Friday, October 6, 2017

CERPEN : " SHAHERYAR " DALAM BUKU ANTOLOGI "MELUKIS WAJAH"



Julia pernah bilang, cinta pada pandangan pertama hanya diperuntukkan bagi mereka yang beruntung. Mereka yang kurang beruntung, sebaliknya, harus ber­urusan dengan cinta pada pandangan terakhir. Cinta bukan hadir pada saat mereka saling menyapa, ketika berkata “hai” atau “halo”, tetapi justru pada saat mereka harus berpisah dan saling berucap “selamat tinggal”.

“Yang demikian itu sesungguhnya lebih terlambat datangnya daripada penyesalan,” kata Julia.

###

Mereka bertemu untuk yang pertama kali pada suatu pagi di sebuah coffee shop yang ramai di Bandara Internasional Dubai. Coffee shop itu penuh orang yang akan atau telah menempuh perjalanan panjang. Wajah mereka lelah, rambut mereka kusut, pakaian mereka penuh kerut. Lelaki itu baru menempuh penerbangan panjang dari Washington DC, dan tengah menunggu penerbangan lanjutan ke Karachi. Julia baru kembali dari Santorini, dan hendak bertolak menuju Jakarta.
Mereka bertemu di meja di sudut, jauh dari konter yang sibuk. Julia sudah duduk di sana terlebih dahulu, menyesap secangkir kopi hangat. Lelaki itu datang kemudian, dengan koper dan secangkir kopi panas di tangan. Dari kejauhan Julia sudah melihat lelaki itu, dengan jas abu-abu, jeans, dan sepatu hitamnya, memperhatikan lelaki itu mencari-cari meja kosong dengan wajah letih.
Julia tak tahu apa yang membuatnya melambai kepada lelaki asing itu. Biasanya, dalam situasi itu, Julia akan menunduk memandangi kopinya atau membaca buku, menghindari kontak mata dengan siapa pun agar ia tak perlu berbagi meja. Julia tak terlalu suka mengobrol atau beramah-tamah dengan orang asing, apalagi jika ia sendiri lelah.
Lelaki itu menangkap lambaian Julia dari sudut matanya. Ia menoleh dan menyipitkan mata, seakan hendak meyakinkan diri bahwa Julia memang melambai ke arahnya. Julia tersenyum, mengangkat tas, dan memberikan tanda dengan menunjuk bangku kosong di hadapannya. “It’s empty!”(ini kosong) ujarnya tanpa suara, berharap lelaki itu bisa membaca gerak bibirnya.
Wajah lelaki itu berubah cerah. Ia tersenyum, lalu bergegas menuju meja Julia. Ketika sosoknya semakin dekat, Julia berpikir betapa menariknya lelaki berkulit gelap ini. Ada sesuatu dalam pembawaannya yang menawan hati Julia, walau pada saat itu Julia belum tahu apa persisnya.
“Maaf sekali, meja yang lain penuh. Terima kasih karena saya boleh duduk di sini. Semoga saya tidak mengganggu.”
No problem,” ujar Julia, kemudian ketika lelaki itu telah duduk di hadapannya, ia memberanikan diri untuk bertanya. “Indian?
Lelaki itu melepaskan jas dan menyampirkannya di sandaran kursi. “Pakistani,” ujarnya seraya tersenyum.
Julia tersipu.
Pakistan. Sebuah negeri yang jauh, yang tidak pernah didengarnya kecuali dalam berita-berita pengeboman atau terorisme di televisi. Pakistan bukan negeri yang biasa hadir dalam dongeng-dongeng tentang raja, putri, gajah, ular, dan harimau. Julia baru sadar ia nyaris tak tahu apa-apa tentang Pakistan, kecuali tentang pemisahan berdarahnya dari India dan Benazir Bhutto. Tiba-tiba saja, Julia malu karena telah begitu spontannya mengundang lelaki ini untuk duduk di mejanya. Kini, ia bahkan tak tahu lagi harus berkata apa.
Tetapi lelaki itu sudah terlebih dulu mencairkan suasana dengan mengulurkan tangan. “Shaheryar. But you can call me Shah.”
“Julia.”
Jabatan tangan itu singkat, tetapi erat. Dan hangat. Julia suka lelaki dengan jabatan tangan erat. Sesaat, ia merasakan jemarinya yang terasa hangat dalam genggaman lelaki itu. Detik berikutnya, pemikiran lain membuat pipinya bersemu: lelaki itu tidak memakai cincin kawin.
“Pergi? Atau pulang?” tanya Shah.
“Pulang.” Julia tersenyum. “Kamu?”
“Sejujurnya, I don't know for sure,”(saya tidak tahu pasti) jawabnya, tertawa.
Where are you heading?”
“Jakarta, ujar Julia. la menyesap kopinya yang sudah agak dingin seraya mencoba menebak arti tersembunyi di balik jawaban Shah barusan.
“Oh, Indonesia! Dari tadi saya mencoba menebak dari mana kamu berasal. Salah. Tebakan saya Thailand atau Filipina.”
Kini giliran Julia yang tertawa.
“Oh ya, boleh saya tanya sesuatu?” Shah berdeham.
“Silakan.”
Lelaki itu menunjuk brosur yang ada di depan Julia. “Sejak tadi saya penasaran. Kamu melihat-lihat peti mati seperti sedang melihat-lihat katalog tas tangan...”

###

Semasa kecil, Julia tidak pernah punya teman dekat. Anak-anak sebaya menganggapnya pembawa sial, karena ia tinggal di lahan pekuburan jauh di perbukitan yang dikelilingi pohon-pohon rindang, dan selalu diantar ke sekolah dengan mobil jenazah. Aku mengerti apa yang Julia alami. Keadaan tidak lebih baik buatku, sebagai anak lelaki pengemudi mobil jenazah itu.
Tetapi Julia tidak pernah terlihat sedih. Sepertinya ia tidak terlalu peduli. Meskipun anak-anak sebayanya tidak ingin berteman dengan Julia, mereka juga tak pernah mengusiknya. Beberapa dari mereka percaya Julia bisa menjatuhkan kutukan. Mereka membiarkan Julia sendiri, persis seperti yang Julia inginkan.
Sebagai anak tunggal, Julia memang terbiasa dengan kesendirian. Ia tak suka kebisingan. Tak suka anak-anak yang berlarian dan berteriak-teriak keras. Karenanya, tak memiliki teman bukan masalah bagi Julia. Ia mengubur diri dalam kertas-kertas sketsa, mendengarkan musik, dan membaca buku.
Orangtua Julia sering mengasihani anak perempuan mereka, yang tak pernah pergi ke mana-mana, yang tak pernah mengundang kawan-kawan sebaya main ke rumah. Mereka pikir Julia sedih dan kesepian. Karenanya, orangtua Julia sering menyuruhku menemani Julia dan mengajaknya bermain. Tetapi Julia tidak terlalu membutuhkan teman. Ia sudah senang dan penuh berada dalam dunianya sendiri. Sering kali, aku justru berpikir Julia-lah yang menemaniku, duduk membaca di rerumputan, sementara aku bermain layang-layang, dan bukan sebaliknya.
Masa-masa ketika Julia duduk di sekolah menengah atas, keadaan berubah. Rumah pemakaman dan daerah perbukitan milik orangtua Julia berkembang pesat menjadi daerah pemakaman elite. Mereka mengeruk tanah dan membuat danau buatan, membangun restoran mewah dan kolam renang, kapel, masjid, juga kompleks khusus untuk pagoda-pagoda Cina. Jalan setapak dibuat dengan rerumputan cantik dan bunga-bungaan, juga lampu-lampu menggantung seperti dalam film tahun lima puluhan. Dan akhirnya, sebuah wastu yang cantik, terdiri atas lima belas kamar, dengan ruangan tengah dan dapur yang luar biasa besar, tempat tamu-tamu dari jauh yang hendak melayat dapat menginap selama beberapa waktu.
Perbukitan itu telah mengubah pemakaman yang suram menjadi tempat pemakaman paling mewah di kota. Orang-orang kaya dan terpandang sudah menyewa slot tanah di sana sebelum mereka meninggal dunia, bahkan memesan kapling untuk anak-anak mereka kelak. Wastu cantik bergaya tropis Mediterania yang tadinya hanya digunakan untuk tempat tinggal mereka yang hendak melayat, kini juga sering didatangi mereka yang hendak mencari kesunyian tanpa perlu pergi jauh-jauh dari kota. Ada beberapa penulis terkenal yang sering tinggal di sini selama satu atau dua bulan, menulis dikelilingi sunyi, rerumputan, pohon cemara, kabut, dan danau di kejauhan.
Tiba-tiba, Julia menjelma dari anak pekuburan aneh menjadi anak perempuan kaya raya yang tinggal di salah satu daerah paling elite di kota. Banyak anak-anak perempuan maupun lelaki yang mulai mencoba berteman dengannya. Tetapi Julia tetap bergeming. Ia memang tidak pernah membutuhkan teman.
Ketika kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan mobil, Julia mengambil alih taman pemakaman itu pada usia 25 tahun dan memintaku menangani urusan manajemen.
Setahun kemudian, ia bertemu Shaheryar.

###

“Peti mati ini harganya lima ribu dolar,” ujar Julia seraya menunjukkan brosur peti mati yang sedang dilihatnya kepada Shah. “Tutupnya diukir seorang seniman di Santorini. Klien saya meminta dikubur dalam peti ini ketika ia meninggal nanti. Berat peti ini enam puluh kilogram. Bisa dibayangkan betapa mahal ongkos kirimnya. Don't you think it's ironic?”(jangan anda pikir ini ironis)
What is?” tanya Shaheryar.
All this.” Julia mengangkat bahu seraya menatap brosur peti mati itu. “Di tempat saya, pemakaman dipersiapkan dengan begitu khusyuk, begitu indah. Nisan yang bersih, rerumputan dan tanah gembur, air mawar, peti mati berukir, bangku-bangku cantik, bunga-bunga segar yang baru dipetik malam sebelumnya, bingkai foto yang diukir dengan presisi, upacara dengan makanan berlimpah, juga wine dan sampanye terbaik. Di kota yang sama, seorang ayah harus membawa mayat anak perempuannya ke atas kereta komuter yang penuh berjejal untuk dimakamkan di kampungnya karena di sini tak punya biaya untuk menguburkannya. Ketika turun di stasiun, ia ditangkap polisi karena ada orang yang melaporkannya berkeliaran membawa-bawa mayat.”
“Saya mengerti maksudmu.” Shah mengangguk pelan. “Di Balochistan, dekat perbatasan Pakistan dengan Afghanistan, orang ditemukan mati tergantung di cabang-cabang pohon. Di Quetta, anak-anak muda diantarkan tak bernyawa ke pintu rumah orangtua mereka, dengan badan lebam-lebam dan anggota tubuh hilang. Tidak semua orang bisa sebegitu beruntung meninggal dunia dengan indah. In the way they want to.”(dalam cara yang mereka inginkan)
“Sebagian orang bilang saya murah hati, karena 2,5 persen keuntungan rumah pemakaman saya diperuntukkan bagi taman pemakaman umum di kampung-kampung sekitar. Agar orang-orang yang sakit jiwa, melarat, pemulung yang mati tanpa nama, bisa dimakamkan dengan layak. Kenyataannya, saya bukannya murah hati. Ini hanya cara saya untuk tidak merasa terlalu bersalah. Tidakkah kamu pikir hidup bisa sangat kejam, kadang-kadang?”
Shah menatap Julia dalam-dalam, lalu tersenyum. “Ya, tetapi hidup bisa juga sangat ramah. Seperti hari ini. Ia mempertemukan saya denganmu.” Lalu lelaki itu meletakkan telapak tangannya yang hangat di atas punggung tangan Julia.
“How do you want your funeral to be like?”
Saat itu, kopi Julia sudah lama habis. Ia bisa saja meninggalkan coffee shop itu. Tetapi sesuatu mengenai Shah menariknya seperti magnet, memaksanya tetap tinggal.
Shah menatap Julia lekat-lekat dengan terkejut, tapi kemudian lelaki itu tertawa. “Kita baru kenal beberapa menit dan kamu sudah hendak merancang upacara kematian saya?”
Julia ikut tertawa. “Saya selalu percaya, mengetahui bagaimana seseorang ingin dimakamkan bisa memberi­tahukan banyak hal tentang orang itu.”
Really? Interesting.” Shah menyesap kopinya dan tersenyum. “May I hear yours first?”
“Sabtu pagi. Tanah dan rerumputan basah sehabis hujan. Sedikit angin, membawa wangi pandan dari kejauhan. Langit cerah, matahari bersinar hangat. Burung-burung terbang. Serombongan kawan dengan pakaian warna-warni. Mereka membawa gitar. Mungkin juga jus jeruk dan wine. Mereka akan duduk-duduk di sekitar makam, menggelar tikar, menyanyi, berdansa, membacakan karya Keats dan Plath sampai sore. Lalu mereka menggambar dan menandatangani nisan sebelum pulang. Your turn.”
Shah tertawa. “Wow! Impressive. Saya harus berpikir lebih lama. Tidak setiap hari ada orang yang menanyakan hal semacam ini.” Ia mencubit-cubit bibir bawahnya.

Julia baru menyadari betapa tampan lelaki ini ketika ia tertawa. Kulitnya yang gelap. Matanya yang dalam. Rambutnya yang bergelombang. Wajahnya yang persegi dan berkesan serius.
“Mungkin sesuatu yang sepi,” kata Shah akhirnya. “Langit mendung. Sedikit gerimis. Hanya ada satu-dua orang yang datang. Meninggalkan bunga di atas nisan. Lalu orang itu akan duduk di sana, di bawah pohon rindang yang menaungi makam. Mungkin melukis, membaca buku, atau bercakap-cakap dengan saya. Daun-daun jatuh di sekitar mata kakinya. Begitu saja.”
That's such a lonely one,”(itu seperti kesepian) kata Julia.
Well, yours is such a mess.”(memang, kamu itu berantakan)
Lalu mereka berdua tertawa terbahak-bahak.

###

Hari itu, Shaheryar meninggalkan Julia terlebih dahulu. Penerbangan ke Karachi dua jam lebih cepat daripada penerbangan Julia ke Jakarta. Mereka berdiri di depan gerbang keberangkatan. Julia merasakan sesuatu menge­jang di dalam perutnya. Ia tidak ingin kehilangan lelaki ini, lelaki yang baru dikenalnya selama beberapa jam, tetapi telah meninggalkan seumur hidup dalam benaknya.
Shah mengertakkan rahang ketika panggilan terakhir diumurnkan lewat pengeras suara. Ia mengusap rambut Julia, lembut. “May I give you a hug?” tanyanya sambil mengembangkan kedua lengan. Julia mengangguk. Shah merengkuh Julia ke dalam pelukannya. Saat itu semua terasa natural. Seperti seharusnya. Julia membalas pelukan itu erat. Detik berikutnya, bibir mereka bertemu. Ciuman itu hangat. Lama. Dan terasa begitu nyaman. Familier. As if it's meant to be.
Julia bilang, saat itulah ia tahu bahwa mereka berdua, ia dan Shaheryar, adalah humsafar. Kekasih. Belahan jiwa. Teman hidup. Kawan seperjalanan.

###

“Aku melihat serpihan kursi dan tempat tidur di jalanan,” ujar Shaheryar dengan napas terengah-engah. Suaranya nyaris tertelan kebisingan di latar belakang: orang-orang berbicara dan menjerit, sirene meraung-raung, juga gemeresik sambungan internasional. “I'll call you back, okay? I love you.”
Julia mendekap telepon genggam itu di dadanya, kemudian menyalakan televisi. Al-Jazeera tengah menayangkan siaran langsung mengenai pemberontak Taliban yang menabrakkan mobil berisi 300 kilogram bahan peledak ke rumah pejabat kepolisian di Karachi, Pakistan. Delapan orang tewas dalam serangan bom bunuh diri itu. Julia melihat jalanan yang dipenuhi debu, blok-blok semen, pecahan kaca, serpihan kayu, dan lubang besar yang menganga di tempat bom meledak. Sekelompok polisi, rangers, dan wartawan yang menjepretkan kamera berseliweran di latar belakang.
Julia mendekatkan wajah ke layar televisi, mencoba mencari Shah. Tetapi sosok lelaki itu tidak kelihatan. Rasanya Julia ingin mengirimkan pesan singkat kepada Shah, menyuruh lelaki itu mendekati kamera Al-Jazeera agar Julia bisa melihatnya di televisi, live. Tetapi rasanya tak pantas dan terlalu egois dalam situasi seperti itu.
Julia membiarkan televisi menyala, kemudian pergi ke dapur untuk membuat secangkir kopi. Pukul setengah sebelas pagi di Jakarta, pukul setengah delapan pagi di Karachi. Julia bertanya-tanya apakah Shah sempat minum kopi pagi itu. Sebagai editor di koran berbahasa Inggris di Karachi, Shah biasa berangkat ke kantor pada pukul tujuh malam dan pulang pada pukul empat atau lima pagi. Ia akan mengendarai mobilnya pelan-pelan, lalu berhenti sesekali untuk memotret langit dan matahari terbit. Foto-foto inilah yang akan dikirimkannya kepada Julia melalui e-mail begitu ia sampai di flatnya, tak jauh dari stadion kriket.
Selama beberapa jam setiap pagi, mereka akan berbincang lewat Internet; hingga sekitar pukul sebelas waktu Jakarta - ketika Julia harus undur diri untuk menyiapkan makan siang bagi tamu-tamu wastu.
“Kapan kalian akan bertemu lagi?” tanyaku siang itu. “Sudah hampir setahun, ya?”
Julia tersenyum seraya mencuci dua ikat bayam di bawah keran. “Ketika waktunya tiba,” katanya.

###

Aku baru mengetahui hal ini kemudian hari: Julia dan Shah, keduanya tidak pernah bertemu lagi.
Pagi itu gelap. Sudah hampir dua bulan berlalu setelah peristiwa ledakan bom itu. Di luar hujan. Seperti biasa, Julia terbangun pada pukul setengah lima pagi. Ia mencuci muka dengan air dingin, mematikan lampu di beranda depan, lalu pergi ke dapur untuk membuat kopi - menyesapnya pelan-pelan sambil mengecek pesan­-pesan di layar komputer portabelnya. Tagihan-tagihan. Penawaran penyediaan batu nisan. Dan sebuah pesan. Dari Pakistan. Dikirimkan sekitar tengah malam.
Jahanzaib adalah rekan kerja Shah di Tribune. Ia menemukan Julia lewat sebuah buku catatan di laci meja Shah. Ada surat-surat yang dituliskan untuk Julia di sana. Tiga ratus tiga puluh enam surat yang diberi tanggal dengan rapi; satu untuk setiap hari. Pesan-pesan yang selalu diawali dengan kata Jaan dan ditandatangani dengan Humsafar. Surat-surat yang tidak pernah dikirimkan.
Jahanzaib minta maaf. Ia telanjur membuka dan membaca beberapa surat itu - sebelum akhirnya mengerti. Buku catatan Shah itu akan segera dikirimkannya kepada Julia melalui pos pagi-pagi sekali.
Kemudian barulah ia menyampaikan kabar itu kepada Julia. Saya turut berdukacita atas kehilanganmu, tulis Jahanzaib.
Ada pihak-pihak yang tak suka dengan tulisan-tulisan Shah. Belakangan, Shah semakin sering mengangkat perihal pergerakan kaum nasionalis Baloch di Khuzdar. Sudah ada tujuh wartawan yang terbunuh di Balochistan. Dua hari yang lalu, Shah menjadi yang kedelapan. Ia ditemukan tewas di tepi sungai di distrik Kech, dengan dua luka tembakan di dadanya. Kemarin jenazahnya dibawa pulang ke Karachi dan dimakamkan di Qayyumabad.
Sebelum mengakhiri e-mailnya, Jahanzaib mengatakan bahwa esok siang ia akan mengemasi barang-barang Shah ke dalam kardus. Bersama Pemimpin Redaksi Tribune, ia akan mengantarkan barang-barang itu dan menyerahkannya kepada istri Shah; yang juga tengah berdukacita di flat mereka di Federal-B-Area.

###

Seberapa banyakkah yang benar-benar kita ketahui tentang orang yang kita cintai? Kata Julia, sering kali, hanya sedikit. Sedikit sekali. Menariknya, semakin lama kita menghabiskan waktu bersama orang yang kita cintai, semakin sedikit kita merasa mengenalnya. Kebiasaan-kebiasaannya menjadi sedemikian dekat. Hal-hal kecil yang familier. Tetapi beberapa hal penting menjadi semakin jauh dan berpagar: impian, keinginan, hasrat, rahasia.
In the end, even your loved ones are strangers.( Pada akhirnya, bahkan orang yang Anda cintai adalah orang asing)
Waktu itu senja hari. Gerimis mulai turun. Aku membantu Julia menggali lubang di titik paling tinggi perbu­kitan - tepat di bawah pohon rindang. Ke dalamnya, Julia menguburkan sebuah buku catatan bersampul kulit berwarna cokelat tua.
Setelah aku menimbun dan memadatkan tanah di sisi­ sisinya, yang tertinggal hanyalah gundukan kecil. Julia menaruh nisan kecil di atasnya, juga setangkai bunga matahari. Ia memegang payung di tangan kiri dan buku bacaan di tangan kanan.
Sering aku bertanya, seberapa banyak sesungguhnya yang kuketahui tentang Julia. Seberapa banyak sisi dirinya yang ia perlihatkan kepadaku.
Hari itu, aku meninggalkan Julia duduk di sana seharian. Demikian pula pada hari-hari berikutnya. Bulan-bulan berikutnya. Tahun-tahun berikutnya. Frekuensinya memang semakin jarang, tapi Julia masih suka duduk di sana sesekali. Menatap langit. Membaca. Atau belakangan, belajar melukis dengan cat air. Bahkan setelah kami menikah tiga tahun kemudian, aku masih bisa menemukan Julia di sana, ketika langit tengah menurunkan gerimis.

1 comment:

  1. Slots Casino Resort - JamBase
    Check out our 전주 출장샵 selection of slot machines and the newest 울산광역 출장안마 table 이천 출장샵 games. 통영 출장샵 Slots Casino Resort is your ideal home base 과천 출장안마 for dining, gaming and entertainment. Visit the

    ReplyDelete