Pukul 18.10, jalanan seperti tak mau diajak kompromi. Hujan deras membuatnya sempurna. Antrian kendaraan dan genangan air di mana-mana. Dingin. Waktu shalat magrib kian jelas masuk di tandai suara azan di corong menara mesjid.
Lelaki itu terus melaju melewati kendaraan ia sangat buru-buru. Lelaki itu punya janji pada hujan yang ia nantikan maka ia sangat buru-buru. Namun hujan kian deras dan azan telah berkumandang. Kalau bukan karena azan ia pasti akan penuhi janjinya itu. Lelaki itu lalu membelokkan motornya ke arah mesjid yang sekitarnya telah tampak hijau. Ia memutuskan mampir di salah satu mesjid di dekat desa yang di tujunya . Sepi. Semua orang sepertinya tengah berlindung dari tusukan dingin musim hujan. Lelaki itu masuk lalu tersenyum pada muazin yang baru selesai mengummandangkan azan. Muazin membalas senyumnya, faisal memang mengenalnya karena ia memang pernah datang untuk KKN di desa ini.
Ada perasaan lega ketika ia membasahi dirinya dengan air wudhu. Ia lalu menuju tiang mesjid lalu shalat sunnah rakaat. Lelaki itu pun hanya dalam lautan dzikir pada ilahi.
Selesai shalat magrib ia pun berdzikir, ia menghela napas melepaskan beban. Ia lau memandangi jendela mesjid hujan masih deras terlihat sesekali airnya masuk dalam jendela mesjid. Telinganya menangkap lantunan kalam ilahi yang di baca jamaah mesjid. Sangat merdu dan menyejukkkan hatinya. Hujan. Alun bacaan alquran. Selepas menyelesaikan kewajiban. Tidak ada yang jauh lebih sempurna dari itu. Tapi ia mungkin lupa. Jika keempat hal tersebut bisa menjadi sesuatu yang paling ampuh membangkitkan kenangan. Apalagi ketika ayat yang di lantunkan itu kemudian berganti dengan ayat-ayat pernah ia dengar dari lisan gadis itu.
Laki-laki itu tentu tidak pernah menyangka, jika sebuah bacaan ayat itu mampu membangkitkan ingatan masa lalu sebegitu kuatnya. Ingatannya melompat satu-satu. Ayat itu itu seolah membuat ruangan tiba-tiba dipenuhi kenangan. Ayat pernah di baca seseorang yang membuatnya sampai sesak karenanya. Lalu samar, muncul sebuah wajah yang belakangan hampir saja ia lupakan. Besse.
Tidak ada yang salah dengan lelaki itu dan besse. Mereka adalah sahabat yang pertama dipertemukan ketika masa KKN (KULIAH KERJA NYATA) di desa ini dusun mandale. Lelaki itu sangat ingat, di hari itu, ketika perempuan itu datang pertama kalinya di posko lelaki itu untuk membawa makan dari keluarganya. Saat itulah mereka bersua. Bersama temanya aris yang ia tak mau mengingatnya.
***
Sejak itu mereka bertemu POSKO. Tidak ada yang salah dengan hubungan mereka. Tidak sampai kemudian LELAKI HUJAN merasa ada yang berbeda di setiap ia bersama Besse. Tawa yang selalu terdengar riang, senyum yang mampu membuat lelahnya berkurang, dan cerita-cerita unik Besse mengenai alam semesta.
“wah bacaan Alquranmu merdu sekali besse. Kenapa kamu tidak ikut lomba tilawah ?”
“Serius..??, masa sih.. mm… nanti kupikir-pikir lagi.”jawab besse yang menyembunyikan keterkejutnya karena baru pertama kali lelaki itu bertanya sangat antusias padanya.
“tawa di puji-puji ki… ye...” kata aris yang menggangu mereka. Aris merasa cemburu karena mereka akrab. Mereka pun tertawa bersama.
***
Namun ada ingatan yang tak pernah dia ingat, namun ingatan itu selalu hadir apabila ia mengingat besse. Ketika itu besse datang ke posko. Gadis yang diam-diam dia puja mengeluarkan kata yang seakan meruntuhkan langit desa apa bila tersebar.
"Aku hamil!" ujar Besse setelah dia tak lagi mengalami menstruasi sejak satu bulan setelah pertemuan rahasianya dengan Aris di tepi sungai desa, di balik rerimbun pohon Rimba.
"Apa?!" pemuda berwajah indo itu bangkit dari sila di atas tikar tandan.
"Apa?!" pemuda berwajah indo itu bangkit dari sila di atas tikar tandan.
"Kau harus menikahinya!"
Besse dan Aris terperanjat mendengar suara. Mereka tak menyadari seorang lelaki telah berdiri di ambang pintu rumah, mendengarkan semua percakapan mereka. Lelaki itu. Lelaki hujan. Yang membuat hati Besse menjadi tak menentu, sebelum dia merasa patah hati karena sikap acuh lelaki itu, dan temannya yang berwajah indo memberikan mimpi-mimpi surga lewat kata-kata dan sentuhan yang mengirimkan getaran ke ruang terdalam seorang gadis belia di setiap perjumpaan mereka ditemani semakhluk iblis.
Aris mengangguk. Ragu. Lelaki hujan itu mencekal pundaknya, seperti meminta ketegasan dari temannya. "Baiklah, aku akan menikahinya," katanya kemudian. Lelaki itu melepaskan cengkeramannya, sebelum menatap ke arah Besse. Gadis itu tak berani membalas tatapannya.
Tapi sebelum kokokan ayam jantan berbunyi menandakan terbitnya mentari, mata lelaki hujan terbuka dan dia tak lagi menemukan Aris terbaring di sebelahnya. Saat Lelaki itu sedang shalat di sepertiga malam tadi, diam-diam Aris meninggalkan rumah penginapan bersama seluruh barang miliknya. Tak satu pun teman-teman mereka yang menyaksikan kepergiannya.
Tapi sebelum kokokan ayam jantan berbunyi menandakan terbitnya mentari, mata lelaki hujan terbuka dan dia tak lagi menemukan Aris terbaring di sebelahnya. Saat Lelaki itu sedang shalat di sepertiga malam tadi, diam-diam Aris meninggalkan rumah penginapan bersama seluruh barang miliknya. Tak satu pun teman-teman mereka yang menyaksikan kepergiannya.
Besse tak kuasa memendam pedih, ketika lelaki hujan itu menyampaikan kepergian Aris kepadanya.
***
LELAKI HUJAN selalu berjaga. Berjaga dari perasaannya yang selalu ingin memiliki Besse. Ia hanya takut Besse menjauh jika mengetahui semua ini. Hingga lalu ia mendengar kabar bahwa Besse telah hamil karena seseorang. Seorang yang juga dikenalnya. Ia pun menyembunyikan kecewa dan bencinya itu.
Sesungguhnya aku berpura-pura
Relakan kau pada takdir mu yang kau dapat
Sesungguhnya aku tak pernah rela
Karena aku yakin bisa membuatmu bahagia
Sejak saat itu Besse terlihat murung sangat sedih. Dan Lelaki Hujan dipaksa menahan pedihnya. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari pada harus melihat seseorang yang kau sayangi mearasa menderita, terlebih dimiliki oleh sahabat sendiri.
Lelaki Hujan tersadar dari lamunannya. Matanya tertuju pada pintu mesjid yang hampir terbuka penuh. Dari sudut tempatnya duduk bersila, dia kembali melihat seorang laki-laki membaca mushab Alquran.
Tiba-tiba ia kembali mengingat Besse. Lalu ia melihat segalanya serupa abu-abu. Gelap seperti langit yang menahan hujan. Dan rindu yang meluap-luap akibat hasil persekutuan dengan kenangan tadi lalu terbang menjauhinya. Hatinya seketika sesak. Ada yang belum hilang. Masih ada yang ingin tinggal. Cinta dalam kenangannya.
Lelaki hujan itu berusaha menenangkan dirinya. Ia pun mengambil buku agendanya dan mencoret-coret sebait kata-kata menjadi puisi. Lelaki hujan ini memiliki kebiasa untuk menulis puisi. Puisi-puisinya pernah di muat di Koran kotanya.
Ia lalu menatap jendela mesjid tampak awan-awan masih mengeluarkan airnya. Ujung kertas bukunya itu terangkat ke udara. Lelaki hujan itu memejam mata. Mungkin terlelah. Menunggu hujan redah agar ia dapat menemui besse. Lalu ia membaca puisi dalam bukunya.
H . U . J . A . N
Ingin menyapa hujan bukanlah hal mudah..
seperti hari ini
saat kelabu menjadi warna langit mendung..
Aku rindu hujanku..
aku berangan menemukan hujan itu disana,
tempat kenangan itu pernah ada,
tempat aku menahan rasa ini..
Aku rindu hujanku..
tempat angin menyapa tasbihku,
tempat sore menyamarkan wajah piluku,
tempat awan memainkan rintik air untukku,
dibalik mozaik kehidupanku..
Sekecil potongan hatiku yang hilang,
sekecil itu pula sosokmu tersimpan dibenakku..
Bersama hujan aku ingin memenuhi janjiku,
membawamu kembali ke sini,
ke dalam ikatan suci..
seperti hari ini
saat kelabu menjadi warna langit mendung..
Aku rindu hujanku..
aku berangan menemukan hujan itu disana,
tempat kenangan itu pernah ada,
tempat aku menahan rasa ini..
Aku rindu hujanku..
tempat angin menyapa tasbihku,
tempat sore menyamarkan wajah piluku,
tempat awan memainkan rintik air untukku,
dibalik mozaik kehidupanku..
Sekecil potongan hatiku yang hilang,
sekecil itu pula sosokmu tersimpan dibenakku..
Bersama hujan aku ingin memenuhi janjiku,
membawamu kembali ke sini,
ke dalam ikatan suci..
***
Malam pun menyapa. Perempuan itu masih tertegun menatap rintik hujan yang cukup deras di luar sana. Dengan menyibak sedikit tabir jendela, ia bisa mengamati jarum-jarum bening itu meluncur membasahi bumi. Wajahnya terlihat resah, namun sesungguhnya di balik keresahan itu tersemat sebuah asa yang entah bermakna apa. Hanya ia yang tahu, bahwa tetes-tetes hujan di luar itu adalah sesuatu yang sangat dinantikannya.
"Sudah lama .... sudah sangat lama aku menantikannya," gumam perempuan itu di antara desau angin yang me-nyelinap lewat jendela. "Aku yakin, hari ini aku akan melihatnya. Aku akan melihatnya."
Mata perempuan itu tampak berbinar, binar yang lagi-lagi hanya dia yang tahu maknanya. Ketika orang-orang berharap hujan tak mengguyur bumi karena ancaman banjir yang mencemaskan, maka tidak demikian dengan dirinya. Nyaris dalam setiap ulangan langkah yang diayunnya, terselip sebait doa agar hujan segera turun. Bahkan jika bisa, ia ingin setiap hari yang bergeser adalah hujan, hujan dan hujan. Karena dengan demikian ia merasa setiap hari yang dilaluinya adalah harapan demi harapan. Harapan untuk bertemu dengan impian yang ia rajut dalam keheningan jiwanya.
"Ah, sebentar lagi hujan pasti reda. Dan aku akan bisa melihatnya..." Lagi-lagi ia bergumam. Dan kali ini ada lengkungan senyum tersamar di bibir mungilnya. "Dia... dia akan muncul di penghujung cuaca, aku bisa merasakannya. Ya, aku yakin ia akan muncul hari ini! Menatapku dengan raut pucat dan senyum pasinya."
Ia semakin merapatkan tubuh ke jendela dan melihat rintik di luar sana semakin reda. Dadanya seakan berdesir halus melihat senja yang sebentar lagi akan menyelubungi alam. Dan kegelapan akan segera merajai setiap sudut dan ruang. Inilah saat yang ia nanti-nantikan di sepanjang hari yang dilaluinya. Tak ada yang lain.
"Sudah lama .... sudah sangat lama aku menantikannya," gumam perempuan itu di antara desau angin yang me-nyelinap lewat jendela. "Aku yakin, hari ini aku akan melihatnya. Aku akan melihatnya."
Mata perempuan itu tampak berbinar, binar yang lagi-lagi hanya dia yang tahu maknanya. Ketika orang-orang berharap hujan tak mengguyur bumi karena ancaman banjir yang mencemaskan, maka tidak demikian dengan dirinya. Nyaris dalam setiap ulangan langkah yang diayunnya, terselip sebait doa agar hujan segera turun. Bahkan jika bisa, ia ingin setiap hari yang bergeser adalah hujan, hujan dan hujan. Karena dengan demikian ia merasa setiap hari yang dilaluinya adalah harapan demi harapan. Harapan untuk bertemu dengan impian yang ia rajut dalam keheningan jiwanya.
"Ah, sebentar lagi hujan pasti reda. Dan aku akan bisa melihatnya..." Lagi-lagi ia bergumam. Dan kali ini ada lengkungan senyum tersamar di bibir mungilnya. "Dia... dia akan muncul di penghujung cuaca, aku bisa merasakannya. Ya, aku yakin ia akan muncul hari ini! Menatapku dengan raut pucat dan senyum pasinya."
Ia semakin merapatkan tubuh ke jendela dan melihat rintik di luar sana semakin reda. Dadanya seakan berdesir halus melihat senja yang sebentar lagi akan menyelubungi alam. Dan kegelapan akan segera merajai setiap sudut dan ruang. Inilah saat yang ia nanti-nantikan di sepanjang hari yang dilaluinya. Tak ada yang lain.
***
Detik dan menit terus berlalu hingga ia merasa sudah saatnya untuk keluar, menerobos udara lembab di awal malam itu. Dan memang benar. Kini langkah-langkah semampainya sudah menapak di halaman yang juga lembab. Sesekali ia melebarkan langkah, menghindari genangan air yang bertebaran. Ia tampak tak sabar ketika menghentikan langkahnya di sudut halaman. Sebagaimana tak sabarnya ia untuk mendongak ke atas, menatap langit yang masih terlihat gelap tertutup sisa mendung.
"Mana dia?" bisiknya sambil mencari-cari. Dan semakin ia mencari, semakin tak ia jumpai apapun selain pekat. "Dia pasti datang. Tidak mungkin kali ini ia mengecewakanku lagi. Sudah berbulan-bulan... berbulan-bulan aku tak melihatnya. Tolong, datanglah untukku malam ini..."
mata perempuan itu terlihat liar, mencoba menekan kesabaran di dadanya. "Kau, harapaku! Jangan siksa aku dengan penantian panjang ini," mohonnya setengah memaksa.
"Oh, aku tahu!" Ia seperti teringat sesuatu. "Kau memang bukan orang yang sebenarnya kucari untuk mempertanggung jawabkan perbuatanya. Kau hanyalah lelaki hujan yang muncul selepas hujan senja hari. Kau, adalah lelaki soleh yang tak sempurna karena tak pernah membuka hatimu untukku. Ya.. karena memang engkau tak terlalu memperhatikan kata manusia"
Malam kian jauh meninggalkan senja, merambat menuju titik nadir yang mencemaskan hati perempuan itu. Genangan air di tanah sudah semakin berirama resah. Matanya sudah mulai terlihat letih, mencari-cari di antara ruang langit yang tak bercelah. Ya, langit masih terlihat pekat, meski hujan telah alam berhenti. Bahkan gumpalan mendung yang sudah menipis pun tak menjanjikan wajah lelaki hujan yang ia nantikan itu.
"Kau ..... mengecewakan aku lagi," desahnya tanpa memedulikan lehernya yang terasa pegal. Ia sadar, waktunya tidak lama lagi. Karena ia akan memutuskan untuk meniti jalan baru dalam hidupnya. Tapi besse tetap berharap pada lelaki hujan itu untuk membawanya ke jalan kebahagian cintanya.
Dan ketika asa di hatinya kian mengerucut, tiba-tiba sebuah sosok bayangan mengenainya. Sosok itu kian dekat dengannya. Perlahan cahaya lampu rumah menyingkap sosok..
"Mana dia?" bisiknya sambil mencari-cari. Dan semakin ia mencari, semakin tak ia jumpai apapun selain pekat. "Dia pasti datang. Tidak mungkin kali ini ia mengecewakanku lagi. Sudah berbulan-bulan... berbulan-bulan aku tak melihatnya. Tolong, datanglah untukku malam ini..."
mata perempuan itu terlihat liar, mencoba menekan kesabaran di dadanya. "Kau, harapaku! Jangan siksa aku dengan penantian panjang ini," mohonnya setengah memaksa.
"Oh, aku tahu!" Ia seperti teringat sesuatu. "Kau memang bukan orang yang sebenarnya kucari untuk mempertanggung jawabkan perbuatanya. Kau hanyalah lelaki hujan yang muncul selepas hujan senja hari. Kau, adalah lelaki soleh yang tak sempurna karena tak pernah membuka hatimu untukku. Ya.. karena memang engkau tak terlalu memperhatikan kata manusia"
Malam kian jauh meninggalkan senja, merambat menuju titik nadir yang mencemaskan hati perempuan itu. Genangan air di tanah sudah semakin berirama resah. Matanya sudah mulai terlihat letih, mencari-cari di antara ruang langit yang tak bercelah. Ya, langit masih terlihat pekat, meski hujan telah alam berhenti. Bahkan gumpalan mendung yang sudah menipis pun tak menjanjikan wajah lelaki hujan yang ia nantikan itu.
"Kau ..... mengecewakan aku lagi," desahnya tanpa memedulikan lehernya yang terasa pegal. Ia sadar, waktunya tidak lama lagi. Karena ia akan memutuskan untuk meniti jalan baru dalam hidupnya. Tapi besse tetap berharap pada lelaki hujan itu untuk membawanya ke jalan kebahagian cintanya.
Dan ketika asa di hatinya kian mengerucut, tiba-tiba sebuah sosok bayangan mengenainya. Sosok itu kian dekat dengannya. Perlahan cahaya lampu rumah menyingkap sosok..
"Oh! Akhirnya kau datang juga!" pekiknya tertahan. Buncahan seri meronai wajahnya. Dan ia seakan tak berkedip ketika perlahan-lahan sang lelaki hujan itu muncul, menyapanya dengan senyum penuh ketidak sempurnanya. Lelaki itu berusaha menunjukkan sisa-sisa harapan dari lubuk hatinya. Keduanya terus tersenyum…, dan berharap mereka berdua akan melahirkan banyak senyum selanjutnya.
TAMAT...
jangan lupa komen n kritik dan saranya.....
No comments:
Post a Comment