Perempuan itu berdiri di muka jendela kamarnya. Menatap awan-awan menghiasi gelap malam di luar sana. Ia berharap pada awan-awan itu yang akan menjatuhkan harapanya yaitu hujan. Karena ketika hujan reda maka lelaki itu pasti datang. Lelaki itu yang telah berjanji akan menjemputnya. Telinganya menangkap suara-suara riuh di ruang utama. Para tetua adat yang terdiri dari karaeng-karaeng berembuk membentuk lingkaran untuk bermusyawarah tentang prosesi syukuran esok hari, yang merupakan wujud kesyukuran atas hasil panen yang melimpah tahun ini. Di ruangan lain, para wanita dusun mandalle, Desa borimantangkasa tak kalah sibuk. Ucapan kegembiraan dan tawa terdengar dari mulut-mulut mereka, menemani percakapan di sela kesibukan membenahi sisa persiapan hari yang telah di tetapkan.
Besse, begitu perempuan itu biasa di sapa. Dia jatuh cinta untuk pertama kali pada seorang lelaki hujan. Seorang mahasiswa calon guru agama yang telah melakukan KKN di desanya. Lelaki itu tidak terlalu tampan. Tapi Besse suka setiap kali mendengar suara merdunya melantunkan azan yang biasa terdengar dari corong-corong mesjid suku bugis, selepas matahari membenamkan seluruh tubuhnya di balik tebing cakrawala.
Lelaki itu tinggal bersama teman-temannya di sebuah rumah tak berpenghuni milik ketua desa yang berada tak berapa jauh dari kediaman keluarga Besse. Berawal dari permohonan menyediakan makanan bagi mahasiswa-mahasiswa KKN yang tengah melakukan tugas pengambdian masyarakat sebagai bagian dari kelulusan akademik mereka. Karena besse adalah salah satu remaja putri di desanya yang orangtuanya adalah tokoh di desa, mereka jadi sering bersua. Tapi lelaki itu terlalu acuh pada perempuan, terlalu dingin pada Besse. Tidak seperti Aris, salah seorang temannya yang selalu membawa kamera minidivi, yang selalu mencuri-curi waktu berdua dengannya pada setiap pagi, siang dan petang, saat Besse mengantarkan makanan kepada mahasiswa-mahasiswa itu.
Suara riuh penuh syukur di ruang utama, seolah jadi penanda bahwa penentuan siapa pemuda-pemuda yang mengawali prosesi syukuran nanti telah disepakati. Pemuda-pemuda terpilih adalah pemuda yang di kenal taat pada leluhur adat dan agama mereka. Pemuda-pemuda yang cukup disegani oleh seluruh dusun di desa.
Malam merayap cepat. Waktu terus berjalan. Namun hujan tak muncul dan Lelaki itu tak juga tiba. Besse pun harus meneguk kecewa lagi.
***
“Mengapa basse masih saja menantinya?” gugat Asia teman besse setelah tahu, alasan besse tak memiliki waktu untuk membantu warga.
“Karena dia sudah berjanji.”
“Tapi Besse kamu punya dunia sendiri, kamu berhak untuk bahagia.”
“Kebahagiaanku hanya bersamanya .”
“jadi kamu masih berharap kepadanya?”
“Lebih dari sekedar berharap, asia”
“Meski hanya kesia-siaan yang mungkin engkau dapatkan?”
“Tak ada yang sia-sia dalam hidup ini.”
“apa kau Tidak merasa kalau lelaki itu nanti telah pula mencari wanita lain di kotanya?”
besse tak membuka suara. Sementara, baru saja Awan yang di tunggunya sampai dan sudah lama basse menanti awan itu menurunkan hujannya. Tapi kenapa awan enggan menurunkan hujan lagi. Sedang di tempat lain, hujan rajin menyapa kerinduan di dusun yang tanahnya kering karena kemarau. Besse tertunduk menenggelamkan wajahnya. Sinar keemasannya sedikit meredup. Asia tak lagi merasa perlu bertanya.
***
“lihat langit itu” lalu Besse melihat langit itu lagi yang di tunjuknya. Tampak langit mendung dan sesekali gerimis mengenai mereka. Mereka duduk dipisahkan jarak dua langkah kaki, di rumah yang ditinggali lelaki itu bersama teman-teman mahasiswanya.
“aku akan datang ketika hujan telah reda, besse” besse menerutkan dahi. Entah apa yang dia pikirkan saat kejadiaan hari ini.
“ untuk apa??”
"Aku akan menemui kedua orang tuamu!" mendengar hal itu Besse menenggelamkan pandangannya ke lantai kayu.
"Kau ragu dengan kesungguhanku?" Besse menggelengkan kepala. Masih dengan wajah tertunduk. Kedua jemarinya saling tertaut. Meremas cemas. Perlahan perempuan dua puluh itu mengangkat dagunya. Mencoba mencari masa depannya di mata lelaki itu. Lelaki hujan. Yang menawarkan sebuah pernikahan. Besse semakin merasa mencintainya. Tapi…
"Aku akan menikahimu!" Besse tidak terkejut dengan pernyataan itu. Semestinya bahagia. Tapi dia malah merasa hina. Kembali perempuan dua puluh tahun itu menenggelamkan wajahnya. Kabut memendar di bola matanya. Meretas. Meninggalkan jejak-jejak kristal di kedua belah pipinya. Sungguh. Besse ingin sekali mengangguk saat itu. Tapi pantaskah lelaki itu menanggung semuanya?
***
Perempuan itu berdiri di muka jendela kamarnya. Menatap kegelapan di luar sana. Seperti berharap malam tak segera berlalu, dan hari urung berganti pagi. Lelaki itu sudah berjanji akan menjemputnya. Tapi hingga hari puncak acara syukuran itu, belum juga ada tanda-tanda lelaki itu akan menjemputnya. Namun ia tetap optimis menatap langit itu, karena langit telah berawan penuh memenuhi langit desanya. Besse yakin sebentar lagi hujan dan setelah redah hujan maka sesuai janjinya ia akan datang. Ia laki-laki yang sangat terobsesi dengan hujan. Besse menyebutnya laki-laki hujan itu.
Prosesi syukuran atas panen yang melimpah siang tadi berjalan dengan lancar, hampir seluruh warga dusun berkumpul menjadi bagian dari salah satu prosesi itu. Tak ada halang yang merintang selama acara berlangsung. Sang ustaz yang di tuakan di dusun telah memberikan nasehat mengingatkan warga dusun serta berdoa memohonkan kelancaran serta dijauhkan dari azab dan murka illahi serta berharap berkah atas panen tahun ini. Sebhagian hasil bumi yang dikumpulkan, dan diberikan pada warga dusun yang tidak mampu dan sebahgianya di berikan kepada keluarga pemimpin desa, untuk dimasak sebagai hidangan bersama saat acara syukuran tersebut. Begitulah cara mereka bergotong royong saling membantu satu sama lain.
***
***
Perempuan itu berdiri di muka jendela kamarnya. Menatap langit yang telah mendung di luar sana. Seperti berharap hujan segera membasahi desannya. Lelaki itu sudah berjanji akan menjemputnya ketika reda hujan. Tapi hingga dia nyaris berputus asa datangnya hujan. Karena Langit bersinar kembali berkat matahari di padu dengan awan harapannya. Matahari tertatih menenggelamkan tubuhnya ke balik tebing cakrawala. Besse belum berhenti berharap. Perempuan itu tak sudi menyerah.
Siang itu besse terpaksa ikut bergabung dalam acara syukuran itu di rumahnya. Sebenarnya ia lebih memilih menuggu ketimbang berbaur dengan keluarga. Namun sebagai bakti kepada kedua orangtuanya ia memenuhi permintaan orang tuanya itu.
Besse. Perempuan yang telah kurus akibat penantianya itu merasa mual. Dimuntahkan kembali makanan yang sempat mendiami lambungnya itu ke luar, tumpah dalam WC. Besse merasa pijakannya melemah, sebelum tubuhnya menggelosor di lantai kayu rumahnya itu.
Para keluarga kaget luar biasa mengetahui basse pingsan. Tanpa menunggu Besse tersadar dari pingsan, acara syukuran tetap dilanjutkan hanya ibu dan asia yang menemaninya. Warga sempat kaget mendengar hal itu, namun suasana kembali semula.
***
Langit seakan runtuh
Dunia seakan gelap
Masa depan telah suram
Besse menangis di hadapan ibunya setelah berterus terang. Ibu Besse hanya bisa tertunduk dalam diam setelah mengetahui kehamilan anaknya. Siapa lelaki yang telah menanam benih? Tak sekata yang keluar dari mulut Besse. Pertanyaan itu tetap menjadi rahasia. Sedang Ayah besse setelah tahu berusaha agar berita itu tak sampai terdengar oleh Warga Dusun mandalle yang baru saja melakukan acara syukuran. Maka ayah basse memanggil ustaz selaku pemangku tertinggi adat segera minta pendapat, sebelum membuat keputusan demi menyelamatkan aib putrinya itu.
"ayah dan ustaz mengusulkan… untuk menikahkan kamu segera setelah bayi itu lahir ….," lirih ayah Besse berucap pada basse yang sedang tertuduk dengan pipi yang telah basah. "ini adalah keputusan bijak sang ustaz…” ayah basse memberi jeda dengan mata berkaca dan hati yang perih. Lalu dengan mengarahkan seluruh kekuatan yang tersisa, ayah besse lalu berkata.
"Kau setuju?"
"kalau itu sudah keputusan ayah dan ustaz… aku pasrah saja…. Keputusan tetua adat adalah titah yang tak terbantahkan, Tapi…" besse tak berani melanjutkan katanya. Dalam isaknya.
"Kau tak setuju?" ayah besse mendekati anaknya itu dengan iba.
"Aku… ha..nya tak mau menikah dengan lelaki lain."
"Kau masih berharap pada bapak dari janin itu?" Besse menenggelamkan wajahnya. Karam dalam samudera penyesalan. Kembali Air matanya tumpah jatuh ke pipinya. Besse tak tahu apa yang dia inginkan. Semua kemungkinan mendamparkannya pada ruang tak berpintu, yang tak memungkinkannya memilih jalan keluar, selain kepasrahan. Seakan tahu perasaan besse huajn menurunkan air sangat pelan. Awan-awan harapan besse menurunkan rinti-rintik air seakan ingin menghibur besse.
***
Besse berdiri di muka jendela kamarnya lagi. Suasana di rumah telah mereda walau masih banyak yang harus di pikirkan kedepannya. Ibunya telah berhenti menangis sedang ayahnya telah lama di mesjid tafakkur menghadap kepada Sang Pencipta memohon pertolongan atas beban ujian yang di hadapi. Asia teman besse menatapnya dari kejauhan entah apa yang ia pikirkan.
Bessae menatap dedaunan kering jatuh karena tiupan angin. Berguguran. Hujan yang di harapkan besse belum menampakkan batang hidungnya. Meski sudah Nampak hujan akan datang. Awan telah hitam angin sepoi-sepoi sesekali rintik air. Jatuh untuk beberapa puluh detik. Tak pernah jadi hujan. Sore itu besse masih menyimpan harapan pada Awan, memekat hitam menaungi atap rumah, mengirimkan hujan lewat tangisan meski hanya sesaat, dan matahari akan mengurai warnanya pada butiran embun, pada saat itulah laki-laki hujan itu menampakkan diri.
“Sebentar lagi pasti hujan.” Gumamnya. Tapi entah kenapa Awan seperti enggan memenuhi harapan besse. Atau besse merasa waktu yang terlalu lamban.
bersambung...............
No comments:
Post a Comment