Baso merasa
bersyukur mendapat pekerjaan sebagai pelayan warung Coto Makassar ini, yang
merupakan makanan khas kota ini. Warung coto milik Dg. Kule hanya memiliki
pegawai tetap 2 orang saja. Dg. Kule sendiri merintis warung belum genap
setahun. Oleh karenanya, Baso langsung diterima dengan gaji yang cukup menarik.
Dg. Kule memahami kondisi Baso ketika dating melamar kerja di tempatnya.
Jam baru
menunjukkan 06:30 tetapi Baso telah berangkat lebih awal. Sebelum sampai ke
sekolah, Baso singgah dulu menitip bumbu coto yang akan diolahnya jam 9 pagi.
Di warung Dg. Kule masih membaca Koran paginya. Ia pun menitip barangnya. Belum
selesai keluar di warung, ia dikejutkan teman-teman yang datang.
Dg. Klue, bila
kita butuh banyak tenaga karena ada pesanan dari instansi swasta yang terkenal
sampai 100 porsi. Dg. Kule tidak sempat meminta bantuan dari koleganya atau
dari keluarga karena kesibukannya. Tiba-tiba ada suara.
“Kami boleh
membantu”, kata itu memecah kesunyian Baso melihat temannya Zul, Alif, Laila,
dan Zaki. Suara yang ia sangat kenal itu suara Zul. Teman kelas yang dating
tampaknya Laila telah menyebarkannya. Laila malu-malu pada Baso, padahal ia
sudah berjanji untuk member tahu. Karena teman-teman mendesak bertanya-tanya,
jadinya teman-teman ingin membantu Baso.
Dg. Kule
menyambut gembia tawaran itu. Tapi Baso berkata lain.
“kalian kan harus belajar untuk hadapi UN?”
“Tidak masaha”,
seru Alif.
“Yang penting
dulu kami bantu ya”, jelas Zul.
Dg. Kule pun
menyuruh pegawainya yang satu untuk mengajarkan secara singkat apa-apa tugas
mereka, mulai memotong-motong sayur dan daging, beli bahan, menumbuk bumbu
sebelum magrib itu harus selesai 100 porsi. Dengan kerja keras bersama akhirnya
berhasil 100 porsi, walaupun dengan teman-teman. Baso terkadang melakukan kesalahan-kesalahan
kecil namun ia tak menyurutkan semangat mereka membantiu Zaki.
Dg. Kule amat
senang keberhasilan para pegawai barunya itu. Dg. Kule pun memberinya gaji.
Tapi kata mereka gaji mereka diserahkan semua sama Baso.
Dg. Kule pun
menawarkan kerja partnya pada mereka selayaknya seperti Baso. Mereka pun dengan
suka rela mau menerimanya. Jadinya beberapa mereka membantu warung coto itu
dengan gaji yang diberikan Baso.
***
Guru-guru
gempar, gempar bukan terjadi masalah anak murid mereka terlibat narkoba atau
perbuatan criminal yang tidak mungkin pada sekolah yang terpencil itu,
melainkan karena mengetahui bahwa beberapa siswa telah menjadi pegawai warung
coto.
“Pak Arif, anda
wali kelas XII IPA 1?”
“Apa yang anda
lakukan setelah tahu berapa murid anda kerja di warung coto itu?” marah Pak
Ambo kepada Pak Arifsibuk mencek absen siswanya. Pak arif hanya diam menatap
Pak Ambo yang berprofesi guru olahraga itu.
“Apa salahnya
sih menjadi pegawai di warung coto?” Seru ibu Rati.
“Kenapa ikut
membelanya”, potong Pak Azis di samping Pak Ambo.
“Mereka itu anak
orang kaya. Kalau orang tuanya tahu kalau anaknya kerja di sana?”
“Untuk apa kerja
di sana?” Tanya Pak Azis.
“Mereka kerja
suka rela untuk Baso!” Seru Pak Azis.
Guru-guru yang
mendengarkan terkejut. Tak menyangka guru-guru berekspresi diam saja.
Sebenarnya mereka telah mendengar kalau ada seorang siswa yang orang tuanya
sakit dan butuh biaya. Apalagi uang SPP selama 3 bulan belum dibayar.
Cuman yang
menjadi masalah mereka sudah kelas 3, sebentar lagi UN. Saya khawatir
pelajarannya terganggu dan mereka bias tidak lulus. Guru-guru pn paham
kondisinya. Memang sulit memilih antara belajar atau harus bekerja terlebih
mereka harus belajar menghadapi UN serta membantu teman.
BERSAMBUNG......
No comments:
Post a Comment