Julia pernah bilang, cinta pada pandangan pertama hanya
diperuntukkan bagi mereka yang beruntung. Mereka yang kurang beruntung,
sebaliknya, harus berurusan dengan cinta pada pandangan terakhir. Cinta bukan
hadir pada saat mereka saling menyapa, ketika berkata “hai” atau “halo”, tetapi
justru pada saat mereka harus berpisah dan saling berucap “selamat tinggal”.
“Yang demikian itu sesungguhnya lebih
terlambat datangnya daripada penyesalan,” kata Julia.
###
Mereka bertemu untuk yang pertama kali pada suatu pagi di
sebuah coffee shop yang ramai di
Bandara Internasional Dubai. Coffee shop
itu penuh orang yang akan atau telah menempuh perjalanan panjang. Wajah mereka
lelah, rambut mereka kusut, pakaian mereka penuh kerut. Lelaki itu baru
menempuh penerbangan panjang dari Washington DC, dan tengah menunggu
penerbangan lanjutan ke Karachi. Julia baru kembali dari Santorini, dan hendak
bertolak menuju Jakarta.
Mereka bertemu di meja di sudut, jauh dari
konter yang sibuk. Julia sudah duduk di sana terlebih dahulu, menyesap
secangkir kopi hangat. Lelaki itu datang kemudian, dengan koper dan secangkir
kopi panas di tangan. Dari kejauhan Julia sudah melihat lelaki itu, dengan jas
abu-abu, jeans, dan sepatu hitamnya, memperhatikan lelaki itu mencari-cari meja
kosong dengan wajah letih.
Julia tak tahu apa yang membuatnya melambai
kepada lelaki asing itu. Biasanya, dalam situasi itu, Julia akan menunduk
memandangi kopinya atau membaca buku, menghindari kontak mata dengan siapa pun
agar ia tak perlu berbagi meja. Julia tak terlalu suka mengobrol atau
beramah-tamah dengan orang asing, apalagi jika ia sendiri lelah.
Lelaki itu menangkap lambaian Julia dari
sudut matanya. Ia menoleh dan menyipitkan mata, seakan hendak meyakinkan diri
bahwa Julia memang melambai ke arahnya. Julia tersenyum, mengangkat tas, dan
memberikan tanda dengan menunjuk bangku kosong di hadapannya. “It’s empty!”(ini kosong) ujarnya tanpa suara, berharap
lelaki itu bisa membaca gerak bibirnya.
Wajah lelaki itu berubah cerah. Ia tersenyum,
lalu bergegas menuju meja Julia. Ketika sosoknya semakin dekat, Julia berpikir
betapa menariknya lelaki berkulit gelap ini. Ada sesuatu dalam pembawaannya
yang menawan hati Julia, walau pada saat itu Julia belum tahu apa persisnya.
“Maaf sekali, meja yang lain penuh. Terima
kasih karena saya boleh duduk di sini. Semoga saya tidak mengganggu.”
“No
problem,” ujar Julia, kemudian ketika lelaki itu telah duduk di hadapannya,
ia memberanikan diri untuk bertanya. “Indian?
Lelaki itu melepaskan jas dan
menyampirkannya di sandaran kursi. “Pakistani,”
ujarnya seraya tersenyum.
Julia tersipu.
Pakistan. Sebuah negeri yang jauh, yang
tidak pernah didengarnya kecuali dalam berita-berita pengeboman atau terorisme
di televisi. Pakistan bukan negeri yang biasa hadir dalam dongeng-dongeng
tentang raja, putri, gajah, ular, dan harimau. Julia baru sadar ia nyaris tak
tahu apa-apa tentang Pakistan, kecuali tentang pemisahan berdarahnya dari India
dan Benazir Bhutto. Tiba-tiba saja, Julia malu karena telah begitu spontannya
mengundang lelaki ini untuk duduk di mejanya. Kini, ia bahkan tak tahu lagi
harus berkata apa.
Tetapi lelaki itu sudah terlebih dulu
mencairkan suasana dengan mengulurkan tangan. “Shaheryar. But you can call me Shah.”
“Julia.”
Jabatan tangan itu singkat, tetapi erat. Dan
hangat. Julia suka lelaki dengan jabatan tangan erat. Sesaat, ia merasakan
jemarinya yang terasa hangat dalam genggaman lelaki itu. Detik berikutnya,
pemikiran lain membuat pipinya bersemu: lelaki itu tidak memakai cincin kawin.
“Pergi? Atau pulang?” tanya Shah.
“Pulang.” Julia tersenyum. “Kamu?”
“Sejujurnya, I don't know for sure,”(saya
tidak tahu pasti) jawabnya, tertawa.
“Where
are you heading?”
“Jakarta, ujar Julia. la menyesap kopinya
yang sudah agak dingin seraya mencoba menebak arti tersembunyi di balik jawaban
Shah barusan.
“Oh, Indonesia! Dari tadi saya mencoba
menebak dari mana kamu berasal. Salah. Tebakan saya Thailand atau Filipina.”
Kini giliran Julia yang tertawa.
“Oh ya, boleh saya tanya sesuatu?” Shah
berdeham.
“Silakan.”
Lelaki itu menunjuk brosur yang ada di depan
Julia. “Sejak tadi saya penasaran. Kamu melihat-lihat peti mati seperti sedang
melihat-lihat katalog tas tangan...”
###
Semasa kecil, Julia tidak pernah punya teman dekat. Anak-anak
sebaya menganggapnya pembawa sial, karena ia tinggal di lahan pekuburan jauh di
perbukitan yang dikelilingi pohon-pohon rindang, dan selalu diantar ke sekolah
dengan mobil jenazah. Aku mengerti apa yang Julia alami. Keadaan tidak lebih
baik buatku, sebagai anak lelaki pengemudi mobil jenazah itu.
Tetapi Julia tidak pernah terlihat sedih.
Sepertinya ia tidak terlalu peduli. Meskipun anak-anak sebayanya tidak ingin
berteman dengan Julia, mereka juga tak pernah mengusiknya. Beberapa dari mereka
percaya Julia bisa menjatuhkan kutukan. Mereka membiarkan Julia sendiri, persis
seperti yang Julia inginkan.
Sebagai anak tunggal, Julia memang terbiasa
dengan kesendirian. Ia tak suka kebisingan. Tak suka anak-anak yang berlarian
dan berteriak-teriak keras. Karenanya, tak memiliki teman bukan masalah bagi
Julia. Ia mengubur diri dalam kertas-kertas sketsa, mendengarkan musik, dan
membaca buku.
Orangtua Julia sering mengasihani anak
perempuan mereka, yang tak pernah pergi ke mana-mana, yang tak pernah
mengundang kawan-kawan sebaya main ke rumah. Mereka pikir Julia sedih dan
kesepian. Karenanya, orangtua Julia sering menyuruhku menemani Julia dan
mengajaknya bermain. Tetapi Julia tidak terlalu membutuhkan teman. Ia sudah
senang dan penuh berada dalam dunianya sendiri. Sering kali, aku justru
berpikir Julia-lah yang menemaniku, duduk membaca di rerumputan, sementara aku
bermain layang-layang, dan bukan sebaliknya.
Masa-masa ketika Julia duduk di sekolah
menengah atas, keadaan berubah. Rumah pemakaman dan daerah perbukitan milik
orangtua Julia berkembang pesat menjadi daerah pemakaman elite. Mereka mengeruk
tanah dan membuat danau buatan, membangun restoran mewah dan kolam renang,
kapel, masjid, juga kompleks khusus untuk pagoda-pagoda Cina. Jalan setapak
dibuat dengan rerumputan cantik dan bunga-bungaan, juga lampu-lampu menggantung
seperti dalam film tahun lima puluhan. Dan akhirnya, sebuah wastu yang cantik,
terdiri atas lima belas kamar, dengan ruangan tengah dan dapur yang luar biasa
besar, tempat tamu-tamu dari jauh yang hendak melayat dapat menginap selama
beberapa waktu.
Perbukitan itu telah mengubah pemakaman yang
suram menjadi tempat pemakaman paling mewah di kota. Orang-orang kaya dan
terpandang sudah menyewa slot tanah di sana sebelum mereka meninggal dunia,
bahkan memesan kapling untuk anak-anak mereka kelak. Wastu cantik bergaya
tropis Mediterania yang tadinya hanya digunakan untuk tempat tinggal mereka
yang hendak melayat, kini juga sering didatangi mereka yang hendak mencari
kesunyian tanpa perlu pergi jauh-jauh dari kota. Ada beberapa penulis terkenal
yang sering tinggal di sini selama satu atau dua bulan, menulis dikelilingi
sunyi, rerumputan, pohon cemara, kabut, dan danau di kejauhan.
Tiba-tiba, Julia menjelma dari anak
pekuburan aneh menjadi anak perempuan kaya raya yang tinggal di salah satu
daerah paling elite di kota. Banyak anak-anak perempuan maupun lelaki yang
mulai mencoba berteman dengannya. Tetapi Julia tetap bergeming. Ia memang tidak
pernah membutuhkan teman.
Ketika kedua orangtuanya meninggal dalam
kecelakaan mobil, Julia mengambil alih taman pemakaman itu pada usia 25 tahun
dan memintaku menangani urusan manajemen.
Setahun kemudian, ia bertemu Shaheryar.
###
“Peti mati ini harganya lima ribu dolar,” ujar Julia seraya
menunjukkan brosur peti mati yang sedang dilihatnya kepada Shah. “Tutupnya
diukir seorang seniman di Santorini. Klien saya meminta dikubur dalam peti ini
ketika ia meninggal nanti. Berat peti ini enam puluh kilogram. Bisa dibayangkan
betapa mahal ongkos kirimnya. Don't you
think it's ironic?”(jangan anda
pikir ini ironis)
“What
is?” tanya Shaheryar.
“All
this.” Julia mengangkat bahu seraya menatap brosur peti mati itu. “Di
tempat saya, pemakaman dipersiapkan dengan begitu khusyuk, begitu indah. Nisan
yang bersih, rerumputan dan tanah gembur, air mawar, peti mati berukir,
bangku-bangku cantik, bunga-bunga segar yang baru dipetik malam sebelumnya,
bingkai foto yang diukir dengan presisi, upacara dengan makanan berlimpah, juga
wine dan sampanye terbaik. Di kota
yang sama, seorang ayah harus membawa mayat anak perempuannya ke atas kereta
komuter yang penuh berjejal untuk dimakamkan di kampungnya karena di sini tak
punya biaya untuk menguburkannya. Ketika turun di stasiun, ia ditangkap polisi
karena ada orang yang melaporkannya berkeliaran membawa-bawa mayat.”
“Saya mengerti maksudmu.” Shah mengangguk
pelan. “Di Balochistan, dekat perbatasan Pakistan dengan Afghanistan, orang
ditemukan mati tergantung di cabang-cabang pohon. Di Quetta, anak-anak muda
diantarkan tak bernyawa ke pintu rumah orangtua mereka, dengan badan
lebam-lebam dan anggota tubuh hilang. Tidak semua orang bisa sebegitu beruntung
meninggal dunia dengan indah. In the way
they want to.”(dalam cara yang
mereka inginkan)
“Sebagian orang bilang saya murah hati,
karena 2,5 persen keuntungan rumah pemakaman saya diperuntukkan bagi taman
pemakaman umum di kampung-kampung sekitar. Agar orang-orang yang sakit jiwa,
melarat, pemulung yang mati tanpa nama, bisa dimakamkan dengan layak.
Kenyataannya, saya bukannya murah hati. Ini hanya cara saya untuk tidak merasa
terlalu bersalah. Tidakkah kamu pikir hidup bisa sangat kejam, kadang-kadang?”
Shah menatap Julia dalam-dalam, lalu
tersenyum. “Ya, tetapi hidup bisa juga sangat ramah. Seperti hari ini. Ia mempertemukan
saya denganmu.” Lalu lelaki itu meletakkan telapak tangannya yang hangat di
atas punggung tangan Julia.
“How
do you want your funeral to be like?”
Saat itu, kopi Julia sudah lama habis. Ia bisa
saja meninggalkan coffee shop itu.
Tetapi sesuatu mengenai Shah menariknya seperti magnet, memaksanya tetap
tinggal.
Shah menatap Julia lekat-lekat dengan
terkejut, tapi kemudian lelaki itu tertawa. “Kita baru kenal beberapa menit dan
kamu sudah hendak merancang upacara kematian saya?”
Julia ikut tertawa. “Saya selalu percaya, mengetahui
bagaimana seseorang ingin dimakamkan bisa memberitahukan banyak hal tentang
orang itu.”
“Really?
Interesting.” Shah menyesap kopinya
dan tersenyum. “May I hear yours first?”
“Sabtu pagi. Tanah dan rerumputan basah
sehabis hujan. Sedikit angin, membawa wangi pandan dari kejauhan. Langit cerah,
matahari bersinar hangat. Burung-burung terbang. Serombongan kawan dengan
pakaian warna-warni. Mereka membawa gitar. Mungkin juga jus jeruk dan wine. Mereka akan duduk-duduk di sekitar
makam, menggelar tikar, menyanyi, berdansa, membacakan karya Keats dan Plath
sampai sore. Lalu mereka menggambar dan menandatangani nisan sebelum pulang. Your turn.”
Shah tertawa. “Wow! Impressive. Saya harus berpikir lebih lama. Tidak setiap hari
ada orang yang menanyakan hal semacam ini.” Ia mencubit-cubit bibir bawahnya.
Julia baru menyadari betapa tampan lelaki
ini ketika ia tertawa. Kulitnya yang gelap. Matanya yang dalam. Rambutnya yang
bergelombang. Wajahnya yang persegi dan berkesan serius.
“Mungkin sesuatu yang sepi,” kata Shah
akhirnya. “Langit mendung. Sedikit gerimis. Hanya ada satu-dua orang yang
datang. Meninggalkan bunga di atas nisan. Lalu orang itu akan duduk di sana, di
bawah pohon rindang yang menaungi makam. Mungkin melukis, membaca buku, atau
bercakap-cakap dengan saya. Daun-daun jatuh di sekitar mata kakinya. Begitu
saja.”
“That's
such a lonely one,”(itu seperti
kesepian) kata Julia.
“Well,
yours is such a mess.”(memang,
kamu itu berantakan)
Lalu mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
###
Hari itu, Shaheryar meninggalkan Julia terlebih dahulu.
Penerbangan ke Karachi dua jam lebih cepat daripada penerbangan Julia ke
Jakarta. Mereka berdiri di depan gerbang keberangkatan. Julia merasakan sesuatu
mengejang di dalam perutnya. Ia tidak ingin kehilangan lelaki ini, lelaki yang
baru dikenalnya selama beberapa jam, tetapi telah meninggalkan seumur hidup
dalam benaknya.
Shah mengertakkan rahang ketika panggilan
terakhir diumurnkan lewat pengeras suara. Ia mengusap rambut Julia, lembut. “May I give you a hug?” tanyanya sambil
mengembangkan kedua lengan. Julia mengangguk. Shah merengkuh Julia ke dalam
pelukannya. Saat itu semua terasa natural. Seperti seharusnya. Julia membalas
pelukan itu erat. Detik berikutnya, bibir mereka bertemu. Ciuman itu hangat.
Lama. Dan terasa begitu nyaman. Familier. As
if it's meant to be.
Julia bilang, saat itulah ia tahu bahwa
mereka berdua, ia dan Shaheryar, adalah humsafar.
Kekasih. Belahan jiwa. Teman hidup. Kawan seperjalanan.
###
“Aku melihat serpihan kursi dan tempat tidur di jalanan,”
ujar Shaheryar dengan napas terengah-engah. Suaranya nyaris tertelan kebisingan
di latar belakang: orang-orang berbicara dan menjerit, sirene meraung-raung,
juga gemeresik sambungan internasional. “I'll
call you back, okay? I love you.”
Julia mendekap telepon genggam itu di
dadanya, kemudian menyalakan televisi. Al-Jazeera tengah menayangkan siaran
langsung mengenai pemberontak Taliban yang menabrakkan mobil berisi 300
kilogram bahan peledak ke rumah pejabat kepolisian di Karachi, Pakistan.
Delapan orang tewas dalam serangan bom bunuh diri itu. Julia melihat jalanan
yang dipenuhi debu, blok-blok semen, pecahan kaca, serpihan kayu, dan lubang
besar yang menganga di tempat bom meledak. Sekelompok polisi, rangers, dan
wartawan yang menjepretkan kamera berseliweran di latar belakang.
Julia mendekatkan wajah ke layar televisi,
mencoba mencari Shah. Tetapi sosok lelaki itu tidak kelihatan. Rasanya Julia
ingin mengirimkan pesan singkat kepada Shah, menyuruh lelaki itu mendekati
kamera Al-Jazeera agar Julia bisa melihatnya di televisi, live. Tetapi rasanya tak pantas dan terlalu egois dalam situasi
seperti itu.
Julia membiarkan televisi menyala, kemudian
pergi ke dapur untuk membuat secangkir kopi. Pukul setengah sebelas pagi di
Jakarta, pukul setengah delapan pagi di Karachi. Julia bertanya-tanya apakah
Shah sempat minum kopi pagi itu. Sebagai editor di koran berbahasa Inggris di
Karachi, Shah biasa berangkat ke kantor pada pukul tujuh malam dan pulang pada
pukul empat atau lima pagi. Ia akan mengendarai mobilnya pelan-pelan, lalu
berhenti sesekali untuk memotret langit dan matahari terbit. Foto-foto inilah
yang akan dikirimkannya kepada Julia melalui e-mail begitu ia sampai di
flatnya, tak jauh dari stadion kriket.
Selama beberapa jam setiap pagi, mereka akan
berbincang lewat Internet; hingga sekitar pukul sebelas waktu Jakarta - ketika
Julia harus undur diri untuk menyiapkan makan siang bagi tamu-tamu wastu.
“Kapan kalian akan bertemu lagi?” tanyaku siang
itu. “Sudah hampir setahun, ya?”
Julia tersenyum seraya mencuci dua ikat
bayam di bawah keran. “Ketika waktunya tiba,” katanya.
###
Aku baru mengetahui hal ini kemudian hari: Julia dan Shah,
keduanya tidak pernah bertemu lagi.
Pagi itu gelap. Sudah hampir dua bulan
berlalu setelah peristiwa ledakan bom itu. Di luar hujan. Seperti biasa, Julia
terbangun pada pukul setengah lima pagi. Ia mencuci muka dengan air dingin,
mematikan lampu di beranda depan, lalu pergi ke dapur untuk membuat kopi - menyesapnya
pelan-pelan sambil mengecek pesan-pesan di layar komputer portabelnya.
Tagihan-tagihan. Penawaran penyediaan batu nisan. Dan sebuah pesan. Dari
Pakistan. Dikirimkan sekitar tengah malam.
Jahanzaib adalah rekan kerja Shah di
Tribune. Ia menemukan Julia lewat sebuah buku catatan di laci meja Shah. Ada
surat-surat yang dituliskan untuk Julia di sana. Tiga ratus tiga puluh enam
surat yang diberi tanggal dengan rapi; satu untuk setiap hari. Pesan-pesan yang
selalu diawali dengan kata Jaan dan
ditandatangani dengan Humsafar.
Surat-surat yang tidak pernah dikirimkan.
Jahanzaib minta maaf. Ia telanjur membuka
dan membaca beberapa surat itu - sebelum akhirnya mengerti. Buku catatan Shah
itu akan segera dikirimkannya kepada Julia melalui pos pagi-pagi sekali.
Kemudian barulah ia menyampaikan kabar itu
kepada Julia. Saya turut berdukacita atas kehilanganmu, tulis Jahanzaib.
Ada pihak-pihak yang tak suka dengan
tulisan-tulisan Shah. Belakangan, Shah semakin sering mengangkat perihal
pergerakan kaum nasionalis Baloch di Khuzdar. Sudah ada tujuh wartawan yang
terbunuh di Balochistan. Dua hari yang lalu, Shah menjadi yang kedelapan. Ia ditemukan
tewas di tepi sungai di distrik Kech, dengan dua luka tembakan di dadanya.
Kemarin jenazahnya dibawa pulang ke Karachi dan dimakamkan di Qayyumabad.
Sebelum mengakhiri e-mailnya, Jahanzaib
mengatakan bahwa esok siang ia akan mengemasi barang-barang Shah ke dalam
kardus. Bersama Pemimpin Redaksi Tribune, ia akan mengantarkan barang-barang
itu dan menyerahkannya kepada istri Shah; yang juga tengah berdukacita di flat
mereka di Federal-B-Area.
###
Seberapa banyakkah yang benar-benar kita ketahui tentang
orang yang kita cintai? Kata Julia, sering kali, hanya sedikit. Sedikit sekali.
Menariknya, semakin lama kita menghabiskan waktu bersama orang yang kita
cintai, semakin sedikit kita merasa mengenalnya. Kebiasaan-kebiasaannya menjadi
sedemikian dekat. Hal-hal kecil yang familier. Tetapi beberapa hal penting
menjadi semakin jauh dan berpagar: impian, keinginan, hasrat, rahasia.
In the
end, even your loved ones are strangers.( Pada
akhirnya, bahkan orang yang Anda cintai adalah orang asing)
Waktu itu senja hari. Gerimis mulai turun.
Aku membantu Julia menggali lubang di titik paling tinggi perbukitan - tepat
di bawah pohon rindang. Ke dalamnya, Julia menguburkan sebuah buku catatan
bersampul kulit berwarna cokelat tua.
Setelah aku menimbun dan memadatkan tanah di
sisi sisinya, yang tertinggal hanyalah gundukan kecil. Julia menaruh nisan
kecil di atasnya, juga setangkai bunga matahari. Ia memegang payung di tangan
kiri dan buku bacaan di tangan kanan.
Sering aku bertanya, seberapa banyak
sesungguhnya yang kuketahui tentang Julia. Seberapa banyak sisi dirinya yang ia
perlihatkan kepadaku.
Hari itu, aku meninggalkan Julia duduk di
sana seharian. Demikian pula pada hari-hari berikutnya. Bulan-bulan berikutnya.
Tahun-tahun berikutnya. Frekuensinya memang semakin jarang, tapi Julia masih
suka duduk di sana sesekali. Menatap langit. Membaca. Atau belakangan, belajar
melukis dengan cat air. Bahkan setelah kami menikah tiga tahun kemudian, aku
masih bisa menemukan Julia di sana, ketika langit tengah menurunkan gerimis.
Slots Casino Resort - JamBase
ReplyDeleteCheck out our 전주 출장샵 selection of slot machines and the newest 울산광역 출장안마 table 이천 출장샵 games. 통영 출장샵 Slots Casino Resort is your ideal home base 과천 출장안마 for dining, gaming and entertainment. Visit the