Saturday, September 2, 2017

CINTA DALAM SEMANGKOK COTO (2-selesai)



Suatu hari, mereka, Zul, Alif, Lailah, Zaki barengan berjalan menuju ke warung coto setelah pulang sekolah. Sambil berjalan Zaki angkat bicara.

“Apa kita akan kerja terus?” Agak pelan Zul, ALif mendengarnya, hanya diam sedang Laila berbalik menatap Zaki menunggu kelanjutan bicaranya.

“Besok-besok kita akan UN. Kita harusnya belajar…!!, ajak Zaki yang membuat ketiganya terhenti melangkah dan berbalik menatap Zaki.
“Aku paham Zaki”. Ali member jedah.
“Aku memiliki tabungan, tidak banyak sih, akan kuberikan ke Baso”.
“Aku juga”, seru Laila. Alif mengayun sepakat sedang Zaki tidak berkata apa-apa. Ia tampaknya menjalaninya setengah-setengah.
“Dengan ini mungkin bias membantu Baso”, kata Alif.
Sesampainya di warung coto merekapun masuk. Mereka melihat Baso sendiri di warung. Belum sempat mereka ke tempat tugasnya, Baso berkata agak Keas:
”Terima kasih atas batuannya … teman-teman, kata Baso, Alif, Zaki, Laila, Zul terkejut. Mereka menerka apa maksud perkataan Baso.
“Tapi … sudah cukup. Tidak perlu kalian membantu”
“Apa maksudmu”, kata Alif.
“Kamu jangan bicara pelat aja”, seru Zul setelah tahu arah pembicaraan Baso.
“Gue sudah bicara sama Dg. Kule tentang ini”.
“Jadi kalian tidak usah dating membantu. Kalian seharusnya belajar hadapi UN”, panjang lebar Baso. Mereka yang mendengarnya hatinya bergemuruh, entah apa sedang Baso sedang berapi-api. Laila mendekati Baso.
“Baso, kami ingin member kamu!”, agak pelan.
Baso berpikir keras entah alas an apalagi yang harus dikatakannya. Baso tidak mau menerima bantuan terus orang lain. Sedang orang tersebut harus belajar mnghadapi UN. Lagi pula pantang dibantu Baso telah menekuni siri’ (malu) dalam dirinya. Ia akan menghadapi sendiri dengan siri’. Ia yakin bisa sendiri melaluinya.
Zul hendak mendekati Baso dan mengatakan rencananya dan teman-teman untuk membantu dengan tabungan mereka untuk menutupi biaya rumah sakit dan SPPnya. Namun Baso keburu mendorong mereka keluar warung sambil berkata:
“Terima kasih, … terima kasih”.
“Sudah … ni ya …”, itu saja yang dikatakan sedang yang lain tak sempat berkata-kata dan tanpa sadar mereka telah di luar warung. Baso pun menutup pintu warung dan menguncinya.
Mereka berjalan pelan sedang Baso di dalam pintu warung berusaha menahan air mata yang telah di pelupuk matanya.
“Maafkan aku teman-teman”, seding Baso. Ia terpaksa melakukannya untuk kebaikan bersama.
Mereka masih berjalan sepi. Laila menangis tersedu memecah kebisuan mereka.
“Baso … kejam ya …”. Zaki berkata tak jelas karena ikut menangis. Alif yang dari tadi menahan air matanya akhirnya keluar juga. Zul sedih pula. Mereka sadar memang berat memang. Baso telah memilih untuk tidak dibantu. Sebenarnya tingkah kasar BAso itu tidak membuat sedih. Ini memang pilihan terbaik.
***
Belum selesai sedih Baso HPnya berbunyi. Baso mengangkat HP sederhananya itu dan mendengarkan yang menelpon, ternyata itu dari seorang yang mengaku dari rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Katanya, sakit ayahnya kian parah. Iapun disuruh dating ke rumah sakit secepatnya.
Dengan berlari, Baso menuju ke rumah sakit. Ketakutannya akan kehilangan ayah satu-satunya merasuk. Ia tak bisa membayangkan dirinya bila kehilangan ayahnya yang ia saying itu. Justru ia membayangkan banyaknya kesalahan-kesalahan yang ia perbuat yang terkadang membuat ayahnya malu.
Dengan terengah-engah ia masuk ke rumah sakit menuju kamar ayahnya yang dirawat. Sampainya di depan kamar yang ia cari, ia langsung membuka pintu dan serta-merta melihat kea rah tempat tidur. Ia melihat ayahnya terbaring dengan pulas. Ia juga tidak melihat dokter ataupun perawat yang menanakan sakit ayahnya tambah parah. Justru ia melihat sosok laki-laki yang agak tua berumur 40-an yang berjas dan berdasi.
“Ayah …”, Baso mendekat memegang tangan ayahnya. Ia tidak menemukan tanda-tanda bahwa ayahnya sakit parah namun ayahnya masih saja tertidur nyenyak.
“Baso …!”
“Kau sudah besar ya?”, seru memecah kebingungan Baso. Baso tahu jawaban kebingungannya ada pada orang yang di depan samping ayahnya.
“Siapa …?” Baso menerka-nerka siapa yang ada di hadapan. Ia teringat seseorang bila melihat wajahnya, wajah yang telah lama memang.
“Aku Om Sudi … Daeng Ngale …”. Terjawab sudah kebingungan.
Setahu Baso, Om Sudi yang biasa dipanggil Daeng Ngale terakhir dilihat ketika umurnya masih SD. Entah kenapa ia baru muncul setelah sekian lama menghilang. Ia pun tahu kalau orang yang tadi menelpon adalah Daeng Ngale sendiri. Sepertinya ada hal penting yang mau disampaikan, sampai-sampai ia harus berbohong kepadanya.
“Mungkin kau terkejut dengan kedatanganku kemari”.
Ia … sudah lama sekali yah …”. Baso Basi Daeng Ngale. Ia lalu menatap agak lama ayah Baso yang sambil berpikir entah apa, lalu bersuara.
“Aku ingin sedikit bercerita tentang ayahmu … dan …”. Daeng Ngale member jedahtampak tertahan, lalu.
“… ibumu …!”, sambung Baso memperhatikan. Ada gemuruh di hatinya yang tak tertahankan seakan ada hal beda.
“Kau tahu ayahmu di masa mudah? Dia adalah salah seorang Raja Gowa. Ia seorang bangsawan yang terpandang. Sedang ibumu hanyalah seorang gadis baik hati, dari keluarga biasa-biasa saja. Beda jauh dengan ayahmu dari segi materi. Sama hal pula karakternya, ayahmu tipikal keras, tegas dan disiplin sedang ibumu orangnya lembut dan baik budi. Perbedaan itu tidak membuat mereka tidak saling memiliki cinta di antara mereka. Setelah mereka berdua, ayah ibumu lulus SMA, ayah ibumu pun menyatakan cinta melalui pernikahan. Namun ketika ayahmu memperlihatkan ibumu kepada kakekmu, kakekmu menolak karena mengetahi bahwa keluarga ibumu tidak terpandang. Waktu itu, katanya ayahmu marah besar.kalau bukan ayahmua, maka ayahmu sudah membalas keluargaku. Ia menaikkan budinya, budinya pula, membanting gelas dan mengiltimalu akan: pernikahan tidak akan pernah terjadi. Ayahmu, walaupun begitu, ia bersih keras ingin menikahi ibumu karena cinta. Begitu besarnya cinta, tetapi ayahmu tidak buta akan cinta. Ia tidak mau melakukan perzinahan atau pacaran. Rasa budaya ketimuran tetap ia jaga. Ia hanya ingin menikah baik-baik dengan ibumu. Maka ayahmu pun mendatangi orang tua ibumu dengan penuh kejujuran. Ayahmu menjelaskan, tetapi justru ayah ibumu menolak mentah-mentah setelah mengetahui penolakan keluarga ayahmu. Ia menebas badiknya di depan ayahmu. Dia tidak rela keluarganya menjadi bahan ejekan  dan hinaan nanti di suku Bugis. Namun ibumu bersih keras ingin menikah dengan ibumu. Ayah ibumu bingung jika mereka tersiksa. Keluarga ayahmu menolak karena alasan status sosial sedang ibumu menolak karena membela siri’ (kehormatan). Hamper-hampir terjadi konflik antar keluarga sampai masalah menyerempet suku konflik. Untungnya om datang menenangkan ayah ibumu karena memang om adalah kakak ibumu. Sehingga tidak terjadi konflik antar suku. Aku merasa iba melihat penderitaan ayah ibumu maka aku datangi keluarga ayahmu tanpa mengaku bila bahwa aku adalah kakak ibumu dengan mengaku teman ayahmu. Kelihaianku berbicara aku berhasil meyakinkan keluarga ayahmu, bahwa ayahmu akan melupakan ibumu dengan pergi ke Makassar untuk kuliah. Maka akupun leluasa menyampaikan memuluskan rencana untuk menikah di Makassar. Ayah dan ibumu begitu gembira mendengarnya. Dengan bantuanku, ayah dan ibumu silariang ke Makassar. Dalam proses ke Makassar, akupun menjadi wali ibumu mewakili keluarga ibumu. Aku sempat menyampaikan nenek ibumu tentang pernikahan anaknya dan berjanji tidak menyampaikan ke kakekmu”.
“sehingga lahirlah engkau, Baso”. Baso mendengarkan panjang lebar kisah selama ini yang menjadi rahasia keluarganya. Tapi ia bertanya-tanya, lalu kenapa ibunya meninggalkan dirinya dan ayahnya.
“Aku datang tidak sendiri. Aku bersama ibumu”.
Jantung Baso berdetak cepat. Matanya belalak melihat sosok yang membuka pintu. Ia melihat seorang perempuan separoh baya dengan jilbab panjang dan rapi, matanya telah basah dari tadi. Ia tak lain ibu Baso. Dengan terburu-buru ia memeluk Baso dengan kasih saying seorang ibu, begitu juga Baso. Ada rasa bending tak terbendung. Matanya kini basah pula.
“Kenapa ibu baru muncul”. Tanya Baso sambil menghapus air matanya. Ibunya menyeka pipinya yang basah, rasanya ia ingin menumpahkan hal yang sebenarnya.
“Maafkan ibu, nak!” suara agak jelas tetapi Baso paham karena suaranya serak. Ibu Baso bercerita, ketika menikah berjalannya waktu, ayah Baso membangun usaha awal dengan semangat hingga dapat berkembang pesat. Namun ia tak berjalan mulus. Uang di tangan tidak cukup untuk hidup berdua. Bermula dari kontrakan sederhana, ibu harus berhemat dari transport sampai makan. Sampai ayah ibu Baso sakit, harus datang menjenguknya, justru di saat itu masa-masa krisis perusahaan ayah Baso. Karena desakan keluarga untuk datang ke kampong, ibu Baso tidak sempat memberi tahu ayah Baso”, panjang lebar ibu Baso menjelaskan.
Ibu Baso lalu menatap ayah Baso yang tak lain adalah suaminya. Ia teringat perkataannya kita selesai menikah dan amat perjuangan … sabarki de’”. Yang kita lakukan benar, mereka yang berpikir anak kecil, suatu saat mereka akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah …, percayalah de’ … insya Allah kita akan melewati semuanya”. Kenang ibu Baso, lalu menatap Baso dan berkata:
“Kau sama seperti ayahmu, tegas dan berpendirian. Kamu mewarisi sifat orang Bugis-Makassar, budaya siri’, tetapi tetap bijak dan jujur”, puji ibunya kepada anaknya. Perkataan ibunya itu membuat Baso bersemangat. Rasa takut dan cemas menjalani sulitnya hidup sirna seketika. Baso pun bertekat untuk belajar menghadapi UN. Tentunya tak lupa juga meminta maaf telah kejam kepada temannya. Sebagai maafnya, ia akan mentraktir makan coto di warung Dg. Kule.
***

TAMAT

No comments:

Post a Comment