Pengantar : para pembaca kisah bersambung 'agang', kisah yang ana buat beberapa bulan ini sangat ter inspirasi dari kisah 'senyum syla' yang di buat oleh saudara(sesama muslim) ana abid alauddin. maka melalui posting ini ana kisahkan kisahnya. walahualam
Abid alauddin
Mahasiswa UIN
***
“Sylaaaa…” teriakan Ramon berbarengan dengan guntur yang seakan tau kesedihan aku, Ramon,
Om Anton dan teman-teman kelas kami. Langit yang berwarna cerah telah
berubah kelabu, tetesan kristal berjatuhan dari langit. Ramon tak bisa
menutupi sedih dan marah, karena ia memang sangat dekat dengan Syla. Kutatap sekali lagi tubuh Syla.
Tubuhnya terbaring kaku. Bibirnya yang merah berubah putih sekarang.
Tak ada lagi senyuman manis yang pernah menghiasi hari-hari ku. Dia tak
membalas menatapku. Dia menutup matanya. Aku tak kuat menatapnya lagi,
aku marah. Aku hampir mengira, itu bukan dia.
Syla telah menyusul ibunya. “Syla… selamat tinggal, suatu saat aku akan ke sana dan menemui-mu”.
***
Syla ariza, itulah nama sahabat yang selalu hadir dalam
kehidupanku. Aku sebenarnya tak terlalu mengenal Syla. Yang ku tahu,
dialah sosok jiwa yang kukagumi. Ia selalu tegar menghadapi cobaan yang
menerpanya. Senyumannya yang indah selalu bisa meluluhkan hatiku saat
aku sedang menasehatinya. Nilai rapornya tidak pernah merah, dan dialah
seorang yang dianugerahi kecerdasan oleh Sang Ilahi.
Termasuk ketika ia di rumah sakit, aku melihat Syla
seperti makhluk yang tak berdaya, hidung, mulut, dan telinganya
mengeluarkan darah yang tak hentinya mengalir. Dokter,dan perawat
berusaha menghentikan darah yang mengalir. Hatiku getir. Aku berusaha menahan tangisan ku, mencoba tegar, sedang Om Anton ayah Syla yang tak hentinya memanjatkan doa ke hadirat Tuhan. Sementara orang-orang di sekellingnya pada khawatir dengan kondisinya, ia tetep saja tersenyum. Seakan ia telah ikhlas menerima segala kehendak Sang pencipta.
Namun kini aku hanya bisa mengenanganya. Dan bangku Syla
di kelas selalu kosong dan menanti siapa yang akan menempatinya.
Hari–hari di kelas kami lalui dengan sedih, tapi kami coba tegar.
Kuharap kesedihan di kelas tidak berlangsung lama.
***
‘Eh… nama mu Abid, ya? Nama yang lucu ...ha…ha...’katanya dengan riang
Aku hanya membalas dengan senyuman.
‘Tapi kalau kita liat dikamus bahasa Indonesia tuh, ‘abid’ artinya ahli ibadah, wow..hebat!!’
Tak kusangka ia akan memujiku membuat ku melayang karnanya.
Itulah pertama kali kami bertemu di pete-pete selesai
pulang sekolah. Ternyata kami satu jalur pete-pete, dan dia tampaknya
sangat periang, kami pun langsung akrab. Dalam perjalan kami ngobrol dan
ia sesekali melemparkan senyum padaku. Senyumnya itu aku berharap yang bukan-bukan, aku harap jalan cenderawasi jadi pindah menuju palopo yang makan waktu 10 jam. Aku takut waktu akan mengakhiri waktu indah ini. Ya Allah ampuni hambaMu ini.
Bila
kuingat itu semua dan kenyataan ia telah tiada, Semua jadi hening. Aku
tak dapat bersuara. Tenggorokanku seakan tercekik. Kantung air mataku akhirnya
jebol dan menyebabkan banjir seketika di pipiku. Untuk pertama kalinya
air mata ini mengalir, dan aku sadar, dia telah benar-benar pergi.
Meninggalkan banyak cerita dan kenangan untukku. Walau hanya
beberapa hari, bahkan mungkin Cuma beberapa saat karena kebetulan kami
bertemu, mengukir sebuah kenangan manis. Tapi, aku tak memungkiri
perasaan ku. Ku harap kenangan itu tak cepat hilang dan memudar secepat
kenangan itu kami ukir.
***
Sabtu, yang cerah. Aku pergi ke toko bunga hidup, kali
ini aku membeli serangkaian bunga anggrek. Lalu pergi ke TPU untuk
berziarah ke makam sahabatku, Syla. Tidak sulit bagiku untuk mencari
makam Syla, hanya beberapa meter dari gerbang TPU. Dari gerbang kulihat dua orang berada di makam Syla. Kuperhatikan kedua orang itu tampak aku sangat mengenalnya. Beberapa saat kemudian, mereka berdiri dan beranjak dari makam Syla.
Aku pun melanjutkan perjalananku menuju makam Syla. Saat berpapasan ternyata orang itu adalah Om Anton dan Ramon. Ramon memang sahabat Syla sejak kecil. Ramon sahabat sekaligus pesaingku dalam memperebutkan Syla.
Kini ia menyapaku seakan ia telah amnesia masa-masa persaingan kami
dahulu. Ia menyapaku dan tersenyum, lalu ia bilang padaku untuk kita bersahabat kembali dan mengejar cita-cita yang pernah kami katakan bersama Syla. Aku senang mendengarkannya. Aku lalu tersenyum, dan berjalan menuju makam Syla.
Kuletakkan serangkaian bunga anggrek yang kubeli tadi di atas makam Syla. Aku mengucapkan selamat ulang tahun buat Syla. Aku sengaja datang kesini karena aku ingin kembali membuka lembaran baru kehidupan ku yang selama ini selalu terjajah dengan senyum Syla.
Setiap dzikir ku, terucap namanya pula dan ketika aku shalat kuingat
senyumnya yang menawan bahkan belajarku terganggu dan nilai ku pun mulai
menurun. Astagfirullah, ya Allah ampuni hambaMu yang lemah ini. Kuserahkan cinta ku ini kepada Mu. Dan menjaganya untuk di kembangkan di hari yang Engkau janjikan. Amien. Dan aku pandangi batu nisan tempat nama sahabatku diabadikan. Di hadapan batu nisan ini juga, ku berdoa semoga Syla di berikan alam kubur yang lapang. Di ampuni dosanya dan diterima segala amalanya. Amien lagi.
Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan di depanku atau lebih tepatnya seseorang. Wajahnya sangat mirip
dengan sahabatku, ia tersenyum padaku. Senyuman itu mengingatkanku pada
senyuman terakhir Syla. Kubalas senyum itu, seketika ia menghilang tanpa jejak.
Mungkinkah itu Syla……?
atau tepatnya…..
Mungkin senyum terakhir Syla pada ku….?***
No comments:
Post a Comment