketika Banyu tiba-tiba merasa bersyukur bertemu orang lain dalam pendakian ini, sesuatu yang awalnya dengan keras ia hindari.
“Berhenti dulu.” Banyu menjatuhkan tubuh begitu saja di hamparan rumput basah di sisi jalan setapak. Ia sengaja memilih dataran yang agak lapang, jauh dari pepohonan. Angin menderu seperti kereta lewat.
la melihat Rafi duduk agak jauh dengan ransel di punggung, memandang langit. Ia jadi sering memperhatikan Rafi diam-diam. “Taruh aja ranselmu, aku ingin istirahat agak lama.”
Rafi tak bereaksi.
“Atau kamu mau duluan?”
“Kamu masih menganggap kita bukan satu tim?”
“Aku hanya tak ingin mengacaukan rencana orang lain.”
Banyu menyesali penyataannya yang terlalu dingin, tapi ia memang tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Akhirnya ia memilih tak terlalu peduli. Ia mulai sibuk membuka ransel, mengeluarkan beberapa barang.
“Kamu mau masak?”
“Nggak, cuma mau manasin air. Aku pengin ngopi, kamu mau?”
“Boleh.”
"Aku cuma bawa satu cangkir.”
Rafi mengeluarkan cangkirnya sendiri. “Aku pakai kopiku sendiri. Aku nggak suka kopi tubruk,” katanya sambil mengacungkan sebungkus kopi instan.
Sebelum satu batang parafin habis, air itu sudah mendidih. Kehangatan lembut sesaat menyerbu wajah mereka, yang sedang berjongkok di sekitar kompor mungil itu. Tapi, hawa dingin yang lebih kuat segera mengusirnya, mengembalikan mereka dalam gigil. Banyu menggigit bibir. Rafi memeluk bahunya sendiri.
Mereka menikmati kopi masing-masing sambil duduk berdekatan. Banyu membiarkan sisa api di kompor parafin menyala, walau berkali-kali nyaris padam karena terpaan angin. Bau rumput gunung menyengat dari udara basah yang mereka hirup.
Diam-diam Banyu menunggu Rafi mengatakan sesuatu untuk mencairkan suasana. Tapi, setelah agak lama ternyata Rafi tetap diam saja, Banyu pun jadi tertantang.
“Sebenarnya pendakianku kali ini tergolong nekat.”
Rafi agak terkejut teman barunya yang angkuh dan selalu menjaga jarak ini tiba-tiba membuka percakapan, bukan dengan pertanyaan yang penuh rasa ingin tahu, melainkan dengan pengakuan sukarela.
“Kamu pasti lagi ada masalah.”
“Begitulah. Kamu juga, kan?”
Begitu Banyu mulai sedikit terbuka, Rafi pun langsung terpancing. “Ya, aku memang lagi ada masalah di rumah.”
Banyu merasa baru berhasil memancing harimau dari persembunyiannya di balik semak.
“Apa, kalau boleh tahu?” Banyu berusaha tak terlalu menunjukkan rasa penasaran, tapi ia terlalu buru-buru dan itu membuat Rafi seperti menarik diri lagi.
Rafi diam, dan Banyu menganggap itu sebagai jawaban bahwa ia tak boleh tahu. Sampai di situ, Banyu dan Rafi seperti dua pecatur yang menjajaki strategi yang lain. Mulai ada keterbukaan, tapi masing-masing tak ingin terlalu jujur. Ada batas yang dipertahankan, untuk membuka diri. Satu sama lain seolah telah menandatangani perjanjian untuk menghormati batas itu, dan tak melanggarnya bila memang sudah hampir menyentuhnya.
“Kadang-kadang kita hanya ingin lari sejenak, pergi sejenak, sendirian, tanpa kehadiran orang lain dan suara­suara keramaian,” kata Rafi setelah diam yang lama.
Memang bukan jawaban, tapi itu membuat Banyu menoleh. Ia menunggu lanjutan kata-kata itu. Tapi, setelah agak lama menunggu, tak ada apa-apa lagi. Ternyata Rafi bicara pada dirinya sendiri.
“Kita harus jalan lagi, jangan sampai ketinggalan sunrise di puncak.”

###

Semua terjadi seperti yang diharapkan. Mereka sampai di puncak sesaat sebelum matahari terbit, ketika pucuk­-pucuk edelweiss yang belum mekar masih berselimut kabut dini hari. Tanpa memedulikan rasa letih yang memuncak, Rafi mengeluarkan kamera saku dari ransel. Ia mencari tempat paling tinggi di dataran puncak itu, dan sesaat mengabaikan Banyu. Ia memotret berkali-kali ketika matahari akhirnya muncul di cakrawala timur bagaikan sang yogi yang bangkit dari semadi. Kehangatan mengelus lembut kepala Rafi. Dalam beberapa detik langit seperti terbakar. Warna jingga menyebar.
Ada perasaan mewah menyaksikan segala keindahan alam itu setelah menempuhnya dengan perjalanan berat. Setelah puas, Rafi kembali ke tempat ranselnya berada. Saat itulah ia melihat Banyu, di tepi jurang, berdiri membelakanginya, tanpa baju, menatap lurus ke titik yang jauh. Sesaat Rafi memperhatikan punggung cokelat terang itu, kekar dan bidang. Ia juga menatap lengan Banyu yang mengkal, agak keputih-putihan, terbentuk bukan oleh alat-alat kebugaran, melainkan, Rafi menduga, dari pekerjaan sehari-hari yang membutuhkan tenaga. Rafi mendekat dan berusaha mengabaikan apa yang baru saja memenuhi benaknya.
“Mau foto ya!”
Banyu langsung menoleh. “Jangan, aku lagi nggak pake baju.”
“Nggak papa.”
“Jangan, jangan. Lagian aku nggak suka difoto.”
Rafi tak terganggu penolakan itu. Ia lebih terganggu dengan pemandangan baru tubuh Banyu yang terlihat bagian depannya. Dada dan bahu bidang, perut rata, membuat Rafi tak bisa bersikap wajar. Dan, sepertinya Banyu menyadari kecanggungan Rafi, tapi ia berusaha mengabaikannya.

###

Mereka memuntahkan isi ransel masing-masing, lalu bersama-sama memasak mi, merebus telur, memanaskan air untuk menyeduh kopi. Mereka melakukannya sambil menikmati makanan kecil, biskuit, dan buah. Sehabis menikmati santapan istimewa dan minum kopi, Rafi membuka sepatu dan kaus kaki, juga jaket dan kausnya. Dengan cepat ia berganti kaus baru, lalu melanjutkan makan. Sementara Banyu, dengan secangkir kopi, mengasingkan diri ke tepi jurang di bagian dataran yang rendah.
Rafi membiarkan Banyu. Ia tak mau mengganggunya. Ia sendiri ingin tidur, mengumpulkan kembali tenaga untuk perjalanan turun nanti. Ia menggelar ponco di atas hamparan rumput agak tebal, lalu melapisinya dengan kain pantai yang selalu dibawanya.
Ketika Banyu kembali, ia melihat Rafi tertidur. Ia juga ingin tidur. Sambil menenteng ponco, ia mencari-cari tempat teduh, dan menemukan tempat yang agak tersembunyi, penuh rerimbunan perdu yang agak tinggi. Ia melepas celananya yang basah dan kotor, menyisakan celana dalam di tubuhnya, lalu tidur begitu saja di atas ponco yang digelar di tanah.
Kira-kira satu jam Banyu tidur, dan ketika bangun ia melihat Rafi duduk di sisinya, sibuk dengan kamera sambil makan apel.
“Kok kamu nemu aja tempat ini, asyik banget buat tidur,” Rafi memberondong begitu melihat Banyu terba­ngun.
“Kamu ngapain di sini?”
“Mau apel? Rafi menyodorkan bekas gigitannya.
“Kamu ngapain di sini? Kamu habis motret aku, ya?”
“Ge-er! Aku lagi ngeliatin hasil jepretanku tadi.”
“Bohong! kamu pasti habis moto-moto aku. Hapus nggak?” Banyu berusaha merebut kamera dari tangan Rafi.
Rafi terkejut. Ia masih berharap Banyu hanya bercanda. Tapi, Banyu melanjutkan aksinya dengan lebih kasar. “Kamu mau hapus sendiri atau aku yang hapus?”
“Banyu! Gila kamu ya! Kok bisa sih kamu nuduh aku begitu? Apa yang kamu pikirkan tentang aku?”
Dengan perasaan tersinggung menggumpal di dada, bercampur rasa terhina yang menyakitkan, Rafi meninggalkan Banyu. Ia mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan, memasukkannya asal-asalan ke ransel, lalu buru-buru memakai sepatu, dan bergegas turun. Tak ada yang perlu dipertahankan lagi di sini.

###

Banyu hanya memandangi punggung Rafi yang semakin menjauh, lalu lenyap di jalan setapak yang menurun. Hampir saja Banyu berteriak memanggil, tapi ada kekuatan lebih besar yang membuat suaranya tak keluar. Dan ia senang. Ia lega telah ditinggalkan. Tak perlu lagi sopan santun menjaga perasaan dan sebagainya, yang bikin capek. Bukankah sejak keberangkatan, inilah yang dicarinya? Kesendirian, kesunyian, dan keheningan yang sempurna?
Banyu mencoba menenangkan diri. Ia tak akan menge­jar Rafi. Sekarang baru ia menyadari, lelaki itu memang berhak tersinggung dan marah. Banyu tahu ia harus minta maaf. Saat ini ias membiarkan pikirannya meyakini bahwa Rafi bisa membawa diri. Rafi akan baik-baik saja, dan ia akan bisa mengejarnya, tidak sulit. Ia akan menemukan Rafi, meminta maaf, dan semua akan kembali seperti semula.
Banyu mencari-cari makanan, berlagak tak terjadi apa-apa. Tapi, ia tak bisa menipu diri bahwa hati dan pikirannya sudah tak bisa lagi diajak tenang. Rasa bersalah makin menekan, dan ia ingin segera meminta maaf. Banyu mengemasi barang-barangnya, dan setengah berlari mulai menuruni jalan setapak.
Setelah berjalan hampir satu jam tanpa henti, setengah berlari, kadang meluncur dan seperti melayang, Banyu belum menemukan Rafi. Ia mulai memikirkan kemungkinan buruk. Tapi, ii menghibur diri dengan pikiran bahwa dirinya telah meremehkan Rafi. Mungkin kemarahan telah memberi Rafi kekuatan untuk berjalan melebihi kecepatan normal.
Sampai di bawah, melewati gardu tempat pertama mereka bertemu, Banyu belum juga menjumpai Rafi. Mus­tahil ia secepat itu, pikirnya. Di depan gardu ia berhenti sejenak, dan ada perasaan melankolis ketika ia meman­dangnya. Seolah ada Rafi di sana. Dengan sisa-sisa tenaga yang telah terkuras kegalauan, Banyu meninggalkan gardu, menyeberang jalan, dan masuk ke warung makan.
“Rafi!” pekiknya nyaris tak terkendali begitu matanya menangkap sosok lelaki yang amat dikenalnya walau hanya dari belakang.
Yang dipanggil menoleh, mimiknya antara kaget dan lega, tapi dengan cepat berubah jadi tak acuh dan dingin. Ia bangkit menghampiri perempuan setengah baya pemilik warung. “Sudah, Bu... Berapa?”
Tanpa menunggu kembalian, ia langsung berbalik dan bergegas pergi. Bahunya sempat menyenggol bahu Banyu yang masih tegak berdiri di ambang pintu.
Kali ini, Banyu mengejar. Ia tak berusaha menghentikan Rafi. Ia hanya menjajari dan mengikuti langkahnya.
“Kamu tahu, aku cuma mau minta maaf, jangan kayak anak kecil. Aku mengaku salah dan minta maaf,” ucap Banyu lirih namun penuh penekanan.
“Terserah kamu mau memaafkanku atau tidak, yang jelas aku sudah mengucapkannya.”
Rafi berhenti di sisi jalan. “Ya sudah, nggak ada yang perlu dimaafkan. Aku hanya kesal pada diri sendiri. Lupakan saja. Senang telah melewatkan pendakian bersamamu. Sampai ketemu lain waktu.”
“Kamu mau ke mana?”
“Melanjutkan perjalanan.”
“Ke mana? Pulang ke Jakarta?”
“Enggak. Aku masih punya rencana lain. Tapi belum tahu mau ke mana. Yang jelas aku harus segera pergi dari sini.”
“Baiklah, aku tak akan menahanmu. Tapi, bolehkah aku mencatat nomor kontakmu?”
Mereka bertukar nomor handphone.
“Kabari aku ya,” ujar Banyu sebelum Rafi benar-benar meninggalkannya, masuk ke angkot yang telah menunggu di sisi jalan.
###

Banyu kembali masuk ke warung dan memesan makanan. Ia makan dengan cepat sambil memutuskan akan menginap satu malam lagi di desa itu. Agak sore ia berjalan mencari masjid untuk numpang tidur sebentar. Sesekali ia masih memikirkan Rafi. Kadang jemarinya ingin mengetikkan pesan untuknya, tapi selalu urung. Ia bangun tidur sebelum magrib tiba dan mendapati pesan di HP-nya.
Maaf kalau aku tadi terkesan nggak bersahabat. Sekali lagi kamu nggak salah
Tanpa pikir panjang Banyu membalas dengan cepat.
Kamu dimana?
Karena tak segera ada jawaban, Banyu melupakannya. Dan entah kenapa perasaannya jadi rusuh. Ia mengubah keputusan, tak jadi bermalam di desa itu. Angkot ke terminal kota sudah tak ada. Ia disarankan naik ojek, tapi pasti mahal sekali. Mahal itu ukuran orang desa. Banyu siap membayar berapa pun. Seseorang di masjid mempertemukannya dengan pria yang siap mengantarkannya sampai ke tujuan.
Sambil membonceng motor, Banyu berkali-kali merapatkan jaket, membayangkan rumah. HP di kantongnya bergetar. Tidak, ia tak boleh dan tak akan berharap apa-apa. Cukup. Ia telah menganggap urusan dengan Rafi selesai, tak ada lagi ganjalan, semua sudah dimaafkan bahkan dilupakan, dan mereka akan kembali ke rumah masing-masing, melanjutkan kehidupan masing­-masing.
Banyu baru meraih HP-nya setelah tiba di terminal dan membayar ojek. Rafi. Ada apa lagi? Banyu membuka pesan itu tanpa antusias.
Aku menginap di Hotel Teratai, Jalan Diponegoro 14, Boyolali.
Itu hanya informasi. Jawaban atas pertanyaannya tadi. Bukan undangan. Pasti bukan. Banyu melangkah ke emperen terminal. Ia masih bisa melihat tukang ojek tadi di kejauhan. Tiba-tiba ada yang berubah dalam benaknya. Ia mengejar tukang ojek itu.
“Pak, saya lagi. Tahu alamat ini?” Banyu menunjukkan HP-nya.
“Oh, itu ndak terlalu jauh dari sini, Mas... Mau diantar lagi?”
Banyu langsung naik ke boncengan.

###

Rafi mungkin sudah menduga. Atau, bahkan ia mengharapkannya. Ia mungkin sengaja memancing Banyu. Yang jelas, ketika menemui lelaki itu di lobi, Rafi berusaha bersikap sewajar mungkin. Demikian juga Banyu. Ia tak yakin apa yang dilakukannya, tapi ia merasa itulah yang harus dilakukannya saat ini. Mereka jadi seperti teman lama yang bertemu kembali, saling menunggu siapa yang harus bertanya lebih dulu.
Pada akhirnya, mereka memang sudah bisa melupakan ketegangan sebelumnya. Situasi kembali normal. Rafi tak sungkan menawari Banyu menginap di kamarnya, sebelum besok melanjutkan perjalanan. Banyu menerimanya tanpa basa-basi lagi. Mereka sama sekali tak menyinggung masalah tadi siang di puncak gunung. Mereka mengobrol tentang hal-hal lain dan rencana mereka.
“Kamu mau di sini berapa lama?” tanya Banyu.
“Aku masih punya banyak rencana. Aku pengin ke beberapa kota. Tapi, belum kuputuskan besok atau kapan mau ke mana. Mungkin ke Solo atau Jogja. Bisa juga ke Lawu.”
“Emang kamu nggak kerja, ya?”
“Aku cuti panjang. Kamu sendiri, apa rencanamu? Langsung pulang ke Malang?”
“Dari awal aku memang cuma mau naik gunung, nggak ada rencana lain. Tapi males balik juga. Tadinya mau nginep semalam lagi di desa.”
Pafi ingin mengatakan sesuatu, mengajak Banyu bergabung dalam perjalanannya. Tapi, ia terlalu gengsi untuk mengatakannya dan berharap keinginan itu datang dari Banyu sendiri tanpa diminta. Rafi memancing Banyu dengan tidak mengatakan apa-apa. Tapi, Banyu pun tak bicara lagi. Ada jeda sesaat sebelum akhirnya Rafi mengalihkan pembicaraan.
“Kamu pengin keluar nyari warung kopi, atau mau ngobrol di kamar aja?”
“Aku pengin tidur aja, capek sekali.”
“Oke, kamu bisa tidur di atas. Sori aku ambil yang single bed. Mana aku tahu kamu mau nyusul. Tapi bed­-nya luas kok.”
“Aku tidur di bawah saja.”
Seandainya Banyu bisa membaca pikiran dan isi hati orang, ia akan tahu Rafi kecewa. Tapi, ia tak mau ada masalah lagi. Rafi memberikan selimut tebal dan bantal kepada Banyu.
“Terima kasih,” kata Banyu. Ia melepas baju dan celana panjangnya hingga tersisa celana dalam, lalu langsung meringkuk menyelimuti tubuh sampai menutupi kepala. Tak lama, kepala itu tiba-tiba menyembul.
“Selamat tidur ya,” katanya.
“Selamat tidur juga.”
Banyu memang langsung tidur dalam sekejap. Tapi, Rafi tak bisa tidur. Berkali-kali ia melongok ke bawah, memperhatikan tubuh Banyu yang bergelombang halus dengan embusan napas yang ritmis. Sesekali benaknya kacau ketika mengingat di balik selimut itu ada tubuh tegap yang hanya terbungkus celana dalam. Merasa telah berpikir terlalu jauh, Rafi mengutuk dirinya sendiri.
Paginya, setelah sarapan dan minum kopi, Banyu berpamitan. “Lain kali kita pasti ketemu lagi,” kata Banyu. Rafi tidak yakin akan ada lain kali. Yang ada hanya sekarang. Mereka berpisah dengan cara yang sangat jantan. Tapi, apa pun caranya, Rafi merasakan ada lengang tertinggal.
###

Rafi baru meninggalkan hotel sorenya, setelah seharian berjalan-jalan menyusuri kota kecil yang sepi itu. Ia telah memutuskan akan melanjutkan perjalanan ke Solo. Tapi, semua tak seperti yang ia bayangkan. Ia tahu rencananya sudah berantakan. Rafi tak menyalahkan siapa-siapa. Tapi, kadang-kadang ia ingat Banyu.
Di Solo, Rafi tak langsung jalan-jalan tanpa mencari hotel lebih dulu. Dan terbukti itu keputusan yang tepat. Malam itu juga ia memutuskan ke Jogja. Ia melewatkan malam di alun-alun, Malioboro, memotret panorama malam, siluet Kantor Pos tua, dan benteng peninggalan Belanda yang sunyi. Hati Rafi juga sunyi. Ia menunggu pagi.
Setelah menikmati sarapan nasi pecel di Pasar Bring­harjo, Rafi mencegat taksi, menuju stasiun kereta. Ya, pulang saja. Sudah sepanjang malam ia berpikir, dan pulang adalah jalan terbaik saat ini. Ketika duduk di dalam taksi, Rafi melihat hujan tiba-tiba turun. Hujan pagi hari selalu menerbitkan perasaan sedih. Hujan semakin deras ketika Rafi telah duduk di dalam kereta, menuju Jakarta.
Dari balik jendela, ia menatap kota yang menjadi buram. Rafi ingin tidur lagi. Semalaman ia tak tidur. Gerbong kereta sunyi dan lengang. Banyak kursi kosong. Ia tak ingat telah sampai di kota mana ketika ia akhirnya tertidur. Ia terbangun ketika merasakan getaran HP di kantong celananya.
Akhirnya ke mana, Solo apa Jogja? Nggak mungkin Lawu, kan?
Rafi membaca pesan itu dengan perasaan dingin, lalu meletakkan HP-nya di pangkuan. Ia menyandarkan kepala dan memejamkan mata. HP-nya bergetar lagi. Tanpa gairah, Rafi membuka kembali HP-nya.
Kok diam? Aku pengin nyusul kamu, boleh nggak?
Rafi melemparkan pandangan ke luar jendela. Rumah-rumah menggigil. Terbayang wajah Banyu dalam hujan. Tinggi, kekar, cokelat terang, sepasang alis tebal yang nyaris bertaut, dan tatapan tajam yang menyiratkan rasa ingin tahu melebihi yang sudah diungkapkan. Dimana dia sekarang? Ada kalanya Rafi begitu menginginkan kehadiran lelaki itu. Tapi, ia percaya saat itu sudah lewat. Ia sudah terlalu letih dengan harapannya sendiri. Sekarang saatnya untuk berhenti.
Dengan gerak-gerik penuh keraguan, Rafi memencet tombol-tombol mungil HP-nya. Sekejap, pesan-pesan Banyu hilang dari layar, juga namanya. Lalu ia mematikan benda itu dan memasukkannya ke tas. Dari tas ia meng­ambil kamera. Setelah menyalakannya, ia mencari-cari sesuatu. Tak lama, ia memandangi beberapa foto dengan objek yang sama: Banyu yang tengah tidur nyenyak, di bawah rimbun perdu, di atas gelaran mantel ponco, hanya bercelana dalam.
Agak lama ia memandanginya. Berkali-kali ia berpikir untuk menghapusnya, tapi berkali-kali pula ia mengurung­kan niatnya.


No comments:

Post a Comment