Suatu hari,
mereka, Zul, Alif, Lailah, Zaki barengan berjalan menuju ke warung coto setelah
pulang sekolah. Sambil berjalan Zaki angkat bicara.
“Apa kita akan
kerja terus?” Agak pelan Zul, ALif mendengarnya, hanya diam sedang Laila
berbalik menatap Zaki menunggu kelanjutan bicaranya.
“Besok-besok kita
akan UN. Kita harusnya belajar…!!, ajak Zaki yang membuat ketiganya terhenti
melangkah dan berbalik menatap Zaki.
“Aku paham
Zaki”. Ali member jedah.
“Aku memiliki
tabungan, tidak banyak sih, akan kuberikan ke Baso”.
“Aku juga”, seru
Laila. Alif mengayun sepakat sedang Zaki tidak berkata apa-apa. Ia tampaknya
menjalaninya setengah-setengah.
“Dengan ini
mungkin bias membantu Baso”, kata Alif.
Sesampainya di
warung coto merekapun masuk. Mereka melihat Baso sendiri di warung. Belum
sempat mereka ke tempat tugasnya, Baso berkata agak Keas:
”Terima kasih
atas batuannya … teman-teman, kata Baso, Alif, Zaki, Laila, Zul terkejut.
Mereka menerka apa maksud perkataan Baso.
“Tapi … sudah
cukup. Tidak perlu kalian membantu”
“Apa maksudmu”,
kata Alif.
“Kamu jangan bicara
pelat aja”, seru Zul setelah tahu arah pembicaraan Baso.
“Gue sudah
bicara sama Dg. Kule tentang ini”.
“Jadi kalian
tidak usah dating membantu. Kalian seharusnya belajar hadapi UN”, panjang lebar
Baso. Mereka yang mendengarnya hatinya bergemuruh, entah apa sedang Baso sedang
berapi-api. Laila mendekati Baso.
“Baso, kami
ingin member kamu!”, agak pelan.
Baso berpikir
keras entah alas an apalagi yang harus dikatakannya. Baso tidak mau menerima
bantuan terus orang lain. Sedang orang tersebut harus belajar mnghadapi UN.
Lagi pula pantang dibantu Baso telah menekuni siri’ (malu) dalam dirinya. Ia akan menghadapi sendiri dengan siri’. Ia yakin bisa sendiri melaluinya.
Zul hendak
mendekati Baso dan mengatakan rencananya dan teman-teman untuk membantu dengan
tabungan mereka untuk menutupi biaya rumah sakit dan SPPnya. Namun Baso keburu
mendorong mereka keluar warung sambil berkata:
“Terima kasih, …
terima kasih”.
“Sudah … ni ya
…”, itu saja yang dikatakan sedang yang lain tak sempat berkata-kata dan tanpa
sadar mereka telah di luar warung. Baso pun menutup pintu warung dan
menguncinya.
Mereka berjalan
pelan sedang Baso di dalam pintu warung berusaha menahan air mata yang telah di
pelupuk matanya.
“Maafkan aku
teman-teman”, seding Baso. Ia terpaksa melakukannya untuk kebaikan bersama.
Mereka masih
berjalan sepi. Laila menangis tersedu memecah kebisuan mereka.
“Baso … kejam ya
…”. Zaki berkata tak jelas karena ikut menangis. Alif yang dari tadi menahan
air matanya akhirnya keluar juga. Zul sedih pula. Mereka sadar memang berat
memang. Baso telah memilih untuk tidak dibantu. Sebenarnya tingkah kasar BAso
itu tidak membuat sedih. Ini memang pilihan terbaik.
***
Belum selesai
sedih Baso HPnya berbunyi. Baso mengangkat HP sederhananya itu dan mendengarkan
yang menelpon, ternyata itu dari seorang yang mengaku dari rumah sakit tempat
ayahnya dirawat. Katanya, sakit ayahnya kian parah. Iapun disuruh dating ke
rumah sakit secepatnya.
Dengan berlari,
Baso menuju ke rumah sakit. Ketakutannya akan kehilangan ayah satu-satunya merasuk.
Ia tak bisa membayangkan dirinya bila kehilangan ayahnya yang ia saying itu.
Justru ia membayangkan banyaknya kesalahan-kesalahan yang ia perbuat yang
terkadang membuat ayahnya malu.
Dengan
terengah-engah ia masuk ke rumah sakit menuju kamar ayahnya yang dirawat.
Sampainya di depan kamar yang ia cari, ia langsung membuka pintu dan
serta-merta melihat kea rah tempat tidur. Ia melihat ayahnya terbaring dengan
pulas. Ia juga tidak melihat dokter ataupun perawat yang menanakan sakit
ayahnya tambah parah. Justru ia melihat sosok laki-laki yang agak tua berumur
40-an yang berjas dan berdasi.
“Ayah …”, Baso
mendekat memegang tangan ayahnya. Ia tidak menemukan tanda-tanda bahwa ayahnya
sakit parah namun ayahnya masih saja tertidur nyenyak.
“Baso …!”
“Kau sudah besar
ya?”, seru memecah kebingungan Baso. Baso tahu jawaban kebingungannya ada pada
orang yang di depan samping ayahnya.
“Siapa …?” Baso
menerka-nerka siapa yang ada di hadapan. Ia teringat seseorang bila melihat
wajahnya, wajah yang telah lama memang.
“Aku Om Sudi …
Daeng Ngale …”. Terjawab sudah kebingungan.
Setahu Baso, Om
Sudi yang biasa dipanggil Daeng Ngale terakhir dilihat ketika umurnya masih SD.
Entah kenapa ia baru muncul setelah sekian lama menghilang. Ia pun tahu kalau
orang yang tadi menelpon adalah Daeng Ngale sendiri. Sepertinya ada hal penting
yang mau disampaikan, sampai-sampai ia harus berbohong kepadanya.
“Mungkin kau
terkejut dengan kedatanganku kemari”.
Ia … sudah lama
sekali yah …”. Baso Basi Daeng Ngale. Ia lalu menatap agak lama ayah Baso yang
sambil berpikir entah apa, lalu bersuara.
“Aku ingin
sedikit bercerita tentang ayahmu … dan …”. Daeng Ngale member jedahtampak
tertahan, lalu.
“… ibumu …!”,
sambung Baso memperhatikan. Ada gemuruh di hatinya yang tak tertahankan seakan
ada hal beda.
“Kau tahu ayahmu
di masa mudah? Dia adalah salah seorang Raja Gowa. Ia seorang bangsawan yang
terpandang. Sedang ibumu hanyalah seorang gadis baik hati, dari keluarga
biasa-biasa saja. Beda jauh dengan ayahmu dari segi materi. Sama hal pula
karakternya, ayahmu tipikal keras, tegas dan disiplin sedang ibumu orangnya
lembut dan baik budi. Perbedaan itu tidak membuat mereka tidak saling memiliki
cinta di antara mereka. Setelah mereka berdua, ayah ibumu lulus SMA, ayah ibumu
pun menyatakan cinta melalui pernikahan. Namun ketika ayahmu memperlihatkan
ibumu kepada kakekmu, kakekmu menolak karena mengetahi bahwa keluarga ibumu
tidak terpandang. Waktu itu, katanya ayahmu marah besar.kalau bukan ayahmua,
maka ayahmu sudah membalas keluargaku. Ia menaikkan budinya, budinya pula,
membanting gelas dan mengiltimalu akan: pernikahan tidak akan pernah terjadi.
Ayahmu, walaupun begitu, ia bersih keras ingin menikahi ibumu karena cinta.
Begitu besarnya cinta, tetapi ayahmu tidak buta akan cinta. Ia tidak mau
melakukan perzinahan atau pacaran. Rasa budaya ketimuran tetap ia jaga. Ia
hanya ingin menikah baik-baik dengan ibumu. Maka ayahmu pun mendatangi orang
tua ibumu dengan penuh kejujuran. Ayahmu menjelaskan, tetapi justru ayah ibumu
menolak mentah-mentah setelah mengetahui penolakan keluarga ayahmu. Ia menebas
badiknya di depan ayahmu. Dia tidak rela keluarganya menjadi bahan ejekan dan hinaan nanti di suku Bugis. Namun ibumu
bersih keras ingin menikah dengan ibumu. Ayah ibumu bingung jika mereka
tersiksa. Keluarga ayahmu menolak karena alasan status sosial sedang ibumu
menolak karena membela siri’
(kehormatan). Hamper-hampir terjadi konflik antar keluarga sampai masalah
menyerempet suku konflik. Untungnya om datang menenangkan ayah ibumu karena
memang om adalah kakak ibumu. Sehingga tidak terjadi konflik antar suku. Aku
merasa iba melihat penderitaan ayah ibumu maka aku datangi keluarga ayahmu
tanpa mengaku bila bahwa aku adalah kakak ibumu dengan mengaku teman ayahmu.
Kelihaianku berbicara aku berhasil meyakinkan keluarga ayahmu, bahwa ayahmu
akan melupakan ibumu dengan pergi ke Makassar untuk kuliah. Maka akupun leluasa
menyampaikan memuluskan rencana untuk menikah di Makassar. Ayah dan ibumu
begitu gembira mendengarnya. Dengan bantuanku, ayah dan ibumu silariang ke Makassar. Dalam proses ke
Makassar, akupun menjadi wali ibumu mewakili keluarga ibumu. Aku sempat
menyampaikan nenek ibumu tentang pernikahan anaknya dan berjanji tidak
menyampaikan ke kakekmu”.
“sehingga
lahirlah engkau, Baso”. Baso mendengarkan panjang lebar kisah selama ini yang
menjadi rahasia keluarganya. Tapi ia bertanya-tanya, lalu kenapa ibunya
meninggalkan dirinya dan ayahnya.
“Aku datang
tidak sendiri. Aku bersama ibumu”.
Jantung Baso
berdetak cepat. Matanya belalak melihat sosok yang membuka pintu. Ia melihat
seorang perempuan separoh baya dengan jilbab panjang dan rapi, matanya telah
basah dari tadi. Ia tak lain ibu Baso. Dengan terburu-buru ia memeluk Baso
dengan kasih saying seorang ibu, begitu juga Baso. Ada rasa bending tak
terbendung. Matanya kini basah pula.
“Kenapa ibu baru
muncul”. Tanya Baso sambil menghapus air matanya. Ibunya menyeka pipinya yang
basah, rasanya ia ingin menumpahkan hal yang sebenarnya.
“Maafkan ibu,
nak!” suara agak jelas tetapi Baso paham karena suaranya serak. Ibu Baso
bercerita, ketika menikah berjalannya waktu, ayah Baso membangun usaha awal
dengan semangat hingga dapat berkembang pesat. Namun ia tak berjalan mulus.
Uang di tangan tidak cukup untuk hidup berdua. Bermula dari kontrakan
sederhana, ibu harus berhemat dari transport sampai makan. Sampai ayah ibu Baso
sakit, harus datang menjenguknya, justru di saat itu masa-masa krisis
perusahaan ayah Baso. Karena desakan keluarga untuk datang ke kampong, ibu Baso
tidak sempat memberi tahu ayah Baso”, panjang lebar ibu Baso menjelaskan.
Ibu Baso lalu
menatap ayah Baso yang tak lain adalah suaminya. Ia teringat perkataannya kita
selesai menikah dan amat perjuangan … sabarki
de’”. Yang kita lakukan benar, mereka yang berpikir anak kecil, suatu saat
mereka akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah …, percayalah de’ … insya Allah kita akan melewati
semuanya”. Kenang ibu Baso, lalu menatap Baso dan berkata:
“Kau sama
seperti ayahmu, tegas dan berpendirian. Kamu mewarisi sifat orang
Bugis-Makassar, budaya siri’, tetapi
tetap bijak dan jujur”, puji ibunya kepada anaknya. Perkataan ibunya itu
membuat Baso bersemangat. Rasa takut dan cemas menjalani sulitnya hidup sirna
seketika. Baso pun bertekat untuk belajar menghadapi UN. Tentunya tak lupa juga
meminta maaf telah kejam kepada temannya. Sebagai maafnya, ia akan mentraktir
makan coto di warung Dg. Kule.
***
TAMAT
No comments:
Post a Comment